Tiba-tiba Cerai

Aku sedikit meringis menahan sakit, saat salep dingin itu di sapukan diatas kulit ku. Perih dan panas menjadi satu. Di tambah dengan kenyataan pahit yang mengungkapkan siapa Anita sebenarnya, mas Wardana juga sama, baru kali ini aku melihat mas Wardana berubah menjadi monster mengerikan seperti itu.

“Apa rasanya sakit, Aluna?” tanya Tante Soraya, mungkin dia merasakan kalau aku menahan sakit sejak tadi.

“Sedikit Tante, lebih sakit lagi dengan kenyataan yang baru saja aku ketahui!” jawab ku pelan, jika om Zaki dan om Rima adalah teman Abah sejak dulu. Pastilah mereka juga tahu mengenai aku yang punya seorang adik kan? tapi kenapa mereka tidak ada yang memberi tahu ku sedikit pun.

“Maaf kalau kami tidak memberi tahu kamu, soal kamu yang punya seorang adik! Karena itu permintaan Abah mu sendiri!” Tangan Tante Soraya mulai berhenti menyapukan salep nya, ia bangkit untuk mengambil tisu di atas meja rias. Dan membersihkan tangannya sendiri.

“Kenapa Abah melakukan itu?”

“Karena bahaya mengintai keluarga mu, Aluna.. Gemilang Raharjo tidak segampang yang kita pikirkan, dia itu seperti belut! susah sekali mengetahui dia ada dimana, kalaupun dia ditangkap, dalam jangka waktu singkat dia bisa menghirup udara bebas lagi!”

Aku merapikan pakaian ku kembali, dan jilbab instan yang baru saja ku ganti. Kini aku duduk di tepian ranjang, sedang Tante Soraya duduk di kursi meja rias ku. Aku menatap Tante Soraya dalam-dalam, semengerikan itu kah ayah mertua ku?

Kalau begitu, aku harus menyiapkan mental dan juga bekal yang cukup melawan dia kan?

“Jadi maksudnya, semua ini belum berakhir, Tan?”

Tante Soraya menggeleng lemah, ada raut khawatir disana. Dan itu terlihat jelas sekali.

“Mungkin setelah Wardana ditangkap, kita akan sampai pada puncak masalah ini! Gemi pasti akan datang untuk membebaskan anak nya!”

Aku berpikir sebentar, bagaimana cara nya kami semua, terkhusus aku sendiri mengahadapi mereka?

Ya Allah.. Tolong beri aku jalan!

“Jika benar harta Abah murni milik kakek dan Abah, berarti kita dijalan benar kan Tan, jadi kita gak boleh lemah! Keluarga Kesuma hanya tinggal aku seorang, walaupun ada Anita tapi dia tidak berpihak pada kita! Dan aku yakin pun dia tidak akan pernah berubah!”

“Karena otak nya sudah di cuci oleh Gemi dan Wardana, tapi seharusnya dia bisa berpikir untuk melihat situasi setelah sekian lama dia mengenal kamu! Tapi tidak kan, dia justru semakin menjadi-jadi merebut Wardana dari kamu!”

“Aku tidak memperdulikan soal dia merebut mas Wardana, Tante.. Aku kecewa karena dia berusaha melenyapkan aku juga!” Tante Soraya bergerak mendekati ku, ia memeluk ku.. Dan berulang kali mengusap punggung ku, aku tahu ini cara Tante Soraya menenangkan aku.

“Sabar ya sayang! Setelah badai pasti akan ada pelangi! Sekarang kita kebawah, untuk membicarakan masalah ini!”

“Iya Tan.”

Sesampai nya kami dibawah mereka semua langsung menoleh pada ku.

“Apa luka nya parah, ma?” tanya Bintang, khawatir nya padaku membuat aku merasa tak nyaman pada Gita, sejak aku tahu kalau Gita menyukai Bintang aku agak hati-hati menerima perhatian Bintang lagi.

“Sedikit membengkak memang, mudah-mudahan salep nya bisa mengurangi sakit dan memar nya!”

“Aji sudah menelpon barusan, Lun! Kamu di minta datang kesana, biar om dan om Zaki yang mengantar ya? Bintang bisa mengantarkan para wanita untuk pulang!” kata Om Rima , aku juga setuju kalau seperti itu.

“Pa, bisa gak Gita ikut nemenin Aluna..” pinta Gita.

“Boleh kalau Aluna tidak keberatan!” jawab pak Rima.

“Gak apa-apa om, Luna malah seneng kalau ada yang nemenin!”

“Tapi untuk nanti malam, kamu harus kembali tinggal di rumah om ya? Sampai kondisi nya kembali kondusif! gimana Zak?”

“Iya.. Disana lebih aman! Kalau di rumah ku, Gemi tahu dimana rumah ku kan, disana juga gak ada bodyguard seperti dirumah kamu, jadi aku percayakan Aluna padamu, Rim!”

“Oke kalau gitu! Kamu sendiri gimana Lun?”

“Luna ikut aja om, karena kalian adalah pengganti Abah sekarang!”

“Jangan merasa kesepian ya.. Karena kamu juga orang tua kamu!” Om Rima mengusap kepala ku dengan lembut.

“Iya Lun.. Lain kali kita akan bertolak ke Sumatera untuk melihat perkebunan kamu disana, sudah saat nya kamu mengambil alih!”

Aku tersenyum, bersyukur karena Abah memiliki teman yang setia dan baik hati seperti om Rima dan Om Zaki. Sampai Abah tidak ada sekalipun, mereka masih tetap mau membantuku. Dan dari seluruh kejadian ini, aku semakin penasaran dengan sosok Gemilang Raharjo. Saudara tiri Abah.

**

Aku , Om Rima dan om Zaki serta Gita berangkat ke kantor polisi. Karena mereka juga butuh keterangan ku. Begitu kami sampai disana, mas Aji langsung menemui kami.

“Pa, seperti nya masalah ini akan langsung naik ke persidangan, tapi aku gak yakin apa kita bisa menang atau tidak!” ujar Mas Aji dengan wajah lesu. Kali pertama aku melihat nya seperti ini, semakin terlihat jelas kalau masalah ku tidak sesimple yang terlihat. Karena orang-orang dibalik mas Wardana pasti tidak akan membiarkan anak nya masuk penjara dengan mudah.

“Papa sudah tebak, tapi kita tetap harus optimis.. Paling tidak jangan biarkan Gemilang bisa membawa Wardana keluar dari sini!” sambung om Rima.

“Tapi sulit pa, papa tahu kan hukum di negara kita bisa dibeli dengan uang!”

“Saya akan membantu kalian! Tidak semua aparat bisa di sogok dengan uang, masih banyak orang-orang yang jujur!” ucap salah seorang pemuda mengenakan seragam polisi. Tertulis disebelah kanan seragam nya 'Anggara'.

“Anda mendengar kami?” kata ku.

“Iya! Maaf jika saya terkesan lancang. Tapi saya tidak suka jika ada orang yang sembarangan mempermainkan hukum! Saya akan membantu kalian untuk kasus ini! perkenalkan saya Panji Anggara, kebetulan saya dinas di polres ini, kita bisa bicarakan masalah ini lebih lanjut di tempat lain!” kata nya dengan tegas. Wajah nya sangat serius.

“Terimakasih banyak pak Angga, saya Rima Aksaka, ini Putra saya Aji Aksaka dan ini Aluna, dialah korban dalam masalah ini.. Sedang kami hanya sahabat dari mendiang Ayah nya saja, sedang yang disana itu Zaki Handoko dan itu puteri saya Gita Aksaka.” Om Rima memperkenalkan kami satu persatu. Pak Polisi Angga ini nampak mengulas senyum nya yang tipis pada setiap orang yang diperkenalkan om Rima, hanya padaku saja senyum itu tidak nampak. Manik mata nya saja yang menatap ku agak lama dari yang lainnya. Entah perasaan ku saja, tapi seperti nya memang begitu.

“Ehem!” mas Aji berdehem hingga laki-laki bertubuh atletis di hadapan ku ini langsung membuang muka ke arah lain.

“Lun, bisa kita bicara?”