Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Batas yang Dilanggar
Udara di kamar itu terasa pengap, jauh lebih berat dari uap kamar mandi yang baru saja mereda. Alya terbaring miring, tubuhnya kaku karena rasa sakit, kedinginan, dan terkejut. Dia tidak lagi menangis; air matanya telah habis, digantikan oleh kekosongan yang beku. Arka Darendra ada di sampingnya, tenang, namun kehadirannya terasa mengancam seperti badai yang baru saja berlalu dan kini menunggu untuk kembali.
Arka sempat bangkit, membersihkan diri, dan kembali ke tempat tidur. Dia berbaring di samping Alya, punggungnya menghadap Alya. Keheningan yang tercipta bukan keheningan damai setelah keintiman, melainkan keheningan pasca-bencana.
Alya memejamkan mata, berharap bisa tidur dan melupakan segalanya. Namun, baru saja ia mulai membiarkan kesadarannya melayang, ia merasakan gerakan.
Arka berbalik.
Alya merasakan panas tubuh Arka di punggungnya, lalu lengan Arka melingkari pinggangnya, menariknya rapat. Itu adalah gerakan posesif yang sudah ia kenal, tetapi malam ini, gerakan itu membawa makna yang jauh lebih dalam.
Arka memeluk Alya dari belakang, napasnya yang hangat menerpa leher Alya. Alya tahu, Arka tidak hanya menginginkan kehangatan; dia menginginkan kepastian. Dia ingin menegaskan bahwa, terlepas dari kehancuran emosional Alya, dia kini adalah miliknya seutuhnya.
Detik-detik berlalu dalam ketegangan yang membisu. Tangan Arka, yang semula hanya melingkari pinggang Alya, kini bergerak naik, menyentuh lembut bahu Alya, lalu membelai lehernya, berhenti tepat di bawah liontin kunci pemberian Arka. Sentuhan itu adalah awal dari keintiman kedua, sebuah tuntutan tanpa kata.
Jantung Alya berdebar kencang, kali ini bukan hanya karena ketakutan, tetapi karena campuran rasa jijik dan teror yang tak terhindarkan. Dia merasakan Arka mencium tengkuknya, sentuhan lembut yang ironisnya terasa lebih mengancam daripada paksaan yang kasar.
Arka mengangkat tubuhnya sedikit, membalikkan Alya menghadapnya.
Mata Arka yang biasanya dingin kini tampak gelap dan berapi-api. Gairah membakar di sana, gairah yang kuat, nyaris tanpa kendali. Dia adalah CEO yang dingin dan rasional di siang hari, tetapi di malam hari, dia adalah pria yang sangat didominasi oleh keinginannya.
Arka mendekatkan wajahnya, bersiap untuk mencium Alya lagi, mencium dengan cara yang jauh lebih menuntut dari sebelumnya.
Alya menatap Arka. Di mata yang gelap itu, Alya melihat dominasi, tetapi untuk sepersekian detik, ia juga melihat bayangan dirinya sendiri—seorang gadis yang ketakutan, namun kini sepenuhnya rentan di bawah kendali Arka.
Di tengah teror itu, tanpa berpikir, Alya melakukan satu-satunya hal yang tersisa untuk mempertahankan dirinya: dia menggeleng, perlahan dan dengan sedikit air mata yang kembali menggenang. Itu bukan penolakan fisik yang agresif, melainkan permohonan yang putus asa.
Arka menghentikan gerakannya. Bibirnya hanya berjarak satu inci dari bibir Alya. Alya bisa merasakan napas Arka yang hangat dan cepat, aroma maskulin yang kuat.
Arka memejamkan mata.
Alya melihat tubuh Arka menegang, seperti kawat baja yang ditarik hingga batasnya. Tangan Arka yang menopang tubuhnya kini gemetar, otot-otot di lengannya menonjol. Dia tampak seperti sedang bertarung dengan iblis di dalam dirinya.
Momen itu terasa seperti keabadian. Ketegangan itu hampir merobek ruang di antara mereka. Arka berada di puncak dominasinya, di puncak keintimannya yang baru ditegaskan, tetapi dia menahan diri.
Secara fisik, Arka tampak jauh lebih terguncang dibandingkan Alya. Keringat tipis muncul di dahinya. Arka sedang berjuang melawan insting yang paling mendasar—insting seorang pemilik yang ingin mengklaim asetnya.
Kemudian, dengan tarikan napas kasar, Arka menjauhkan wajahnya. Dia melepaskan tangan Alya dan menarik tubuhnya sedikit ke samping, meninggalkan ruang antara mereka di ranjang yang kini terasa dingin.
“Alya,” suara Arka serak, terdengar seperti geraman yang tertahan, bukan suara yang biasa Alya dengar. “Jangan pernah berpikir bahwa aku tidak menginginkanmu. Aku menginginkanmu lebih dari apa pun yang pernah kumiliki.”
Arka menoleh ke Alya, matanya masih gelap, tetapi kini ada sedikit kepedihan di sana—kepedihan yang Alya tidak mengerti.
“Aku sudah mengambil apa yang menjadi hakku. Aku tidak akan memaksamu lagi malam ini. Aku ingin kau… memilih.”
Kata ‘memilih’ itu menggantung di udara, absurd dan tidak masuk akal. Arka tidak pernah memberinya pilihan. Dia hanya memberi perintah.
Arka menatap Alya lurus-lurus. “Jangan bikin aku menyesal membiarkanmu punya pilihan.”
Kalimat itu adalah pengakuan sekaligus ancaman. Dia membiarkan Alya memilih, tetapi dia akan menghukum Alya jika pilihan Alya tidak sesuai dengan keinginannya.
Arka berbalik lagi, memunggungi Alya. Dia tidak bergerak lagi. Keheningan kembali, tetapi kali ini, keheningan itu mengandung misteri yang jauh lebih besar.
Alya terbaring di sana, jantungnya masih berdebar kencang. Dia bingung. Arka telah menunjukkan dominasi penuhnya, tetapi pada saat yang paling krusial, dia memilih untuk menahan diri. Mengapa? Kenapa Arka, pria yang sangat mengendalikan, tiba-tiba membiarkan istrinya memiliki pilihan?
Apakah dia ingin Alya menyerah bukan karena paksaan, melainkan karena keinginannya sendiri?
Alya mulai menyadari, bahwa kendali Arka tidak hanya sebatas fisik dan finansial. Arka menginginkan jiwa Alya, dia ingin Alya mengakui kepemilikannya dengan sukarela, bukan karena ketakutan. Jika dia terus memaksa, dia hanya akan mendapatkan tubuh tanpa jiwa Alya.
Keputusan Arka untuk menahan diri ini, ironisnya, terasa lebih mengintimidasi daripada paksaan yang frontal. Itu adalah permainan psikologis yang halus, menempatkan Alya dalam posisi di mana dia harus mempertimbangkan perasaannya sendiri.
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Dia terbaring di samping pria yang telah mengambil segalanya darinya, tetapi juga memberinya sepotong kekuasaan yang tidak ia minta: pilihan.
Dia menatap cincin di jarinya. Arka telah melanggar batas, tetapi dengan berhenti, Arka telah menciptakan batas baru—batas yang kini harus Alya tentukan sendiri.
Pagi datang dengan cepat. Dingin.
Alya bangun. Arka sudah pergi. Di sisinya, ada secarik kertas. Bukan daftar aturan, melainkan catatan singkat yang ditulis dengan tulisan tangannya yang tajam.
Kau tidur nyenyak. Aku sudah berangkat. Hari ini, jangan lupa untuk membalas pesan Liona. Dia ingin memastikan kau benar-benar istriku.
– AD
Alya mengambil ponselnya. Ada pesan dari nomor asing, dari Liona.
Liona (Mantan Tunangan Arka): Aku yakin kau siswa yang cerdas, Alya. Tapi Arka tidak pernah menikah tanpa alasan. Carilah motifnya, sebelum kau benar-benar terperangkap.
Alya menghapus pesan itu, tubuhnya gemetar. Liona adalah alarm bahaya. Dan Arka membiarkan (bahkan mungkin mendorong) Liona untuk menguji Alya.
Alya berdiri di depan cermin, mengamati dirinya. Cincin di jarinya, liontin kunci di lehernya. Dia kini tahu, dia tidak bisa lagi hanya menjadi korban. Dia harus mencari tahu mengapa Arka Darendra, seorang CEO yang bisa memiliki apa saja, memilih seorang siswi sekolah yang berhutang lima miliar.
Arka memberinya pilihan. Alya akan mengambil pilihan itu. Pilihan untuk mengungkap rahasia dan menemukan celah yang lebih besar dari sekadar ‘tugas kelompok’ di sekolah.
Dia akan mematuhi, tetapi dia akan mengamati. Dan dia akan mencari kelemahan Arka Darendra.
Pukul 16.00, Alya harus kembali ke rutinitas sekolahnya yang terasa seperti pelarian. Dia menemukan Luna dan Deo sedang menunggunya di kafe dekat gerbang.
“Alya, kenapa kau terlihat sangat pucat?” tanya Luna, matanya penuh kekhawatiran.
“Aku baik-baik saja, Lun. Semalam kurang tidur,” jawab Alya, memaksakan senyum yang kaku.
Saat mereka mengerjakan tugas kelompok, Alya merasakan tatapan Deo tertuju padanya. Tatapan itu bukan lagi tatapan kekaguman, tetapi tatapan curiga, tatapan yang mencari tahu.
“Alya, Pamanmu itu… apakah dia tahu kau mengerjakan tugas ini dengan kami?” tanya Deo, memecah keheningan.
Alya mengangguk. “Ya. Tentu. Ini tugas kelompok. Dia hanya melarang aku berduaan dengan pria. Dia menghargai etika kerja tim.” Alya mengulang kata-kata Arka, seolah menguji batas aturannya di hadapan saksi.
Deo terdiam. Alya melihat Arka, melalui mata Deo. Alya menyadari, Arka sengaja membiarkan Alya memiliki interaksi kecil ini, sehingga dia tidak merasa sepenuhnya terputus dari dunianya, yang pada akhirnya akan memudahkan Arka untuk mengendalikannya.
Alya kini harus bermain dengan aturan dan pilihan yang diberikan Arka. Ini adalah permainan yang jauh lebih berbahaya, karena kali ini, Alya tidak hanya melawan Arka, tetapi juga melawan kebingungan perasaannya sendiri terhadap pria yang secara fisik menahan diri di momen paling penting.
Babak baru telah dimulai. Babak di mana Alya harus membedakan antara ancaman dan kendali, antara paksaan dan pilihan. Dan dia harus waspada, karena Arka Darendra adalah lawan yang tidak hanya kuat, tetapi juga sabar.