Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Saat cinta tak berbalas, biarlah waktu yang akan membalasnya. Menemukan cinta baru, atau hati menjadi beku dan tak lagi mau mengenal cinta.
Seminggu sudah, aku tak bertegur sapa dengan lelaki berstatus suami.
Bagaimanapun caranya, aku tidak ingin berjumpa dengannya.
Perasaan ini mungkin tersiksa, tapi harga diri ini telah terluka parah.
Bagaimana mungkin, seorang suami tidak pernah menghargai perasaan seorang istri?
Seorang suami tidak pernah menghargai hubungan pernikahan ini?
Maka, biarlah seperti ini dulu. Saling diam, seperti orang asing yang tak saling kenal. Sampai hati tahu kemana dia harus berlabuh.
Melabuhkan keputusan, melepaskan atau memberi kesempatan sekali lagi untuk bertahan.
Herannya, bang David tidak pernah mempertanyakan hal itu. Tentang sikapku yang selalu menghindarinya ... dia malah sering pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali.
Alhasil, kami jarang bertatapan atau saling melihat. Entah jika di kantor, aku juga tidak pernah melihatnya selama ini.
Mungkin karena dia benar-benar sibuk, atau ... juga sengaja menghindari ku.
Dan ... selama itu pula, hubunganku dengan pak Adrian semakin ... akrab.
Kami sering menghabiskan waktu makan siang bersama. Karenanya sekarang aku tahu, jika lelaki itu alergi seafood. Penyuka green tea, setiap hari tidak pernah bosan memesan minuman itu.
Dan, yang membuatku terkesan ialah ... senyumnya sangat manis. Dengan tatapan teduh yang selalu dia pancarkan.
Seperti siang ini, aku dan pak Adrian makan siang berdua di restoran yang lokasinya agak jauh dari kantor. Hmmm, sekitar dua puluh menit jaraknya.
Saat kami tengah menyantap menu makan siang. Tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan bang David.
Entah suatu kebetulan atau disengaja. Aku tidak tahu.
Bang David berdiri menjulang, sorot matanya sangat tajam, seolah siap membunuh siapa saja. Ah, kalau lama-lama aku menatapnya, bisa-bisa aku mati di sini. Maka, aku menunduk.
Melirik sekilas ke arah Pak Adrian yang sedang menyesap minuman kesukaannya. Lelaki itu, mengedipkan sebelah mata.
Ah, ada-ada saja dia. Sempat-sempatnya menggodaku dalam keadaan menegangkan seperti saat ini.
"Mau ikut makan, Boss?" tanya pak Adrian santai.
Tidak ada jawaban dari bang David. "Anna."
"Ya ...?" Aku mendongak menatap wajahnya. Tampak jelas ketidaksukaannya melihat kami saat ini.
"Kalian sering makan bersama di luar rupanya?" tanya bang David datar. Namun, jelas menusuk jantungku.
"Kalau mau ikut gabung, langsung aja ... Boss David. Tidak usah bertele-tele." potong pak Adrian.
"Gue gak ngomong sama Lo." ketus bang David.
"Yaelah, santai aja. Sini duduk, kita makan. Udah lama juga kan gak makan berdua." pak Adrian masih berbicara dengan tengan, suaranya terdengar sedikit menggoda.
"Anna, ayo pulang." Bang David maju, meraih tanganku.
"Sabar Bro, kami datang berdua. Jadi Anna pulang denganku." Pak Adrian berbicara tegas.
"Apa Lo lupa status kami?" tanya bang David sengit.
"Emang apa status kalian?" pak Adrian membalas tak kalah sengit.
Suasana semakin terasa panas. Kedua lelaki dewasa ini terus bersitegang tanpa peduli di mana mereka berada.
Aku lantas berdiri. Menepis tangan bang David. Lalu tersenyum pada pak Adrian.
"Pak, saya pulang dulu sama Boss David ya .., nanti saya hubungi Bapak." ucapku setenang mungkin. Padahal, degup jantungku bergemuruh tak keruan.
Pak Adrian tidak berbicara lagi. Kami hanya saling tatap sejenak. Aku tahu, ada kecewa di sana. Namun, dia juga tidak bisa memaksaku. Karena, bagaimanapun statusku masih istri sah seorang David.
Aku mengangguk, kemudian tersenyum menatap pak Adrian. Lantas berjalan lebih dulu, di depan bang David. Tak lama kemudian, langkah bang David terdengar mengikuti di belakang.
Tidak ada pembicaraan antara kami selama di dalam mobil.
"Mau ke mana?" tanyaku bingung, saat menyadari mobil bukan ke arah menuju kantor.
Sialnya. Lelaki di samping menjelma menjadi gunung es, yang entah kapan akan mencair.
Dia diam, sepertinya tidak berniat menjawab pertanyaanku.
Dering ponselku berbunyi. Tertera nama pak Adrian di sana. Aku segera menggeser ikon berwarna hijau.
"Iya, Pak?" tanyaku pelan. Mataku melirik ke arah bos David, yang ternyata dia tengah melirik ke arahku juga.
Buru-buru aku membuang wajah ke samping, melihat pemandangan di luar jendela.
"Kamu gak balik ke kantor, ya?"
"Kayaknya, enggak, nih, Pak ...."
"Oh, yasudah. Gak apa-apa ... nanti kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung hubungi aku ya."
"I-iya, Pak. Terimakasih."
Panggilan di putus.
"Ngomong apa Adrian?" tanya boss David sinis. Pandangannya tetap fokus ke jalan.
"Engga apa-apa, cuma bilang gak balik kantor." Aku menggenggam erat ponsel di pangkuan. Pandanganku kembali ke jendela.
"Heh, emang siapa dia? Kalian gak seharusnya berhubungan dekat."
"Kami berteman. Itu saja."
"Setelah kemarin-kemarin bilang, kalian gak ada hubungan apa-apa. Sekarang jadi teman, begitu?"
"Minimal di antara kami enggak ada yang harus disembunyikan."
Kemudian, hening. Bang David tidak berbicara, hanya terdengar bunyi gemelatuk giginya yang saling beradu.
Sesampainya di rumah, aku segera masuk kamar. Sayangnya, bang David mengikuti ku.
Ada perasaan takut menyelimuti hatiku. Bayangan dia melakukan hal tak senonoh kala itu tercetak jelas di ingatan.
Seketika, darahku berdesir. Aku tidak siap jika lelaki itu meminta haknya padaku.
Bang David masuk, menutup pintu. Kemudian mendekapku dari belakang.
Tuhan! Tolong jangan sekarang
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat