NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14 MALAM PERTAMA

Hari telah gelap. Cahaya lampu temaram dari ruang tengah menyebar perlahan ke seluruh rumah, tapi bukannya memberi rasa nyaman, justru membuat ruangan itu terasa seperti ruang kosong yang menelan suara. Ava berdiri terpaku beberapa saat, menatap siluet meja makan yang redup di bawah cahaya kuning. Dari dulu ia tidak pernah menyukai lampu kuning seperti itu—terlalu lembut, terlalu suram, seakan menutup kenyataan dengan warna muram. Di rumahnya sendiri, lampu selalu terang benderang, putih bersih, sesuai fungsinya: mengusir kegelapan, bukan berdamai dengannya.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Ava menyentuh perutnya yang sejak tadi bergejolak, nyeri kecil dari rasa lapar yang tertahan. Ia berdiri beberapa detik sebelum akhirnya mengambil keputusan. Karena tidak ada bahan makanan sedikit pun untuk diolah, Ava memutuskan pergi ke supermarket.

Ia meraih jaket tipis dari lemari, menenteng tas kecilnya, dan melangkah keluar rumah. Udara malam menyapu wajahnya—sejuk, sedikit lembap, dan menggigit bagian kulit yang terbuka. Pintu rumah itu tertutup di belakangnya, menelan suara langkahnya dan menyisakan sunyi yang kembali memenuhi ruangan.

Ava berjalan menuruni tiga anak tangga kecil rumah itu dan berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi. Lampu-lampu mobil melintas satu demi satu, menciptakan garis cahaya di matanya. Udara malam membawa aroma tanah, angin, dan sedikit sisa panas aspal yang perlahan menghilang.

Akhirnya, sebuah taksi muncul dari kejauhan. Dengan cepat Ava melambaikan tangan. Dan mobil itu pun berhenti tepat di hadapannya. Ia membuka pintu mobil perlahan, masuk, lalu menutupnya hati-hati seperti seseorang yang takut membuat suara berlebih.

“Antar saya ke supermarket, dan tolong pelan-pelan, Pak,” ucap Ava lembut, suaranya sedikit tremor.

“Baik, Nona,” jawab sopir itu ramah.

Taksi melaju dengan kecepatan sedang, namun setiap kali mobil berbelok sedikit lebih tajam, tangan Ava mencengkeram ujung kursi. Gerakan refleks itu muncul begitu saja—kebiasaan baru sejak kecelakaan itu. Perutnya menegang sebentar sebelum ia mengeluarkan napas perlahan untuk meredakan rasa takut yang menempel seperti bayangan.

Lampu jalanan menyinari wajahnya, bergantian antara terang dan gelap, hingga ia tiba di supermarket besar yang selalu ramai bahkan di malam hari.

Ava membayar taksi lalu berkata cepat, “Tunggu sebentar, saya tidak akan lama.”

Ia masuk ke supermarket dengan langkah tergesa, seolah ingin segera kembali sebelum pikirannya berubah. Sebenarnya ia bisa saja menghubungi Paman Theo dan meminta tolong. Tapi ia memilih mengurungkan niat itu. Terlalu banyak pertanyaan akan muncul—terutama dari ayahnya. Ia tidak mau menghadapi tatapan penasaran, atau lebih buruk, khawatir.

Di dalam supermarket yang dingin dan terang, Ava meraih troli dan mulai mengambil bahan-bahan keperluan dapur: bumbu, bawang bombai segar, beberapa jenis sayur, dan daging yang dibungkus rapi dalam plastik bening. Ia menambahkan buah-buahan dan beberapa kotak susu. Tangannya bergerak cepat namun teratur, seperti seseorang yang sudah terbiasa belanja bahan masakan, meski wajahnya tampak lelah.

Setelah membayar, ia bergegas kembali ke taksi, takut sopir itu menunggunya terlalu lama. Perjalanan pulang terasa lebih pendek, mungkin karena Ava sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah sampai rumah.

Saat ia membuka pintu rumah, udara dingin dan keheningan kembali menyambutnya. Tidak ada perubahan sama sekali—tetap sunyi, tetap redup, tetap tidak terasa seperti rumah yang benar-benar ditinggali seseorang.

Namun Ava tidak peduli. Ia menyalakan lampu dapur yang sedikit lebih terang dan mulai membawa belanjaannya ke dalam. Ia mengikat rambutnya asal—beberapa helai jatuh di dekat wajahnya—lalu mencuci tangan dengan air dingin yang mengalir stabil. Setelah itu ia mencari peralatan memasak.

Pisau yang terletak di samping kompor ia ambil, lalu ia membuka laci untuk mencari talenan. Ia sempat terkejut melihat perlengkapan dapur yang cukup lengkap—bahkan lebih lengkap dari yang ia duga.

“Apa anak itu tinggal di sini selama ini? Kenapa peralatan memasaknya begitu lengkap?” gumam Ava dalam hati.

Namun ia tidak memikirkannya lama. Ia mulai mengiris wortel, bawang bombai, dan kentang yang sudah ia cuci bersih. Suara pisau bertemu talenan menggema lembut di ruangan yang sepi, memberi kesan ritmis seperti denyut kehidupan kecil di rumah yang beku itu.

Setelah itu Ava mengambil daging ayam dari plastik, menambahkan rempah, dan membiarkannya meresap. Ia mengambil panci, menyalakan kompor lalu menuangkan sedikit minyak, dan menumis bawang bombai. Bau harum langsung memenuhi dapur, membuat rumah itu kini terasa lebih hidup.

Ia memasukkan wortel, kentang, lalu air dan terakhir bumbu kari. Sementara kuah mulai mengental, ia beralih pada ayam yang sudah ia marinasi. Satu per satu potongan ayam ia celupkan ke tepung basah, lalu digulingkan ke tepung roti.

Minyak panas mulai mengeluarkan suara ketika ia memasukkan potongan ayam pertama. Perlahan uap naik dan aroma makanan memenuhi ruangan.

Dari luar, Arash baru saja menutup pintu mobilnya. Suara klik dari mobil terdengar bersamaan dengan hembusan angin malam yang menerpa tubuhnya. Kemeja hitamnya sudah ia gulung hingga siku, memperlihatkan lengan kekarnya yang diterpa cahaya lampu halaman. Rambut hitam Arash yang lurus sedikit berantakan karena angin; beberapa helai jatuh di dahinya, membuatnya tampak lebih lelah daripada biasanya.

Ia melangkah menuju pintu rumah dengan langkah panjang dan tenang, namun perhatiannya tercuri oleh sesuatu. Baru beberapa langkah masuk ke dalam rumah, suara berisik yang asing bagi telinganya terdengar dari dapur—sebuah suara ritmis, cepat, dan hidup. Suara yang tidak seharusnya ada ketika rumah ini biasanya sunyi seperti perpustakaan.

Arash berhenti. Keningnya berkerut. “Mama bilang Bi Ana akan datang besok…” gumamnya rendah, lebih seperti bicara kepada dirinya sendiri.

Namun suara-suara itu tidak berhenti. Ada dentingan sendok, suara minyak yang berdesis, dan aroma hangat yang mulai merayap ke arah ruang tamu. Tanpa sadar, langkah kakinya bergerak sendiri menuju sumber suara itu.

Semakin dekat ke dapur, semakin kuat aroma masakan memenuhi ruangan. Rempah yang pekat—kunyit, bawang bombai, lada—bercampur dengan aroma gurih yang familiar.

“Kari?” gumam Arash lagi, heran.

Pintu dapur terbuka, dan di sanalah ia melihat pemandangan yang membuatnya terdiam di ambang pintu.

Ava berdiri membelakangi pintu, tubuhnya bergerak cekatan. Rambutnya disanggul seadanya; beberapa helai jatuh berantakan di sisi wajahnya, seakan terburu-buru. Tangannya lincah memegang sendok kayu dan spatula, bergantian mengatur panci, minyak panas, dan kuah kari yang mulai mengental. Gerakan tubuhnya cepat, tapi tidak gegabah—seolah memasak bukan hanya rutinitas, tetapi sesuatu yang menenangkan pikirannya.

Ruang dapur yang biasanya steril dan dingin, kini terasa berbeda. Hangat. Hidup. Ada uap yang naik dari panci, ada suara yang memecah keheningan, ada aroma yang menyelimuti. Arash berdiri mematung, Tatapannya berat, sulit dibaca, seolah ia sedang mencoba memahami sesuatu yang tidak sesuai perkiraannya.

Dengan langkah pelan, ia memasuki dapur. “Kau sedang apa?” ucapnya tiba-tiba. Suara baritonnya memotong keheningan hingga Ava tersentak dan menjatuhkan sendok yang ia pegang. Suaranya jatuh memantul ke lantai.

Ava berdiri kaku beberapa detik sebelum akhirnya mengibaskan ketegangan itu dari bahunya. Ia menoleh, menatap Arash dengan wajah sebal. “Kau buta? Tentu saja aku sedang memasak,” jawabnya ketus.

Ia meraih sendok yang jatuh, menaruhnya di wastafel tanpa banyak suara, lalu mengambil sendok baru dari rak. Aroma kari yang kuat kembali mengisi ruangan sementara uap panas menutup sebagian wajahnya.

Arash tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di tempatnya, matanya mengitari seluruh dapur. Rice cooker yang menyala, potongan ayam katsu yang masih mengepulkan sedikit asap, sayuran terpotong rapi, dan panci berisi kari yang aromanya sangat kuat—terlalu kuat untuk tidak membuat siapapun menyadarinya.

Ava maju lagi ke depan panci kari yang hampir matang. Ia menyendok sedikit kuah, meniupnya perlahan selama beberapa detik, lalu mendekatkan sendok itu pada Arash yang masih berdiri seperti patung.

“Aku tidak tahu seleramu, jadi… cobalah.” ucap Ava sambil mengangkat sendok itu tepat di depan wajah Arash. “Pelan-pelan, masih panas,”

Arash menatap sendok itu. Hanya sendok kecil berisi kuah kari, namun entah mengapa ia merasa seperti sedang dihadapkan pada sesuatu yang jauh lebih besar. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya meraih sendok itu dari tangan Ava dan memasukkannya ke mulut.

Rasanya langsung menyebar: hangat, pekat, penuh rempah. Ada keseimbangan antara manis dan gurih, sesuatu yang sederhana tetapi terasa rumah. Arash terdiam sambil memegang sendok itu, seakan tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

“Bagaimana?” tanya Ava tanpa menoleh, fokus pada kari yang kini mulai mengental. Suaranya datar, tapi ada sedikit gugup di ujung nada.

“Not bad,” jawab Arash akhirnya. Datar. Padat. Tapi di baliknya ada sesuatu yang Ava tidak sempat menafsirkan karena ia sudah mematikan kompor.

Ava membuka laci, mengambil dua piring. Rice cooker dibuka, uap nasi mengepul mengenai wajahnya. Ia menyendok dua porsi nasi, menuangkan kuah kari yang tebal ke masing-masing piring, lalu meletakkan potongan chicken katsu goreng di atasnya dengan rapi.

Dalam diam, ia mengambil salah satu piring dan meletakkannya di depan Arash yang berdiri di dekat wastafel.

“Selamat makan,” ucapnya singkat sebelum membawa piring satunya dan berjalan menuju meja makan.

Arash masih mematung. Ia menatap punggung Ava yang menjauh, melihat bagaimana perempuan itu duduk dan mulai makan dengan tenang, tanpa menunggunya.

Untuk beberapa detik, Arash tidak bergerak sama sekali. Rumah ini biasanya sepi. Sunyi. bahkan makan pun ia lakukan tanpa suara. Tapi malam ini… suasananya berbeda.

Karena ia juga belum makan sejak sore, Arash akhirnya meraih piring itu dan berjalan menuju meja makan yang sama dan duduk berseberangan dengan Ava.

Tak ada percakapan di antara mereka, hanya suara alat makan yang sesekali beradu dan mengisi keheningan. Ava beberapa kali melirik Arash yang makan tanpa sepatah kata pun, gerak-geriknya tenang namun terasa jauh. Sikap itu membuat Ava frustrasi; ini hari pertama mereka tinggal serumah, tapi suasananya sudah sepekat itu.

Apa benar dia adiknya Martin? pikirnya sambil menahan helaan napas. Sejak mengenal Martin, Ava selalu melihat sosok yang hangat, ramah, dan penuh pengertian. Tetapi pria yang kini duduk di depannya begitu berbeda—dingin, sulit ditebak, bahkan seperti tak ingin membuka percakapan sekecil apa pun.

Kenapa mereka bisa begitu kontras? batinnya, semakin bingung oleh perbedaan mencolok yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

.

.

.

.

.

.

.

📌Jangan lupa like dan dukung novel ini jika kalian menyukainya, sangkyuu❤️🥰

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!