Karena dendam pada Seorang pria yang di yakini merebut wanita pujaannya sejak kecil, Alvino Maladeva akhirnya berencana membalas dendam pada pria itu melalui keluarga tersayang pria tersebut.
Syifana Mahendra, gadis lugu berusia delapan belas tahun yang memutuskan menerima pinangan kekasih yang baru saja di temui olehnya. Awalnya Syifana mengira laki-laki itu tulus mencintainya hingga setelah menikah dirinya justru mengetahui bahwa ia hanya di jadikan alat balas dendam oleh sang suami pada Kakak satu-satunya.
Lalu, apakah Syifana akan terus bertahan dengan rumah tangga yang berlandaskan Balas Dendam tersebut? Ataukah justru pergi melarikan diri dari kekejaman suaminya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurma Azalia Miftahpoenya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Alat balas dendam
Syifana merebahkan dirinya di ranjang sederhana yang tersedia di kamar minimalis itu. Gadis yang memang masih tersegel itu merasa ada sesuatu yang di sembunyikan oleh suaminya. Mereka yang selama 7 hari ini selalu tidur bersama, bahkan menghabiskan waktu dengan bercerita sebelum tidur. Kini justru terpisah kamar, suaminya itu ternyata tidak mau menempati kamar yang sama dengan dirinya.
Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut mata gadis itu. Kali ini dia merasa sangat kesepian, apa lagi di saat seperti ini, dia justru teringat dengan almarhum ibunya yang baru seminggu meninggalkannya.
Gadis itu tertidur, masih dengan jejak air mata di pipinya. Kini waktu sudah memasuki tengah malam. Gadis itu terbangun karena merasa lapar.
"Kebiasaan makan tengah malam, di dapur masih ada makanan tidak, yah! Lagian, Bang Vino tega sekali tidak memberiku makan." Gerutu gadis itu seraya bangun dari ranjang.
Syifana keluar dari kamar untuk turun ke dapur yang berada di lantai satu mansion. Ketika gadis itu turun hingga lantai dasar, pintu mansion itu terbuka. Dari sana, muncul seorang pria yang tengah menggandeng wanita.
Syifana membulatkan matanya saat melihat sang suami merangkul mesra wanita lain. Kedua orang itu berjalan sempoyongan, seperti orang yang sedang mabuk. Mereka berjalan melewati Syifana yang tengah mematung di tempatnya.
Alvino dan wanita asing itu terus menaiki anak tangga, sementara Syifana hanya menatap sang suami yang sama sekali tidak memperdulikan kehadirannya. Pria itu seperti sama sekali tidak melihat dirinya yang menyaksikan perbuatannya.
Sadar dari rasa terkejutnya, Syifana mengikuti langkah kedua orang itu hingga sampai di kamar. Gadis itu ikut masuk ke dalam kamar sang suami yang jauh lebih besar dan mewah. Dia masih setia menatap suaminya yang justru duduk memangku wanita yang sejak tadi di gandengnya di ranjang kamar itu. Alvino sama sekali tidak peduli dengan seorang gadis yang menatapnya dengan raut wajah kecewa.
Syifana menggelengkan kepala, menutup mulutnya sendiri. Gadis itu tidak percaya dengan apa yang di lihatnya, memilih untuk mundur hingga sampai di pintu. Air mata tidak mampu lagi dia tahan ketika melihat suaminya itu meraba tubuh seksi dan terbuka wanita lain. Syifana menutup pintu kamar sang suami, lalu berlari menuju kamarnya sendiri.
Rasa lapar yang sejak tadi menyiksanya kini sudah hilang, berganti dengan rasa sakit karena penghianatan dari suami yang baru genap seminggu menikahinya.
Syifana menyandarkan punggungnya di ranjang sederhana itu, menekuk lutut untuk menyembunyikan wajahnya disana. Gadis itu menangis tanpa suara. Dia takut jika seseorang mendengar suara tangisannya, karena kamar yang dia gunakan saat ini bukanlah kamar yang di lengkapi dengan peredam suara.
"Bang Vino, kenapa kamu tega, Bang? Salah Fana apa?" monolog gadis itu seolah-olah suaminya itu berada di hadapannya.
"Untuk apa, kamu menikahi aku? Kalau kamu justru membawa wanita lain sebagai teman ranjangmu!"
Emosi, gadis itu mengambil bantal yang ada di ranjang dan melemparkannya ke arah foto pernikahan mereka berdua. Bingkai foto yang terletak di atas nakas jatuh hingga kacanya pecah.
Syifana merebahkan dirinya di lantai marmer yang dingin. Tidak memperdulikan rasa dingin yang merasuk ke tubuh mungilnya. Dia tetap menangis karena dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk saat ini.
Jika dia mengadu kepada keluarganya, itu akan menimbulkan masalah lain. Apa lagi suaminya itu bukanlah orang sembarangan. Syifana memejamkan matanya saat merasa hatinya sangat tidak kuat merasakan sakit. Terlalu lama menangis, Syifana akhirnya kembali tertidur di lantai.
Keesokan paginya, seseorang menyentuh tubuh Syifana yang tertidur dengan posisi meringkuk di lantai. Merasakan hawa panas dari tubuh gadis itu, orang itu segera menggoncang tubuh Nona Mudanya. Bermaksud untuk membangunkan istri Tuan Mudanya itu untuk menjalani pekerjaan yang sudah di siapkan oleh tuan mudanya, justru mendapati gadis itu dengan keadaan demam tinggi.
"Non, bangun! Astaga, badannya panas sekali."
Pelayan yang kemarin mengantarkan Syifana ke kamarnya itu merasa panik. Dia dengan susah payah membantu gadis itu agar berpindah ke ranjang. Setelah membantu gadis itu berbaring di ranjang sederhana itu, pelayan menyelimuti tubuh Nona muda yang justru akan di perlakukan seperti dirinya oleh Tuan Mudanya.
"Dingin," lirih Syifana ketika hawa dingin semakin merasuk ke tubuh ringkihnya.
Pelayan itu segera berlari ke ruang makan, untuk menemui Tuan Mudanya. Wanita yang usianya sudah tidak lagi muda itu berlari dengan tergesa hingga sampai di depan Alvino. Masih dengan nafas terengah-engah, pelayan itu menyampaikan keadaan Syifana pada sang suami gadis polos itu.
"Tuan, Nona demam tinggi!"
Namun, pria itu hanya berwajah datar. Sama sekali tidak ada sedikitpun raut wajah khawatir dari pria itu kepada istrinya. Dia bahkan beranjak dari posisinya yang memang sudah selesai sarapan pagi.
"Kau berikan saja obat penurun panas, tidak perlu membawanya ke rumah sakit. Itu hanya akan membuatnya menjadi wanita manja," ujar Alvino seraya berjalan meninggalkan pelayan yang dia tugaskan untuk mengawasi istrinya itu.
Pelayan itu segera kembali ke kamar Syifana, melihat gadis itu semakin menggigil. Dia akhirnya mengambilkan dua selimut yang berada di ruang loundry di mansion tersebut. Menyelimutkan dua selimut itu sekaligus di tubuh mungil sang nona muda.
Dia kembali keluar dari kamar, mencari obat penurun panas di dalam kotak obat yang tersedia di dapur. Kebetulan obat itu hanya tinggal satu butir, dia segera membawanya bersama dengan segelas air putih. Setelah itu dia kembali ke kamar gadis malang yang berstatus istri tuan mudanya.
"Nona, minum obat dulu." Pelayan itu membantu Syifana meminum obat penurun panas.
Setelah meminum obat itu, pelayan kembali membiarkan Syifana terlelap. Berharap bahwa nona mudanya akan baik-baik saja setelah meminum obat yang biasanya hanya di minum oleh para pelayan disana.
"Kasian anda, Nona. Semoga anda bisa kuat menghadapi Tuan Muda," ujar pelayan itu merasa kasihan pada gadis itu.
Karena masih banyak kerjaan yang harus di kerjakan olehnya, pelayan itu meninggalkan Syifana sendirian. Dia kembali mengerjakan tugasnya di dapur, membersihkan sisa makanan dan mencuci peralatan makanan tuan mudanya.
Ketika dia sedang sibuk mengerjakan tugasnya, tiba-tiba dari belakang ada yang menyentuh bahunya. Pelayan itu menoleh, mendapati asisten tuan mudanya sedang menatap dirinya. Di tatap dengan tajam oleh orang kepercayaan tuan mudanya, pelayan itu menundukkan kepala.
"Kamu, tolong urus Nona muda dengan baik. Kasihan dia, masih remaja harus menjadi alat balas dendam suaminya sendiri."
Saat Andri berucap seperti itu, ternyata Syifa sedang berjalan ke tempat itu. Namun gadis itu menyembunyikan dirinya di balik lemari besar yang berada disana.
'Jadi, aku hanya sebuah alat balas dendam?' batin Syifana terkejut.
Bersambung...