NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 - Negeri Empat Musim

SAnu’ra menarik napas sejenak, lalu menatap para Sura dan Rana dengan mata yang bersinar penuh antusias.

“Ah, maaf,” ucapnya, suaranya lembut namun tegas, “tadi aku terlalu bersemangat menjelaskan musim panas yang mirip musim kemarau di tanah kita. Seharusnya, setelah musim dingin, alam menuntun kita ke musim semi bukan langsung musim panas.”

Sanu’ra menatap jauh ke arah dataran utara, mengingat musim-musim yang pernah ia saksikan.

“Setelah dingin menusuk musim dingin, datanglah musim semi,” ucapnya, suara tenang namun penuh makna, membuat semua yang mendengar menahan napas.

“Salju yang menutupi lembah mulai mencair, sungai-sungai yang beku kembali mengalir deras, membawa gemericik air yang menenangkan hati.

Tanah yang semula keras dan beku mulai menghangat, siap menerima kehidupan baru.”

Ia mengangkat tangan, menirukan gerakan tunas yang menembus tanah.

“Tunas-tunas muda menembus permukaan bumi, daun pertama muncul dengan hijau segar yang menari diterpa angin lembut. Bunga-bunga kecil muncul, menebarkan aroma manis dan warna yang memikat mata, seakan bumi tersenyum menyambut hari-hari baru.”

Para Sura dan Rana menatap, seakan bisa merasakan udara musim semi yang segar, meski mereka tak pernah melihatnya secara langsung.

“Burung-burung kembali dari perjalanan jauh, berkicau riang di atas dahan, sementara hewan-hewan keluar dari persembunyian mereka, menghirup udara hangat dan mencari makan pertama mereka setelah dingin panjang.

Hujan ringan sering turun, menyuburkan tanah dan memberi kehidupan bagi semua yang tinggal di bumi.”

Ia menunduk sejenak, lalu menatap sekeliling, gesturnya menirukan kegiatan manusia yang sibuk:

“Musim semi juga waktu memperbaiki rumah, peralatan, dan persiapan kehidupan sehari-hari. Anak-anak berlari di ladang, orang dewasa bekerja keras, namun hati mereka ringan karena melihat alam bangkit kembali.

Ada pula ritual dan doa kecil, menghormati bumi yang memberi kehidupan baru.”

Sanu’ra menunduk sejenak, matanya memantulkan kilau tembaga di aula.

“Musim semi adalah waktu harapan, waktu kelahiran kembali.

Di sinilah semua dimulai lagi energi baru, kehidupan baru, dan kesempatan baru bagi dunia untuk berputar dalam siklus abadi.

Begitulah cara bumi merayakan kebangkitan setelah musim dingin yang panjang.”

Ia menarik napas panjang, menatap mata mereka satu per satu.

“Musim semi adalah awal dari harapan dan persiapan bagi bumi menyambut panasnya musim panas yang akan datang yang mirip dengan musim kemarau di dunia kita.”

Ia menatap Ama, Sura, dan Rana dengan mata berbinar.

“Ini adalah musim yang mengajarkan kita bahwa setiap akhir selalu membawa awal, dan setiap dingin panjang selalu diikuti hangatnya kehidupan baru.”

Para Sura dan Rana saling berpandangan, kini tersenyum memahami, seolah bisa merasakan hawa segar musim semi walau mereka hanya membayangkannya di bawah awan kanopi abadi.

Sanu’ra menunduk sebentar, lalu menunjuk sebuah peti kayu di yang di bawa rombongan.

“Dan di negeri yang kutinggali sementara itu,” katanya sambil membuka peti perlahan,

“mereka bertahan dengan apa yang ada di sekitar mereka batu, tulang, kulit, dan api.”

“Dari sanalah aku belajar, bahwa musim bukan hanya tentang alam yang berubah, tapi juga manusia yang menyesuaikan diri untuk tetap hidup.”

Ia mengangkat sepotong kulit tebal berbulu ke udara.

“Ini pakaian musim dingin. Aku sendiri yang membuatnya, dari kulit serigala abu yang kutaklukkan dengan pisau batu.

Butuh waktu berhari-hari, bukan hanya untuk mengalahkannya, tapi juga menguliti, menjemur, dan menjahitnya agar tahan angin beku.”

Sanu’ra memakainya di depan mereka.

Bulu tebal di leher dan bahunya membuat tubuhnya tampak gagah namun sederhana, seolah menghadirkan aroma liar dari utara yang jauh.

“Lihatlah, beginilah mereka hidup di bawah empat musim.

Saat dingin datang, tubuh harus diselimuti bulu.

Saat panas tiba, mereka berganti pakaian tipis dari serat tumbuhan. Mereka masih menggunakan senjata batu, tapi cara mereka bertahan hidup sungguh luar biasa.”

Ia menatap Ama, Sura, dan Rana, lalu menambahkan dengan nada pelan namun tegas:

“Bagi kita di Lakantara, itu mungkin tampak tertinggal… tapi sebenarnya, merekalah yang paling dekat dengan napas bumi bertahan bukan karena kemewahan, tapi karena tekad.”

Sanu’ra menarik napas dalam, menatap langit langit aula.

“Setelah musim panas yang hangat,” ujarnya perlahan, “datanglah masa yang menenangkan musim gugur.”

Suasana hening. Semua Sura dan Rana menunduk, memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir tua Sanu’ra.

“Di negeri Zaruk, daun-daun yang dahulu hijau dan rimbun mulai berubah warna menjadi kuning, jingga, dan merah kecokelatan.

Angin yang berhembus membawa suara lembut dari dahan yang meranggas.

Satu per satu daun gugur menutupi tanah, seperti selimut alam sebelum tidur panjang musim dingin.”

Ia menggenggam udara, menirukan gerakan daun yang jatuh perlahan.

“Bagi manusia di sana, musim gugur adalah waktu persiapan.

Mereka mengumpulkan hasil panen dari ladang gandum, buah kering, dan akar yang disimpan di dalam gua atau ruang bawah tanah.

Api unggun dinyalakan setiap malam untuk menghangatkan keluarga dan menjaga persediaan dari hewan liar.”

Sanu’ra menatap mereka, suaranya makin pelan seolah bercerita dari dalam mimpi.

“Binatang pun tahu, musim gugur adalah waktu menimbun tenaga. Tupai dan tikus ladang menyimpan biji, serigala mempertebal bulu, burung-burung terbang meninggalkan negeri yang mulai membeku.

Alam bergerak pelan tapi pasti, menyiapkan diri menyambut beku yang panjang.”

Ia berhenti sejenak, menatap langit-langit aula yang berpendar tembaga.

“Musim gugur mengajarkan manusia untuk berhenti sejenak, untuk bersyukur atas apa yang telah diberi bumi, dan mempersiapkan hati menghadapi dingin yang akan datang.”

Lalu ia berkata pelan, “Kalau di tanah kita disebut Musim ke 9 dan ke 10, di negeri itu disebut Gugur. Alam meluruhkan daunnya bukan karena mati, tapi karena bersiap lahir kembali.”

Para Sura dan Rana terdiam lama, seolah angin musim gugur benar-benar berhembus di antara tiang-tiang tembaga Lakantara, membawa harum tanah, daun kering, dan kenangan dunia jauh di utara.

Sanu’ra menatap sekeliling aula, matanya memantulkan kilau tembaga, lalu berkata dengan suara tenang namun penuh keyakinan:

“Setiap musim terbagi menjadi tiga bagian, tiga waktu yang memberi arti bagi kehidupan.

Jadi satu putaran empat musim memiliki dua belas tahap, masing-masing membawa perubahan tersendiri bagi bumi dan makhluk yang hidup di atasnya.” sambil mendehem menghirup nafas kembali.

“Dan begitulah satu siklus berjalan, dari beku ke hangat, dari hijau ke gugur, dari kelahiran hingga tidur bumi kembali.”

Ia mulai dengan musim dingin:

“Di tahap pertama, salju mulai menutupi lembah, sungai membeku, dan udara menusuk hingga ke tulang. Makhluk-makhluk bersembunyi, hanya sedikit yang bergerak untuk bertahan hidup.

Tahap kedua, dingin semakin menusuk, badai salju datang sesekali, dan alam tampak mati sejenak.

Tahap ketiga, dingin masih ada, tapi kita bisa melihat tanda-tanda kecil kehidupan yang menunggu kesempatan: es mulai retak di sungai, burung-burung langka kembali ke sarang mereka.”

Ia menarik napas, lalu melanjutkan ke musim semi:

“Tahap pertama, salju mencair, tanah mulai hangat, tunas-tunas muda menembus bumi, bunga pertama muncul.

Tahap kedua, bunga-bunga berkembang, daun-daun muda menari diterpa angin lembut, burung-burung kembali berkicau.

Tahap ketiga, alam benar-benar bangkit, hujan ringan menyuburkan tanah, manusia mulai menyiapkan ladang, memperbaiki rumah, dan melakukan ritual kecil sebagai tanda syukur.”

Sanu’ra tersenyum, matanya berbinar, kemudian membahas musim panas:

“Tahap pertama, matahari bersinar lebih lama, panasnya membuat tanah kering dan udara terasa hangat. Manusia bekerja di ladang, berburu, dan meramu.

Tahap kedua, suhu puncak, sungai mengering sebagian, tumbuhan matang, buah dan biji siap dipanen.

Tahap ketiga, panas mulai mereda, namun aktivitas tetap tinggi, manusia menyiapkan hasil panen untuk musim gugur dan dingin.”

Akhirnya, ia menatap dengan tenang pada musim gugur:

“Tahap pertama, daun mulai menguning, daun-daun tua gugur ke tanah, angin membawa aroma kayu dan dedaunan kering.

Tahap kedua, daun meranggas, bumi tampak coklat keemasan, dan hewan-hewan mulai menimbun makanan.

Tahap ketiga, dunia bersiap untuk dingin berikutnya, manusia memeriksa persediaan, memperbaiki pakaian, dan mempersiapkan diri menghadapi musim dingin yang baru.”

Ia menunduk sejenak, lalu menatap setiap Sura dan Rana dengan mata berbinar:

“Begitulah perjalanan satu tahun penuh, empat musim yang terbagi menjadi tiga tahap masing-masing. Setiap tahap memberi pelajaran: bertahan, menumbuhkan, memanen, dan bersiap kembali. Alam mengajarkan kita siklus abadi kehidupan.”

Sanu’ra menatap para Sura dan Rana, lalu menghela napas panjang. Suaranya lembut tapi penuh kekaguman.

“Ah, ada satu hal lagi yang mungkin membuat kalian tercengang,” ucapnya. “Orang-orang di negeri paling utara… mereka berbeda dari kita.”

Para Sura dan Rana menatap, menahan napas, penasaran akan apa yang akan dikatakan.

“Rambut mereka… berwarna coklat, merah, bahkan kuning pudar,” lanjut Sanu’ra, menirukan gerakan memegang rambut di atas kepala. “Kulit mereka putih pucat, dan mata… sebagian besar biru laut, kadang hijau daun muda, seolah memantulkan langit musim panas atau es musim dingin.”

Beberapa Sura dan Rana saling berpandangan, mata mereka membesar.

Bagi mereka yang terbiasa dengan kulit cokelat keemasan dan mata gelap di bawah awan kanopi abadi, ini sungguh pemandangan yang mustahil.

Sanu’ra tersenyum tipis, melihat reaksi mereka.

“Bayangkan… makhluk hidup yang terbiasa dengan cahaya terang musim panas, salju dingin, dan angin menusuk.

Tubuh mereka beradaptasi untuk menghadapi musim yang berbeda-beda, dan ciri-ciri itu rambut, kulit, mata adalah bukti keajaiban alam yang tak terbayangkan sebelumnya.”

Ruang aula hening sejenak, semua menahan napas, membayangkan wajah-wajah dengan rambut terang dan mata biru yang tak pernah mereka lihat.

Sanu’ra menekankan dengan suara lebih lembut, namun penuh makna:

“Begitulah cara alam membentuk kehidupan… berbeda, menakjubkan, dan kadang tak masuk akal bagi kita yang hanya mengenal awan kanopi abadi.”

Sanu’ra menunduk sejenak, lalu membuka peti kayu lain dan memecahkan cangkang lumpur, yang telah ia bawa dari Malukra.

Di dalamnya, tertata rapi 5 buah apel berwarna merah samar bercampur hijau muda.

Ia mengangkat satu di tangannya, memutarnya perlahan sehingga sinar tembaga aula memantul di permukaannya.

“Ini disebut Apura,” ucapnya, suaranya tenang namun mengandung rasa kagum.

“Buah ini berasal dari dataran tinggi berselimut salju di negeri Malukra, jauh di utara bagian timur.

Meski kecil, setiap buah menyimpan rasa yang unik asam yang menyegarkan berpadu manis alami. Kulitnya tipis dan lembut.”

Ia menunduk, menatap ke arah Ama, Sura, dan Rana, lalu melanjutkan dengan mata berbinar:

“Kalian mungkin belum pernah melihat buah seperti ini, bahkan membayangkannya pun belum. Warna merah samar berpadu hijau muda, wujudnya kecil, bisa digenggam dengan satu tangan. Tapi rasanya… rasanya menyimpan kehidupan dari dataran tinggi yang keras dan dingin.”

Sanu’ra memutar apel di tangannya, tersenyum tipis.

“Perhatikan baik-baik. Ini bukan sekadar buah.

Ini adalah bukti bahwa kehidupan, meski di tengah salju dan tanah keras, mampu bertahan dan memberi harapan.

Dari biji kecil ini, generasi baru akan lahir, dan warisan Malukra bisa hidup kembali di Lakantara.”

Sanu’ra menatap para Ama, Sura, dan Rana dengan mata berbinar, lalu menaruh Apel. Ia tersenyum tipis, lalu menambahkan sesuatu yang membuat semua orang sedikit terkejut.

“Penduduk negeri Malukra… memiliki mata yang berbeda dari kita,” ucapnya.

Ia menirukan gerakan dengan telunjuk, menarik sudut mata kanan dan kiri sehingga menjadi sedikit sipit.

Para Sura dan Rana menatap gerakan itu dengan mata membesar, sebagian menunduk, sebagian saling berpandangan.

“Lihat,” kata Sanu’ra sambil tersenyum, “mata mereka seperti ini, menyipit.

Kulit mereka putih pucat, rambut sebagian coklat, merah, atau kuning pudar, dan mata… kadang biru, kadang hijau. Bentuk dan warna mereka terlihat aneh bagi kita, tapi itulah wujud mereka, penduduk yang hidup bertahun-tahun di dataran tinggi yang keras, di bawah salju dan angin dingin.”

“Matanya tampak menyipit bukan karena aneh, tapi karena terbentuk oleh cahaya salju dan angin dingin yang sering menusuk mata.”

Ia memutar apel di tangannya, lalu menatap setiap orang di aula.

“Kalian mungkin belum pernah membayangkan wujud mereka, bahkan buah seperti ini pun asing bagi kalian.

Tapi inilah kenyataannya kehidupan menemukan jalannya, baik di bumi kita maupun di negeri-negeri jauh yang belum pernah kita kunjungi.”

Sanu’ra pun mengambil pisau perunggu, bilahnya berkilau lembut di bawah cahaya pantulan tembaga.

Dengan gerakan hati-hati, ia memotong buah itu menjadi beberapa bagian. Dagingnya putih kekuningan, mengeluarkan aroma manis yang asing namun menenangkan.

Ia mencelupkan potongan itu ke dalam baskom air bersih, lalu satu per satu disodorkan ke Para Sura, Para Rana, dan Ama.

“Cicipilah,” ucapnya pelan, “inilah rasa dari negeri jauh di balik awan dan salju.”

Para Sura memandang ragu, sementara Ama menatap buah itu seolah menilai rahasia di balik warnanya.

Potongan pertama menyentuh lidah mereka ada rasa asam lembut, manis samar, dan segar seperti udara pagi di pegunungan.

Mereka saling berpandangan; beberapa mengerutkan kening, sebagian lagi tersenyum bingung.

Ama akhirnya menatap Sanu’ra dan berkata perlahan, “Rasanya seperti… angin yang belum pernah berhembus di dunia ini.”

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!