Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OTW Merah Doa Restu
"Mas kalau kita nikah dalam waktu dekat apa Anda siap?" tanyaku, jujur aku sangat tidak enak, tetapi lagi-lagi aku terpikirkan oleh ucapan Lyra, dan juga akan keinginan Bapak. Aku takut kalau memang umur Bapak tidak panjang, dan aku tidak bisa mengabulkan keinginan terakhir beliau. Rasanya aku menjadi anak yang paling bersalah.
Uhuk... Uhuk... Majikan aku tiba-tiba tersedak.
"Minum Mas!" Aku mengulurkan satu gelas air putih bekasku minum. Saking paniknya aku sampai lupa yang aku berikan adalah air minum yang sudah aku minum beberapa teguk.
"Kamu ngomong apa tadi? Bukanya kamu yang pengin kalau kita kenal lebih dulu?" tanya majikanku dengan pandangan dan suara yang berat menandakan kalau ia benar-benar kaget dengan ucapanku.
Aku menunduk, dan justru selera makanku kembali hilang, padahal tadi aku merasakan sangat lapar, tetapi kali ini baru beberapa suap aku sudah merasakan kenyang. Aku terlalu takut kalau majikan aku menilai aku terlalu buruk.
"Aku baru mendengar kabar kalau Bapak di kampung sedang kurang sehat, dan beliu selalu ingin melihat aku menikah. Aku takut umur Bapak tidak lama dan aku tidak bisa mengabulkan keinginan Bapak," jawabku dengan jujur.
Yah, meskipun aku sendiri juga belum terlalu kenal dengan majikan aku, tetapi aku yakin kalau majikan aku itu memiliki sifat yang sangat baik dan juga dilihat dari sikapnya dia bisa menjadi imam yang baik, asal mau berusaha bukan.
"Tapi bukanya kita baru kenal dan bagaimana kalau aku ternyata bukan suami yang baik untuk kamu?" tanyanya, dengan menatap tajam padaku, bahkan untuk beberapa saat pandangan kita saling bertemu seolah kita sedang mencari keseriusan dari sorot mata masing-masing.
"Yah, sejujurnya aku pun sama takut kalau kita justru hanya saling menyakiti, takut pikiran kita tidak sejalan, takut aku tidak bisa menjadi istri yang baik, sesuai yang kamu harapkan, Mas. Tetapi bukanya tanda-tanda orang yang berprilaku baik adalah ia yang memiliki rasa takut. Termasuk takut yang tadi Anda katakan, karena ketika kita memiliki rasa takut itu, tandanya kita akan benar-benar berhati-hati agar apa yang kita takutkan tidak akan terjadi." Aku kembali mengigat kutipan salah-satu ulama yang pernah aku dengarkan kajiannya.
Untuk sesaat Aarav diam seolah sedang berpikir, dan aku pun sama. Aku pasrah Lilahitala, akan takdir ini. Aku juga mungkin terlalu grasa grusu, tetapi sungguh niat aku baik kalau aku ingin menikah karena Allah.
"Baiklah aku akan bilang pada Mamih, dan Papih. Kamu juga katakan pada keluargamu bahwa ada laki-laki yang mau menikahi kamu," ucapnya. Tubuhku langsung membeku, tidak bisa berucap apa-apa lagi aku juga tidak tahu, perasaanku benar-benar teduh ketika mendengar ucapan majikanku itu.
"Anda serius Mas, apakah Anda tidak ingin meminta petunjuk pada Allah lebih dulu, karena sejujurnya saya sendiri takut kalau Anda akan menyesal ketika sudah menikahi saya," usulku dengan hati-hati. Aku tidak ingin memanfaatkan masalah majikan aku dengan mantan istrinya untuk menikahi aku, meskipun aku juga berharap bahwa Aarav adalah jodohku sesungguhnya, dan aku pun memanfaatkan hal ini untuk bisa mewujudkan keinginan Bapak.
Aku pun tidak tahu dengan perasaanku yang aneh ini. Aku merasakan benar-benar berbeda ketika berada di sisi Aarav.
Aarav untuk beberapa kali menatapku seolah tengah memperhatikan aku dan mencari kelebihan dari sekian banyak kekuranganku.
"Aku rasa tidak perlu, aku yakin kalau kamu wanita dari keluarga baik-baik, cara kamu bersikap, berbicara dan juga aku lihat kamu orang yang baik, terbukti Mamih saja menyukai kamu, dan beberapa kali memuji cara kerja kamu, itu sudah cukup meyakinkan aku kalau kamu orang yang baik, dan wajar untuk aku jadikan istri, dan soal kekurangan kita bisa perbaiki bersama-sama. Toh aku juga manusia yang hanya satu kelebihan di banding sejuta kekuranganku."
Serrr.. lagi-lagi darahku seolah mengalir lebih cepat dari kepalaku. dan membuat aku untuk sesaat kembali bergeming.
"Semoga saja apa yang majikan aku katakan adalah kebenaran dia mau memperbaiki kekurangan kita bersama-sama," batinku dengan tersenyum manis ke pada laki-laki yang mau menerimaku untuk menjadikanya istri.
"Ngomong-ngomong kamu mau minta mahar apa untuk mas kawin nanti?" tanya Aarav. Aku langsung terkejut dengan pertanyaan itu. Tidak menyangka, pasti. Apalagi ini terlalu dini untuk membahas mas kawin.
Aku harus hati-hati untuk menjawabnya, karena biasanya mas kawin itu sensitif, kita meminta banyak, karena memang itu artinya laki-laki menghargai kita, takut di kira kita terlalu memanfaatkan keadaan, menjawab dengan harga yang terlalu murah juga takutnya pihak laki-laki kurang menghargai kita sebagai wanita.
"Rasanya kalau aku meminta, aku terlalu hina karena itu artinya aku menghargai diriku sendiri. Lebih baik Anda yang memberinya dengan suka rela. Bukanya ulama mengatakan kalau mahar itu pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita, sebagai bukti kejujuran bahwa laki-laki tersebut ingin menikahi sang wanita. Bahkan dalil mengenai mahar juga telah diatur dalam firman Allah, Q.S An-Nisa ayat 4 yang artinya: Berikanlah Maskawin (Mahar) kepada wanita yang kamu nikah sebagai pemberian dengan penuh suka rela. Jadi Mas yang memberikan, bukan saya yang meminta," jawabku dengan berhati-hati akan tidak terkesan menggurui.
Aku lihat Aarav cukup puas dengan jawaban aku. "Baiklah, besok kita ke rumah Mamih untuk meminta restu dari kedua orang tuaku, setelah itu bisa mengunjungi keluarga kamu."
Deg!! Kembali aku tersentak kaget. "Tuhan, apakah ini adalah jawaban yang engkau berikan?" Hatiku berdesir dengan hebat, ada rasa bahagia, haru dan juga ada rasa takut, takut kalau aku tidak bisa membahagiakan suamiku dan keluarga besarku, amanah yang cukup berat ketika kita memutuskan untuk menikah. Ibadah dengan pahala yang besar dan sekaligus ujian yang tidak lah mudah. Apakah aku ada sudah siap akan hal ini?
Inikah akhir dari doa-doaku atau ini justru awal akan takdir yang baru?