Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua Puluh Empat
# 24
Malam itu Pesanggrahan Keramat dan sekitarnya pecah oleh tangis. Brama berpulang. Seluruh pejabat dan rakyat menyatakan bela sungkawa yang dalam terhadap keluarga Kerajaan. Jasad Brama diperabukan dan disemayamkan di Gua Pantai Selatan di samping gurunya Astagina. Tak seorang pun tahu, bahwa sebenarnya sebelum meninggal Brama telah merapal Aji Malih Rupa.
Tak lama setelah itu Patih Gotawa dan Dewi Mantili menyusul, Madangkara benar – benar banjir airmata. Namun, Brama juga merapal Aji Malih Rupa untuk Mantili yang akhirnya melakukan penyucian diri di Tegal Siawat – Awat dan Brama menyamarkan tempat dimana Mantili melakukan DHYAANA SUDHI WADANI. Sayangnya, Mantili masih belum bisa mengendalikan emosinya, sehingga ia tampak lebih tua daripada kakaknya itu.
Untuk menurunkan Aji Malih Rupa, Brama harus menyalurkan hampir seluruh tenaga dalam dan tenaga murninya ke dalam tubuh Mantili. Setelah memasuki tahap jeda sesaat, Brama mulai melakukan Tahap Pemulihan Diri. Ia mengolah tenaga dalam dan tenaga murninya untuk memulai pelatihannya kembali. Brama Kumbara yang sakti mandraguna dalam waktu singkat berhasil mengembalikan tenaga dalam berikut ilmu – ilmu yang telah ia pelajari selama ini dan menyatukannya. Dari latihan tersebut terciptalah JURUS PERUBAHAN TANPA WUJUD, dimana ilmu tersebut lebih tinggi tingkatannya daripada ILMU CIPTA DEWA. Brama mampu menjadikan apapun di dunia ini sebagai senjata yang mengandung gabungan tenaga inti dari semua ilmu kadigjayaannya.
Setelah menguasai PERUBAHAN TANPA WUJUD, Brama menurunkan Ilmu CIPTA DEWI pada Garnis dan kembali ke Madangkara. ( Untuk mengikuti alur cerita tersebut, bisa Anda ikuti lagi serial Sandiwara Radio Saur Sepuh dalam Kisah TITISAN DARAH BIRU ). Ia dapat dengan mudah bergerak tanpa terlihat untuk memantau dan mengawasi setiap sudut istana Madangkara juga gerak – gerik orang di kalangan istana.
Kemelut yang terjadi di Madangkara yakni : Perseteruan antara Prabu Wanapati dan Raden Paksi Jaladara pun tidak luput dari pantauannya. Melihat kejadian itu hati Brama seakan disayat – sayat sembilu, tapi, berkat kearifan dan kebijaksanaannya, Brama berhasil mengendalikan diri sekaligus kagum dengan Raden Bentar yang menjadi penengah atas perselisihan 2 putera mahkota itu. Brama sengaja tak ingin menampakkan diri, karena mengerti dan paham bahwa Bentar dan Garnis mampu mengatasi permasalahan itu. Hingga kemunculan Permadi dan Shakila, juga peristiwa yang menimpa Widura, akibat kelicikan Sepasang Walet Putih itu.
Penyamarannya sebagai SI CADAR HITAM, Brama berhasil memancing Permadi dan Shakila keluar dari ibukota Madangkara menuju Hutan Kana Gini, disanalah ia berhasil melukai Permadi dan Shakila dengan CAKRA MANGGILINGAN, tingkat pertama dari Ajian Serat Jiwa, dia pulalah yang meminta beberapa prajurit Madangkara yang baru pulang dari Tanjung Singguruh untuk membawa Permadi dan Shakila kembali ke Madangkara. ( untuk mengetahui lebih rinci dan jelas peristiwa itu, silahkan baca kembali SAUR SEPUH – MENGAIS SUKA DIATAS LUKA babak kedua ).
Saat Widura bentrok dengan 10 orang pembunuh bayaran suruhan Permadi, Brama jugalah yang menyelamatkan nyawanya dan menawan 2 abdi setia Permadi : MAMUT dan KENTOR. Brama berhasil mengarahkan mereka untuk kembali ke jalan yang benar dan membebaskan mereka. Sepeninggal mereka, Brama membawa Widura ke BUKIT HALIMUN, mengobati luka – lukanya dan mewariskan ilmu kanuragan dan kadigjayaan, membesarkan hati dan mengobarkan api semangatnya yang nyaris padam karena kehilangan Cinta dan lengan kirinya.
“Kasihan sekali pemuda yang bernama Widura juga tunangan Garnis itu, kakang,” ujar Mantili.
“Iya. Akan tetapi tekadnya untuk membongkar identitas / kedok Permadi dan Shakila begitu kuat. Aku salut padanya. Itulah sebabnya, aku memutuskan mewariskan seluruh ilmu yang pernah kupelajari semenjak kita masih malang melintang di rimba persilatan,” ujar Brama.
“Lalu, apa rencana kakang Brama selanjutnya ?” tanya Mantili.
“Kita kembali ke Madangkara, tetapi, bergerak di belakang layar,” jawab Brama, “Kita tidak selalu harus menampakkan diri di depan umum, Mantili agar tidak memancing musuh – musuh lama yang kemungkinan masih menaruh dendam pada kita,”
“Saya paham, Kakang Brama. Apakah Kakang tahu asal – usul Permadi dan Shakila ?”
“Yah, mereka sebenarnya adalah putera – puteri dari pejabat Kerajaan Kuntala yang sebenarnya sudah takluk sepenuhnya pada Madangkara. Aku akan menemui orang tua mereka kelak dan membicarakan permasalahan ini. Tapi, tidak sebagai Brama Kumbara yang pernah mereka kenal,” jelas Brama.
“Baiklah, Kakang... saya akan menurunkan jurus – jurus pedang kepada Paksi Jaladara agar ilmu pedangnya lebih matang,”
“Itulah yang kuharapkan, Mantili ...”
“Oya, Kakang Brama... bolehkah saya bertanya sesuatu kepada Kakang ?”
“Katakanlah, Mantili ...”
“Saat Kakang memutuskan untuk menurunkan Malih Rupa kepada saya, Kakang tahu benar akan kehilangan sebagian besar tenaga dalam Kakang ... tapi, mengapa Kakang masih saja melakukannya ? Bukankah sebaiknya Kakang membiarkan saja saya menyusul mendiang Kakang Gotawa ?”
Brama menatap wajah adiknya dengan penuh kasih sayang, “Mantili, mungkin aku terlalu mengasihi dan menyayangimu. Melihatmu meregang nyawa, kau tampak menderita sekali, aku jadi tidak tega, sedih sekali melihatmu seperti itu ... maka, kuputuskan untuk membantumu sebisa mungkin mengurangi penderitaanmu. Paling tidak, kau tidak serta merta meninggalkan dunia fana ini sendirian... ada aku, kakakmu yang menemani. Akan tetapi, sama sekali tak kusangka, pengorbananku itu membuahkan hasil yang baik. Dari sini aku menyadari, ilmu warisan Eyang Guru Astagina seakan tanpa batas. Ajian Serat Jiwa, ternyata tidak berhenti sampai di tingkat sepuluh saja. Dan akhirnya, terciptalah PERUBAHAN TANPA WUJUD, kelak aku akan memperlihatkannya padamu,” jelas Brama.
“Oh, Kakang Brama, terima kasih atas pengorbanan Kakang itu. Sesungguhnya, saya takut menghadapi kematian seorang diri,” kata Mantili sambil memeluk erat kakaknya itu. Brama hanya tersenuym sambil menepuk – nepuk bahu Mantili sambil berkata :
“Untuk mencapai kemurnian, keselarasan dan kesucian jiwa, tidak jarang diperlukan sebuah pengorbanan, entah besar atau kecil, banyak atau sedikit. Inilah yang disebut ... MENGAIS SUKA DIATAS LUKA,”
_____
Sebuah bayangan besar berkelebat, disusul dengan hembusan angin kencang yg cukup besar menerbangkan bebatuan, kerikil dan debu-debu di pelataran rumah mewah bercat putih, dinding berukiran dua ekor naga berebut mustika. Ukiran itu tampak hidup dengan latar belakang merah membara bak bara api sementara dua ekor naga itu, satu berwarna kuning keemasan dan yang satu berwarna hijau.
Hembusan angin yg diiringi pekikan keras itu membuat semua orang yang berada di dalam rumah berlantai dua itu keluar dan terkejut melihat seorang pria bertopeng emas, berpakaian seperti seorang resi berwarna putih berdiri gagah.
"Sampurasun..."
Salam yang dilontarkan dengan suara berat penuh wibawa itu, membuat semua orang terkesima dan membalas salam itu dengan penuh hormat.
"Rampes ..."
Seorang laki-laki tua berpakaian ungu membawa sebuah tongkat besi berwarna hitam keluar dari kerumunan orang, dialah Hanggaraksa, salah seorang bekas menteri Kanuruhan pada masa kejayaan Kerajaan Kuntala yang disegani dan dihormati oleh pejabat-pejabat lain.
"Maaf, kisanak... sepertinya, baru kali ini kita bertemu... kalau boleh tahu siapakah kisanak dan ada keperluan apa datang kemari ?" tanya Hanggaraksa.
"Maaf, tuan... apakah anda yang bernama Hanggaraksa ? Seorang bekas menteri Kanuruhan Kerajaan Kuntala yang terkenal dengan kebijaksanaan, cerdik dan pandai ?" tanya laki-laki bertopeng emas itu.
"Anda terlalu menyanjung saya, kisanak... saya adalah orang biasa-biasa saja yang hanya bisa melaksanakan tugas, tanggung jawab dan kewajiban saya sebagai punggawa istana kala itu. Benar saya adalah Hanggaraksa... siapakah kisanak ini ?" tanya Hanggaraksa sambil mempersilahkan tamunya itu masuk.
Di ruangan yang sebagian besar perabotan-perabotannya terbuat dari kayu Cendana beraroma harum semerbak itu, Hanggaraksa berikut para tamunya termasuk laki-laki bertopeng emas yang tidak lain dan tidak bukan ialah Brama Kumbara itu duduk berhadap-hadapan dengan sebuah meja panjang sebagai pembatas. Hanggaraksa dan yang lain tampak kikuk dengan keberadaan Brama Kumbara, namun berusaha untuk tetap tenang.
"Maaf, kisanak... sepertinya saya tidak mengenal anda. Berasal darimana dan ada urusan apakah gerangan yang membawa anda untuk singgah di gubuk sederhana saya ini," kata Hanggaraksa.
"Saya sendiri juga mohon maaf, tuan. Kedatangan saya yang mendadak ini. Tuan Hanggaraksa, anda bisa memanggil saya dengan sebutan Si Topeng Emas. Saya berasal dari tanah Pajajaran dan kedatangan saya kali ini adalah menyangkut puterimu Shakila,"
"Oh, Shakila... ada apa dengan anak itu, apakah dia baik-baik saja ?" tanya Hanggaraksa.
"Berkat anugerah dari Dewata yang Agung, nona Shakila baik-baik saja tidak kurang suatu apapun bahkan Nona Shakila sudah menjadi salah seorang kepercayaan Sang Prabu Wanapati dan disayangi oleh rakyat karena berjasa besar dalam penumpasan pemberontakan Raden Kuda Sengara," jelas Brama.
"Oh, syukurlah, kalau begitu. Patut Kisanak ketahui... dulu, sewaktu saya masih menjadi salah satu menteri Kanuruhan, bekerja satu atap dengan Baginda Prabu Sisikadila, saya sangat mengagumi kepemimpinannya. Kutanamkan jiwa kepemimpinan sang Baginda ke dalam relung jiwa anak dan isteri saya... jadilah, kalian seperti raja kita yang tegas, pantang menyerah dan adil serta bijaksana... jangan kalian jadi seperti aku yang lemah tak punya pendirian. Dan, tampaknya, Shakila memahaminya. 'Ayah, bolehkah saya menjadi seorang pemimpin ?' itulah yang hampir setiap hari ia tanyakan. Mau tidak mau, saya terpaksa mengajarinya sistem ketatanegaraan sambil sesekali mengingatkan, agar jangan sampai menjadi seorang pemimpin karena nafsu belaka. Akan tetapi, setelah Kerajaan Kuntala diserang oleh pasukan Dewangga dan Madangkara berdiri... saya sadar bahwa kepemimpinan Baginda Sisikadila cacat, saya lebih cenderung mengagumi kecakapan Sang Raja Agung yang memimpin Madangkara saat itu Brama Kumbara... tegas, adil, Arif dan bijaksana. Baginda Sisikadila, tidak ada apa-apanya, karena beliau lebih mengutamakan perluasan wilayah. Memimpin dengan tangan besi, dan itu menurun pada putera satu-satunya Raden Permadi yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisi sang ayah juga ambisi untuk dirinya sendiri,"
"Apakah Permadi sering datang ke rumah tuan ini ?" tanya Brama.
"Ya. Dia meminta dukungan dariku juga dari para mantan para pejabat yang pernah menjadi orang-orang kepercayaan Baginda raja Sisikadila," kata Hanggaraksa.
"Lalu, bagaimana tanggapan Anda, Tuan Hanggaraksa ?"
..._____ Bersambung _____...