Kembali ke masa lalu, adalah sesuatu yang mustahil bagi Nara.
Tapi demi memenuhi keinginan terakhir sang putri, ia rela melakukan apapun bahkan jika harus berurusan kembali dengan keluarga Nalendra.
Naraya bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis mungil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama. Ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
****
Amara, gadis berusia enam tahun yang sangat ingin bertemu dengan sang ayah.
Akankah kerinduannya tak tergapai di ujung usianya? Ataukah dia akan sembuh dari sakit dan berkumpul dengan keluarga yang lengkap?
Amara Stevani Nalendra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih sah sebagai suami istri setelah tujuh tahun
Lama Nara menyelami masa lalu sembari menikmati perjalanan pulang menuju rumah sang papa, dia di kagetkan oleh sentuhan dari tangan Khansa di lengan kanannya.
"Na"
"I-iya Sa" jawab Nara seraya menoleh ke samping kanan.
"Kita sudah sampai"
Mengedarkan pandangan, reflek kedua tangan Nara mengusap wajahnya lembut.
Ya Tuhan, saking hanyutnya dengan masa lalu yang getir dan begitu menyakitkan, aku sampai nggak sadar mobil yang mas Aksa kendarai ternyata sudah sampai di pelataran mini market papa.
Seringnya Nara mendengar cerita tentang pak Ramdan dari Khansa dan juga Anita, yang memanggil pak Ramdan dengan sebutan papa, membuat Nara pun terbiasa memanggil dengan sebutan itu, dan sudah sejak tiga tahun yang lalu secara reflek Nara merubah panggilan pada sang ayah.
"Kamu mikirin Tama?"
Nara menghirup napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya. Pandangan Nara ia alihkan pada Aksa yang sudah lebih dulu keluar dari mobil dengan menggandeng tangan Mita dan Amara di tangan kanan kirinya.
"Apa keputusanku benar Sa?"
"Keputusan apa maksud kamu?"
"Aku takut kehadiranku dan Amara, akan merusak rumah tangga barunya mas Tama"
"Papa belum cerita?"
"Cerita apa?" tanya Nara lengkap dengan kerutan di dahinya.
"Tiga hari yang lalu, mas Aksa nemenin papa ke pengadilan agama, mempertanyakan soal akte ceraimu dengan suamimu, tapi kata mereka, kalian masih suami istri secara hukum" jelas Khansa tanpa jeda. "Sampai sekarang Tama masih sah suamimu, karena dia nggak pernah mendaftarkan perceraian kalian"
Mendengar ucapan Khansa, entah kenapa jantung Nara mendadak berdetak sangat kencang. Ia berusaha menelan salivanya mencoba menetralisir rasa tak nyaman yang mendadak singgah.
"Apa itu artinya dia belum menikah?"
Khansa mengedikan bahu merespon pertanyaan Nara. "Jawabannya ada dua Na" kata Khansa dengan fokus sepenuhnya menatap Nara. "Pertama, dia memang belum menikah lagi, kedua, dia berpoligami, dia menikah tanpa menceraikanmu"
"Apa aku sanggup melihat dia dengan istri keduanya Sa"
"Tanyakan pada dirimu sendiri, kalau kamu memang masih mencintainya, aku yakin itu akan sulit"
"Aku takut lemah di hadapannya"
"Coba kamu dulu menerima pinangan teman bang Emir, aku yakin Ara nggak akan menanyakan tentang papa kandungnya"
"Aku nggak mencintainya Sa, lagi pula mas Tama belum menceraikanku, mana bisa aku menikah"
"Benar juga si, tapi selain itu, kamu juga terus menjerat dirimu sendiri untuk terus mencintai Tama"
Mendengkus pelan, Nara melempar pandangan pada sosok pak Ramdan yang tengah menggendong Ara dengan raut bahagia.
"Keputusanmu enggak salah Na, kamu melakukan ini bukan untuk kembali pada Tama, kamu melakukannya karena Amara. Biar bagaimanapun, Ara harus tahu papa kandungnya, dan Tama juga harus tahu kalau dia punya Anak" Pungkas Khansa dengan sorot serius. "Bukankah jika Ara menikah nanti, dia akan butuh Tama menjadi walinya?"
"Apa umur Ara akan sampai di masa itu Sa?"
"Kamu harus optimis, ingat doa seorang ibu mampu menembus langit. Berdoalah selalu untuk kesembuhan Amara"
Hening, Nara menatap Khansa dalam-dalam, berusaha menyelami netranya untuk mencari keyakinan atas perkataannya.
"Kamu tahu kan, saat aku di nyatakan ada kanker di lambungku, saat itu aku dan mas Aksa juga lemah, tapi demi Mita, keyakinanku untuk sembuh dan keyakinan mas Aksa menyembuhkanku itu sangat tinggi. Jadi aku harap, kamu juga memiliki keyakinan setinggi itu terhadap kesembuhan Amara" Khansa berusaha terus memberikan dorongan dan suport untuk temannya. "Kamu jangan khawatir, mas Aksa dan bang Emir punya kenalan dokter ahli kanker yang sudah menyembuhkan banyak pasien penderita kanker. Kesehatan Amara, akan di pegang penuh oleh bang Emir dan mas Aksa. Setidaknya, itu ikhtiar kita sebagai manusia"
"Apa aku harus seoptimis dan seyakin itu Sa?"
"Tentu saja, bahkan mas Aksa dan bang Emir sudah mempersiapkan dokter ahli transplantasi jika sum-sum tulang belakang Ara cocok dengan Tama"
"Tapi kepercayaan diriku turun jika mengingat ucapan dokter di Korea yang mengatakan umur Ara hanya tersisa enam bulan"
"Dan dalam waktu enam bulan" Khansa menjeda kalimatnya "Ah bukan, dalam waktu seratus delapan puluh hari, kita akan mempertemukan Tama dengan Amara"
Berfikir sejenak, Nara akhirnya mendapatkan sedikit keyakinan dan optimisme dari ucapan Khansa. "Jika kamu seyakin itu Sa" kata Nara setelah melihat Khansa sekilas, lalu menundukkan pandangan pada tangan mereka yang saling bertaut. "Aku sebagai mommynya Ara juga harus yakin dengan kesembuhan Ara"
"Good" sahut Khansa seraya menyunggingkan senyum. "Kita turun!" imbuh Khansa memerintahkan.
"Ayo"
Keluar dari mobil, Nara dan Khansa berjalan bersisian menghampiri pak Ramdan yang sedang menatapnya dengan bibir tersungging. Pria paruh baya itu tampak sangat bahagia menyambut kepulangan sang putri.
"Assalamu'alaikum" sapa Nara dan Khansa kompak.
"Waalaikumsalam" jawab pak Ramdan sambil menerima uluran tangan Nara. Lalu memeluknya setelah Nara mencium punggung tangannya.
"Papa apa kabar?"
"Papa baik Nak" Pak Ramdan mengusap lembut punggung putrinya. Mereka berpelukan cukup lama, seakan tengah melampiaskan rasa rindu yang selama delapan bulan mereka simpan. Karena terakhir Nara pulang, ketika mengantar Nia pulang ke kampung halaman, dan itu sudah delapan bulan berlalu.
Puas memeluk sang papa, Nara mengurai pelukannya lalu ganti Khansa yang mengecup punggung tangan pak Ramdan.
"Papa sehat?"
"Alhamdulillah papa sehat Nak"
"Daff, tolong ambilkan koperku dan Ara di bagasi mobil" perintah Nara pada Daffa.
"Siap mbak Na" Daffa pun berlari menuju mobil.
Daffa yang selama ini tinggal dengan pak Ramdan, adalah seorang anak yatim piatu.
Dia bertemu dengan pak Ramdan ketika di pasar. Saat itu, Daffa yang baru lulus SMP, menjadi kuli panggul bertemu dengan pak Ramdan yang tengah kerepotan membawa barang belanjaan untuk mengisi mini market. Pak Ramdan merasa iba dengan Daffa, kemudian menawarkan Daffa untuk tinggal bersamanya dan akan menyekolahkannya. Hingga sampai detik ini, anak lelaki itu sudah duduk di bangku kuliah semester akhir.
Selama Tujuh tahun pula Daffa menemani pak Ramdan sekaligus menjaga mini marketnya. Sekarang, mini market yang awalnya hanya berlantai satu berukuran kecil, kini sudah berlantai dua dan berukuran tiga kali lipat lebih luas. Mita dan Ara menyebutnya sebagai mall kecil-kecil.
Rumah pemberian bu Rania yang dulunya hanya berlantai satu dan terkesan sederhana, kini juga sudah berubah mewah dengan bangunan minimalis berlantai dua, tentu saja di bangun oleh Nara dari hasil kerja kerasnya selama mengurus restauran Khansa di Korea. Restauran yang terus menunjukan kemajuan di setiap tahunnya, bahkan dengan tangan Nara, restauran itu menjadi restauran ternama yang paling di minati oleh penduduk Korea.
Sementara pak Ramdanpun tak kalah sukses, Dari hasil mini marketnya, pak Ramdan mampu membeli dua unit mobil. Satu unit untuk dirinya, satu unit untuk Daffa yang sudah di anggap anak sendiri oleh pak Ramdan. Dia juga mampu membiayai kuliah Daffa yang mengambil jurusan sarjana akuntansi.
"Sayang, kita langsung pulang ya" kata Aksa menyela obrolan sang istri dengan pak Ramdan.
"Iya" jawabnya lalu memindai wajah Nara. "Kita pulang dulu Na, kalian bisa kangen-kangennan sama papa, besok aku dan Anita akan datang"
"Ok, hati-hati kalian" balas Nara, lalu mengecup pipi kanan dan kiri Khansa. "Makasih untuk semuanya Sa"
"Its ok, kita saudara tidak perlu berterimakasih"
Usai mengatakan itu, Khansa dan Aksa pun berpamitan pada pak Ramdan dan juga Daffa.
"Sun dulu tangan Kakek sayang" perintah Aksa pada putrinya. Dengan cepat Mita pun melakukan apa yang Aksa perintahkan. Detik berikutnya, Mita dan Amara saling berpelukan seolah berat untuk berpisah.
"Besok ke sini lagi kan mom?" tanya Mita mendongak menatap Khansa.
"Iya sayang besok kita datang lagi, sekarang biarkan Ara istirahat"
"Ok deh, bye Ara"
"Bye Mita"
Dua gadis kecil yang hanya berselisih usia sekitar lima bulan, terlihat saling menyayangi bak saudara termasuk dengan Sheina dan Sheila si kembar putri dari Anita dan Emir.
*****
Malam harinya, tepat pukul sepuluh malam, Nara yang belum bisa memejamkan mata, terus menatap bingkai berisi foto bu Fitri dan dirinya. Tanpa sadar, ia meluncurkan titik bening berasal dari sudut matanya.
"Ibu" kata Nara, telapak tangannya mengusap wajah bu Fitri pada foto di balik bingkai.
"Nana kembali bu, Na kangen ibu. Bagaimana ibu di sana? Na berharap, ibu tenang dan senang melihat Na dan papa. Ibu nggak perlu khawatir dengan kami bu, kami sudah hidup bahagia. Apalagi dengan kehadiran Daffa, kami seakan mendapatkan keluarga baru. Doain Na supaya kuat menghadapi masalah yang menimpa Nana bu, dan jika ibu bersedia, tolong bujuk Allah supaya jangan mengambil Ara dari Na. Dia adalah Nafas Na bu, Na nggak tahu akan seperti apa hidup Na tanpa Ara"
Puas memandangi foto sang ibu, tangannya terulur menarik laci nakas, lalu meraih album kenangan berisi foto pernikahannya dengan Tama. Matanya terus fokus memindai foto dirinya dengan balutan baju pengantin berdampingan dengan Tama dengan pose tengah tersenyum menunjukkan buku nikah.
"Maafkan aku mas, aku pernah menyerah karena kepercayaan diriku terkikis. Setelah beberapa kali terusir dari perusahaan dan rumahmu, aku memilih mundur sebab aku terlalu lelah mas. Maafkan aku jika kehadiranku akan membuat rumah tangga mas terusik, tapi akan aku pastikan rumah tangga mas dan istri baru mas akan baik-baik saja. Ini aku lakukan hanya untuk Amara, bukan untukku"
Menghirup napas dalam-dalam, Nara teringat ucapan pak Ramdan setelah makan malam tadi. Pak Ramdan berkata, jika dirinya masih sah menjadi istri Tama. Dan pak Ramdan juga mengatakan jika Tama masih belum menikah kembali. Itu kata petugas pengadilan yang mengatakan bahwa tidak ada catatan pernikahan Gautama Nalendra dengan perempuan manapun.
"Itu artinya mas Tama juga belum menikah? atau bisa jadi dia menikah siri. Ahh kenapa serumit ini?"
Yaa Rabb, beri aku keberanian untuk menemui mas Tama besok, beri aku kekuatan jika bertemu dengan Rania. Beri aku kelancaran serta kemudahan yaa Rabb.
Bersambung...
suka banget sama karya2mu..
semoga sehat selalu dan tetap semangat dalam berkarya.. 😘🥰😍🤩💪🏻