NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 25 IDENTITAS BARU

#angun lebih awal dari biasa—bahkan sebelum adzan subuh berkumandang. Bukan karena ia tidak bisa tidur, tapi karena ada sesuatu yang harus ia urus hari ini. Sesuatu yang sudah ia rencanakan sejak minggu lalu, sesuatu yang akan membuat keberadaannya di dunia ini resmi tapi dengan identitas yang berbeda.

Ia sholat subuh sendiri di kamar—tidak ke masjid seperti biasa karena ia harus berangkat pagi sekali. Sujudnya kali ini lebih lama dari kemarin-kemarin, dahi di sajadah dengan napas yang pelan, berbisik doa yang bahkan ia sendiri tidak yakin siapa yang ia minta tolong—Tuhan, atau justifikasi untuk apa yang akan ia lakukan.

Jam enam pagi, ia sudah di halte bus dengan jaket tebal dan tas ransel kecil. Tidak ada yang aneh dari penampilannya—hanya cowok biasa yang mau pergi ke kota. Tapi di dalam tas ransel itu, ada amplop cokelat berisi uang tunai lima puluh juta rupiah—uang yang ia kumpulkan dari semua yang tersisa setelah keluar penjara, ditambah "pinjaman" dari Harris yang sebenarnya adalah bagian dari investasi untuk operasi ini.

Bus ke Bandung berangkat jam setengah tujuh. Elang duduk di belakang, menatap jalan yang ia lewati dengan pikiran yang fokus. Hari ini ia akan mati—setidaknya secara legal. Hari ini Elang Alghifari akan hilang dari sistem, dan Galang Saputra akan lahir.

Kantor notaris yang ia tuju bukan kantor sembarangan. Ini kantor yang Farrel kasih tahu lewat surat terakhir sebelum Elang bebas—surat yang berisi banyak informasi berguna termasuk kontak-kontak "khusus" untuk situasi "khusus". Notaris Budiman Santoso, kantor kecil di gang sempit kawasan Cicadas, jauh dari pusat kota, jauh dari mata-mata yang terlalu banyak bertanya.

Elang sampai jam sembilan pagi. Kantornya sederhana—ruang tunggu kecil dengan sofa lusuh, meja resepsionis tanpa resepsionis, dan pintu kayu tua dengan plat nama yang sudah pudar. Ia ketuk pintu tiga kali—kode yang Farrel bilang.

"Masuk," suara dari dalam—berat, tua, serak.

Elang masuk. Ruangan di dalamnya lebih gelap dari yang ia kira—gorden ditutup meskipun pagi hari, hanya lampu meja yang menyala. Di balik meja duduk pria tua, mungkin enam puluhan, dengan rambut putih tipis, kacamata tebal, dan wajah yang sudah melihat terlalu banyak rahasia untuk peduli dengan satu lagi.

"Pak Budiman?" Elang bertanya meskipun sudah tahu jawabannya.

"Anda pasti yang Farrel bilang," pria itu menjawab tanpa basa-basi, menunjuk kursi di depan meja. "Duduk. Kita nggak punya banyak waktu. Hari ini aja ada tiga klien lain yang butuh layanan serupa."

Elang duduk, meletakkan tas ransel di pangkuan. "Saya butuh identitas baru. Legal. Lengkap. Kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, ijazah—semua yang bikin saya ada di sistem tapi bukan sebagai diri saya yang lama."

Pak Budiman mengangguk, membuka laci, mengeluarkan formulir dan pena. "Nama lama?"

"Elang Alghifari."

Jari Pak Budiman berhenti sebentar—sangat sebentar—di atas kertas. "Nama itu... saya pernah dengar di berita. Kasus korupsi beberapa tahun lalu."

"Saya tidak korupsi," Elang berkata datar. "Saya dijebak. Tapi itu bukan urusan Bapak. Bapak cuma perlu bikin saya jadi orang lain."

"Fair enough." Pak Budiman lanjut menulis. "Nama baru?"

"Galang Saputra."

"Tempat tanggal lahir?"

"Yogyakarta, dua puluh tiga Mei sembilan puluh sembilan."

"Pendidikan?"

"Sarjana ekonomi. Universitas di luar negeri—Pak Budiman yang tentuin mana yang kredibel tapi susah diverifikasi."

Pak Budiman mengetik di komputer tua yang bunyinya kayak mesin ketik. "Australia. Universitas Melbourne. Sarjana ekonomi, lulus dua ribu dua puluh. Balik Indonesia tahun lalu. Sekarang kerja sebagai konsultan bisnis independen. Riwayat bersih, tidak ada catatan kriminal, tidak ada utang macet." Ia menatap Elang. "Ini sempurna. Terlalu sempurna. Kalau ada yang investigasi dalam-dalam, mereka akan curiga."

"Mereka nggak akan investigasi kalau gue nggak bikin masalah," Elang menjawab. "Gue cuma butuh identitas yang bikin gue eksis secara legal. Bukan buat penipuan atau kejahatan. Cuma buat... hidup."

"Semua klien saya bilang begitu," Pak Budiman bergumam sambil terus mengetik. "Tapi nggak ada urusan saya apa yang Anda lakukan setelah ini. Saya cuma tukang bikin identitas. Anda yang pilih mau jadi apa."

Proses itu memakan waktu dua jam—foto, sidik jari digital yang entah bagaimana Pak Budiman rekayasa di sistem, tanda tangan di puluhan dokumen yang kebanyakan Elang tidak baca karena terlalu legal dan rumit. Yang penting adalah hasil akhir: map cokelat tebal berisi kartu tanda penduduk baru dengan foto Elang tapi nama Galang Saputra, surat izin mengemudi, ijazah sarjana dari universitas asing, bahkan kartu keluarga palsu yang bilang orang tua Galang sudah meninggal—detail yang bikin cerita lebih kredibel dan lebih susah diverifikasi.

"Berapa?" Elang bertanya ketika semua selesai.

"Lima puluh juta," Pak Budiman menjawab tanpa ragu. "Cash. Sekarang."

Elang buka tas ransel, keluarkan amplop, hitung uang di depan Pak Budiman—semua seratus ribuan, bersih, tidak lecek. Lima puluh juta pas. Pak Budiman hitung ulang dengan jari yang cepat dan terlatih, lalu masukkan ke brankas kecil di bawah meja.

"Satu hal lagi," Elang berkata sebelum berdiri. "Pastikan tidak ada yang bisa lacak ini ke Elang Alghifari. Tidak ada jejak. Tidak ada catatan yang connect dua identitas itu."

"Tenang," Pak Budiman menjawab sambil menyalakan sebatang rokok—meskipun ruangannya kecil dan pengap. "Ini jalur aman. Sistemnya terpisah dari database utama. Dan saya sudah tiga puluh tahun di bisnis ini—kalau ada yang bisa lacak, saya sudah di penjara dari dulu."

Elang mengangguk, berdiri, mengulurkan tangan. Pak Budiman jabat dengan grip yang masih kuat untuk pria seusianya.

"Selamat hidup baru, Pak Galang," katanya dengan senyum tipis yang lebih mirip smirk. "Semoga identitas baru ini bawa keberuntungan lebih baik dari yang lama."

Elang keluar dari kantor itu dengan map cokelat dipeluk erat di dada. Udara luar terasa lebih segar meskipun Bandung juga polusi—setidaknya lebih segar dari ruangan pengap yang bau rokok dan rahasia.

Ia berjalan ke warung kecil di ujung gang, pesan kopi dan gorengan, duduk di kursi plastik sambil membuka map itu lagi. Menatap kartu tanda penduduk baru dengan nama yang bukan namanya, tanggal lahir yang bukan tanggal lahirnya, riwayat yang bukan riwayatnya.

Galang Saputra. Orang ini tidak pernah dikhianati. Tidak pernah masuk penjara. Tidak punya dendam. Orang ini bersih. Polos. Tidak punya beban masa lalu yang berat sampai bikin susah napas.

Tapi orang ini juga tidak punya memori indah. Tidak punya teman sejati. Tidak punya ibu yang dulu peluk dia setiap kali dia takut gelap.

Elang menutup map itu, minum kopi yang sudah dingin, merasakan pahit yang lebih intens dari biasanya—atau mungkin itu bukan kopi, tapi sesuatu di lidahnya yang bikin semua terasa pahit sekarang.

Jam tiga sore ia sampai kembali di Pangalengan. Warung Bu Marni sudah ramai dengan pelanggan sore—buruh kebun teh yang mampir setelah kerja, anak sekolah yang beli gorengan, ibu-ibu yang ngobrol sambil nunggu suami pulang. Elang lewat belakang, naik tangga ke kamar dengan pelan, tidak mau ganggu.

Tapi Anya melihatnya dari jendela dapur. Ia keluarkan tangan dari air cucian piring, lap cepat dengan lap, kejar Elang ke tangga.

"Mas!" panggilnya—suara sedikit terengah karena naik tangga cepat. "Mas kemana aja seharian? Anya khawatir. Mas nggak bilang mau pergi."

Elang berhenti di tengah tangga, menoleh. Anya berdiri di bawah dengan wajah yang khawatir campur lega—kombinasi yang bikin dadanya sesak dengan rasa bersalah yang tidak ia mau rasakan.

"Anya, gue cuma ada urusan di Bandung. Udah selesai sekarang."

"Urusan apa?" Anya naik beberapa anak tangga, mendekat dengan mata yang mencari-cari sesuatu di wajah Elang—mencari kepastian bahwa ia baik-baik saja, mungkin.

Elang ragu sebentar. Tapi akhirnya ia keluarkan map cokelat dari tas, buka, tunjukkan kartu tanda penduduk baru ke Anya.

Anya terima dengan tangan yang hati-hati, seperti memegang sesuatu yang rapuh. Matanya membaca nama di kartu itu—sekali, dua kali, seperti tidak percaya.

"Galang Saputra," bacanya pelan. Lalu ia angkat pandangan, menatap Elang dengan mata yang mulai berkaca. "Mas sekarang... jadi Galang?"

Elang mengangguk. "Elang Alghifari sudah mati, Nya. Di mata hukum, di mata masyarakat, di mata semua orang. Yang hidup sekarang cuma Galang Saputra. Orang yang nggak punya masa lalu. Nggak punya beban. Nggak punya—"

"Nggak punya siapa-siapa," Anya menyelesaikan dengan suara yang gemetar. Ia kembalikan kartu itu ke Elang dengan gerakan yang terlalu hati-hati, seperti takut kartunya pecah. "Mas bunuh Elang. Mas bunuh diri mas sendiri. Dan sekarang mas jadi... jadi siapa? Orang palsu dengan nama palsu dan hidup palsu?"

Kata-kata itu menohok lebih dalam dari yang Elang kira. Karena ada kebenaran di sana—kebenaran yang ia coba hindari tapi Anya lempar langsung ke mukanya dengan kejujuran yang menyakitkan.

"Nya, ini buat keamanan—"

"Keamanan dari apa?" Anya memotong, suaranya naik sedikit—tidak teriak, tapi ada emosi di sana yang jarang keluar. "Keamanan dari orang yang mau ganggu mas? Atau keamanan dari diri mas sendiri yang mulai nggak kenal siapa mas lagi?"

"Anya, kamu nggak ngerti—"

"Anya ngerti!" Kali ini suaranya lebih keras, mata yang tadinya berkaca sekarang mulai mengeluarkan air mata—tidak banyak, cuma dua tiga tetes yang turun pelan di pipi. "Anya ngerti mas lagi perang. Anya ngerti mas butuh lindungin diri. Tapi mas... mas jangan sampe dalam proses melindungi diri, mas malah ngehilangkan diri mas yang asli. Karena Elang itu... Elang itu mas. Itu nama yang ibu mas kasih. Itu identitas yang mas bangun. Dan sekarang mas buang gitu aja kayak sampah."

Elang diam. Tidak bisa menjawab karena tenggorokannya terasa tersumbat oleh sesuatu yang keras dan panas. Anya menangis—tidak dengan suara, cuma air mata yang terus keluar dan ia lap dengan punggung tangan dengan gerakan yang frustrasi.

"Maaf," akhirnya Anya berbisik, suara bergetar. "Anya nggak bermaksud marah. Anya cuma... Anya takut mas. Takut mas ngehilang. Takut suatu hari Anya bangun dan yang ada di kamar atas bukan lagi mas yang Anya kenal, tapi orang asing bernama Galang yang nggak punya hati lagi."

Ia turun tangga dengan cepat, kembali ke dapur, meninggalkan Elang berdiri sendirian di tengah tangga dengan map cokelat di tangan dan dada yang terasa seperti diremas.

Elang masuk kamar, menutup pintu, duduk di pinggir kasur dengan kartu tanda penduduk baru di tangan. Menatap nama itu—Galang Saputra—sampai huruf-hurufnya blur karena matanya lelah atau karena sesuatu yang lain yang ia tolak untuk akui sebagai air mata.

Anya benar. Ia membunuh Elang. Ia membunuh diri sendiri dan melahirkan seseorang yang tidak punya sejarah, tidak punya luka, tidak punya... tidak punya apapun yang bikin dia manusia.

Tapi ini yang harus dilakukan, kan? Ini yang perlu untuk survive, untuk menang, untuk—

Untuk apa sebenarnya?

Pertanyaan itu bergema di kepala tanpa jawaban yang memuaskan.

Di luar, matahari mulai turun. Dari jendela kamar, Elang bisa lihat Anya di teras belakang, duduk sendirian dengan lutut dipeluk, menatap kebun teh dengan punggung yang sedikit membungkuk—postur orang yang sedih tapi berusaha tidak keliatan.

Dan entah kenapa, melihat itu lebih menyakitkan dari semua pengkhianatan Brian dan Zara. Karena Brian dan Zara menyakiti Elang yang lama. Tapi sekarang, ia sendiri yang menyakiti orang yang peduli sama dia—bukan karena jahat, tapi karena ia terlalu tenggelam dalam perang sampai lupa ada orang yang cuma pengen dia selamat dan utuh.

Elang letakkan kartu tanda penduduk itu di meja dengan pelan. Di sampingnya, masih ada bunga edelweiss kering yang Anya kasih minggu lalu—bunga yang artinya keabadian.

Tapi apa yang abadi kalau yang memegang bunga itu terus berganti identitas, terus berubah, sampai tidak ada yang tersisa dari diri aslinya?

Ia tidak tahu. Dan tidak tahu itu lebih menakutkan dari apapun yang Brian bisa lakukan padanya.

---

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!