Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 25
Keesokan paginya, Nadira terbangun di atas tempat tidurnya. Ia mengerjap pelan, sebelah tangannya meraba sisi tempat tidur yang kosong. "Eh kok di sini, bukannya semalam ketiduran di mobil ya?" Nadira bertanya-tanya namun sedetik kemudian ia tersenyum sendiri saat mengingat pasti Pak Arsen yang memindahkannya.
Lalu ia melihat jam yang ada di nakas tepi tempat tidurnya. Pukul 7 pagi, ia lantas bangun dan pergi membersihkan diri. Namun baru beberapa langkah ia beranjak ke kamar mandi, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Menampilkan seseorang.
Orang itu adalah Arsen. Bruk! Arsen terjatuh tepat setelah membuka pintu kamar. Sontak saja Nadira berlari ke arahnya.
"Pak? Pak Arsen! Bangun, dong!" panggil Nadira seraya menggoyangkan badan Arsen yang kekar. Arsen tak menjawab, hanya gumaman saja yang terdengar.
"Na ... Nadira?" suara Arsen lemah. "Iya, iya, saya Nadira ... Pak Arsen? Ayo bangun Pak, saya bantu!" sentak Nadira lagi kini sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Berulang kali Nadira mencoba membantunya bangun, namun Arsen bergeming. Ia sudah kehilangan banyak tenaganya. Jangankan untuk bangun, menatap Nadira saja ia sudah tak kuasa.
Nadira mencoba meraup wajah Arsen demi memastikan keadaan pria yang tertelungkup itu. Namun ia malah dibuat terkejut dengan lebam dan bekas darah di dahi hingga ke pipi kanan Arsen.
"Ya Tuhan! Darah!" panik Nadira. Jantungnya berdegup lebih kencang, rasa takut, panik dan bingung berbaur jadi satu memenuhi rongga dadanya.
"Oh ya ampun! Ini pasti mimpi, tapi ... Ah! Apa yang harus dilakukan sekarang?"
"Telepon Dokter, ya harus telepon dokter dulu!" Nadira menyambar ponselnya yang berada di nakas lalu mencari-cari nomor dokter pribadi yang sebelumnya sudah diberitahu Arsen.
Setelah ia menelepon Dokter, Nadira kembali menghampiri Arsen yang sepertinya sudah sepenuhnya hilang kesadaran. "Pak Arsen ... " panggilnya pelan, air matanya mulai menitik.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu bisa begini? Siapa kamu sebenarnya?" lirihnya. Ia menyeka air matanya cepat.
Ia langsung berlari ke lantai bawah, memanggil para pelayan untuk membantunya. Tak lama, akhirnya Arsen sudah dipindahkan ke atas tempat tidur.
"Kalian keluarlah dulu, jika Dokter sudah datang langsung suruh ke sini," perintahnya. Pelayan itu mengangguk sebagai jawabannya dan berlalu dari sana.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Luna. Ia bahkan lupa untuk mengabari sahabatnya itu. "Halo, Luna"
"Lo masih di rumah, kan?" suara Luna terdengar panik di seberang.
"Iya, kayaknya hari ini Gue izin gak masuk deh, Lun," cicit Nadira lemah.
"Bagus! Kalau bisa Lo jangan masuk dulu beberapa hari ini. Ada masalah di kantor, nanti Gue bantu Lo urus izinnya."
"Eh? Ada masalah apa? Masalah serius?" heran Nadira. Apa ini ada hubungannya dengan Pak Arsen yang terluka? tanyanya dalam hati.
"Ah, nanti Gue kasih kabar, ya. Lo jaga diri baik-baik! Udah dulu, ya, bye!" panggilan terputus begitu saja. Nadira menghela napas panjang.
Ia terduduk di tepi tempat tidur, di sisi Arsen. Dokter belum kunjung datang, mau tak mau ia harus membersihkan luka Arsen sendirian.
Ternyata luka yang didapat Arsen bukan hanya di dahi dan pipi, tapi juga di sekujur tubuhnya! Luka memar hingga sayatan seperti lukisan di tubuh Arsen. Mendadak tangis Nadira luruh lagi. Melihat luka-luka itu, hatinya berdenyut sakit.
Dengan perlahan ia membersihkan noda darah yang sudah mengering itu dan membasuh lukanya dengan alkohol lalu membebatnya dengan perban. Seiring itu, tangisnya terus merembas, tak ingin berhenti.
Di saat ia sudah selesai mengobati Arsen, Dokter baru datang. "Maaf Nyonya, saya terlambat, tadi ada sedikit urusan mendesak"
Nadira mengangguk mencoba mengerti. "Tidak apa-apa, Dok, langsung periksa saja, untuk luka-lukanya sudah saya obati tadi, tapi saya tidak tahu apakah ada luka dalam atau luka serius," jelas Nadira. Dokter itu mengangguk. Nadira berlalu dari sana, membiarkan dokter itu memeriksa Arsen secara menyeluruh.
"Nyonya, mau kopi atau sarapan?" tanya seorang pelayan yang menghampirinya. Nadira menggeleng lemah. Ia tak berselera.
"Kopi saja," katanya pada akhirnya. Pelayan itu bergegas membuat kopi lalu kembali lagi dengan membawa secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
Nadira menerimanya dengan senang hati. Ia menghirup aromanya dalam, entah mengapa wangi kopi dapat menenangkannya. Sedetik kemudian ia sudah larut dalam lamunannya.
Di ruang tamu yang luas itu, Nadira termenung. Memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam semalam saja sudah terjadi hal sebesar ini. Dan ia bahkan tak tahu-menahu soal ini. Kepalanya bahkan berdenyut sakit saat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi.
"Nyonya," panggil sang dokter. Nadira menoleh. Dokter itu menunduk.
"Ya, bagaimana keadaannya, Dok?"
"Tuan baik-baik saja, Nyonya, tak ada luka serius, hanya saja lukanya jangan sampai terkena air. Jika Tuan Muda sudah bangun tolong berikan obat dan krim oles yang sudah saya tulis ini," kata Dokter itu menjelaskan, Nadira mengangguk berkali-kali, mendengarkannya dengan seksama.
"Baik, terima kasih, Dokter."
"Kalau begitu saya langsung pamit, ya, Nyonya." Nadira mengantar Dokter yang tidak dikenalnya itu sampai ke pintu. Lalu kembali ke atas, memeriksa keadaan sang suami.
***
Arsen berusaha bangkit dengan susah payah. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Kepalanya berdenyut sakit. "Ah!" erangnya penuh kesakitan.
Tiba-tiba Nadira masuk. "Pak Arsen! Jangan banyak bergerak dulu!" sentaknya membuat Arsen berjingkat, terkejut.
"Nadira?"
"Tuh kan! Darahnya keluar lagi!" omelnya seraya meraba tempat di mana perban yang berwarna putih itu berubah merah terkena darah.
Dalam diamnya Arsen memerhatikan Nadira. Ini pertama kalinya mereka sedekat ini, deru napas Nadira bahkan bisa Arsen rasakan tepat mengenai kulitnya.
"Sakit tidak?" Arsen mengangguk sebagai jawaban, sebelah tangannya memegangi dadanya yang mendadak berdebum.
"Makan dulu bubur ini, nanti saya bantu ganti perbannya." Setelah mengatakan itu Nadira langsung ke bawah, mengambil gulungan perban yang baru. Arsen pun melahap bubur hangat itu tanpa berkomentar apapun.
Beberapa menit kemudian Nadira kembali bersama dengan perban dan obat-obatan yang harus diminum Arsen. "Sudah habis? Ini minum dulu obatnya, Dokter bilang jika terasa nyeri harus segera minum obatnya."
Arsen menerima obat itu dan langsung meminumnya dalam sekali telan. Kemudian Nadira membantu Arsen untuk duduk, ia mulai membuka perban itu dengan perlahan. Luka yang dimiliki Arsen tampak membengkak.
Dengan telaten Nadira membasuhnya, mengolesi obat di sekitar luka. Sesekali Arsen meringis saat jemari Nadira tak sengaja mengenai lukanya. "Maaf, saya, saya gak sengaja, Pak! Apakah masih sakit?"
Arsen mengangguk masih sambil menahan nyeri di punggung dan bahunya. "Nadira ... " panggilnya dengan parau.
"Iya, kenapa Pak?" jawab Nadira, tangannya masih sibuk mengolasi obat di bahu Arsen.
"Kenapa kamu mau melakukannya?"
"Melakukan apa?" ulang Nadira.
"Mengobati saya. Kenapa tidak membiarkan pelayan saja yang melakukannya?"
Nadira tersenyum sekilas. "Memangnya gak boleh ya kalau saya mengurus suami sendiri? Suaminya lagi babak belur pula," jawab Nadira sambil sedikit bergurau.
Arsen terpaku, tak menyangka Nadira akan mengakuinya seperti itu. Meski berulang kali ia mengatakan hubungan pernikahan mereka hanyalah sebuah kesepakatan, namun di saat seperti ini justru terang-terangan menunjukkan kepeduliannya.
"Sudah selesai," ucap Nadira bangga saat ia selesai membalut luka Arsen untuk kedua kalinya.
Arsen kembali berbaring. Kini keadaannya sudah lebih baik. "Sama-sama, Pak" sindir Nadira.
salam kenal untuk author nya