Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 09
“Mas Tian, tolong lihat Bunda sebentar!” Secarik kertas dia bentangkan. “Hafal nomor ini, kasih ke bude Wulan, bisa Nak ...?” Sriana menatap penuh harap, sama seperti sorot mata kedua buah hatinya yang tanpa mengatakan melalui suara, netra sudah menyatakan.
Anak laki-laki yang potongan rambutnya tak rapi, kala tadi dia mengalihkan kamera tampak bagian pitak di dekat tengkuk itu mengangguk kuat. Bibirnya bergerak samar menyebut angka yang membuat sorot matanya berbinar memancarkan harapan baru.
Sriana percaya pada daya ingat Septian, si sulung adalah anak pintar, selalu juara kelas. Paling kecil menempati nomor tiga.
Kepribadian ibunya menurun kepadanya – tenang, pendiam, sekali waktu bisa sangat tegas. Septian penuh kasih, dia sangat menyayangi Ambar Ratih, amanah dari sang ibu sebelum berangkat menjadi seorang TKW, pahlawan devisa serta pejuang keluarga, memeluk harapan ketika kembali nanti hidup mereka sudah jauh lebih baik.
Baru saja Sriana ingin bertanya lebih lanjut, dia sudah mendengar derap langkah. Kertas tadi dipegangnya langsung dijatuhkan, diusapnya jejak air mata, kembali bersandiwara. “Lain kali kalau kalian masih nekat jajan ndak lihat harga, asal ambil. Bunda hentikan kiriman uang jajan, mau?!”
Ambar Ratih mendongak, menggeleng kuat. “Ndak mau, Bun. Ini keripiknya tak makan habis, terus sekarang mau makan ….”
Dia bingung, sebenarnya semua makanan ringan itu ingin dicicipi, terlebih coklat.
Septian seperti seseorang memanfaatkan keadaan, dia sobek bungkus kertas, coklat batangan itu diberikan kepada adiknya. “Maem Dek. Biar Bunda tetap ngirimin kita uang jajan yang banyak!”
Sriana menggigit bibir bagian dalam, hatinya ikut sakit kala mendengar kalimat ditekankan oleh Septian. Netranya melihat ujung kaki seseorang menekan bokong putranya.
“Makanlah sampai kalian eneg, biar Bunda puas lihatnya! Supaya menjadi pelajaran juga, lain kali beli satu-satu – ndak semua mau di borong! Paham?!”
“Nggeh, Bun!” Sudut bibir anak laki-laki beranjak remaja itu tertarik menerbitkan senyum sampai lesung dikedua pipi terlihat, diapun mengikuti jejak sang adik – membuka bungkus keripik tempe berbumbu barbeque. Makan dengan cara elegan, pelan, tanpa mau menatap ke arah lain, pandangannya melihat puas cinta pertamanya.
‘Maafkan Bunda, Nak. Ya Gusti ….’ batinnya menyesali kebodohannya sendiri.
Sayup-sayup Sriana mendengar deru mesin motor berhenti, lalu melihat sosok yang beberapa hari lalu menuduhnya berselingkuh, padahal aslinya dia sendiri sang pelaku!
Entah apa yang dikatakan tanpa suara, dan Sriana tak dapat menebak siapa gerangan tengah berbicara bisu itu. Yang pasti, dia menangkap raut lain dari ekspresi pria mengenakan kaos singlet, celana selutut.
Ambar, Septian sama sekali tidak terganggu, memalingkan wajah pun enggan. Mereka asik mengunyah sembari menikmati menatap wajah sang ibu seolah tengah menabung di celengan rindu, bila kangen tinggal mengingat wajah yang telah dipatri dalam sanubari serta memori.
Sriana pun abai, hanya menatap sekilas dan kembali memandang buah hatinya. Dia sengaja tidak bersuara, berniat sekali menemani Septian, Ambar menikmati makanan ringan.
Keheningan itu terasa menenangkan bagi Sriana, baru kali ini dia bisa puas mematri putra dan putrinya – biasanya, paling lama hanya sepuluh menit berbicara sambil melihat mereka. Ada saja alasannya, yang mau pergi main, dijemput teman, hendak mengaji, jajan, dan lain sebagainya.
“Sri, kowe ki nduwe utek ora? Tian mbek Ambar wes nganti kesereten tapi mbok pekso terus! Nek matek piye_”
(Sri, kamu punya otak tidak? Tian dan Ambar sudah kesulitan menelan, tapi kamu paksa terus! Kalau mati bagaimana)
“Mati yo dikubur!” teriak Sriana, dia meluapkan sedikit emosinya kepada sang suami yang tadi memasang raut garang, langsung terkejut sampai badannya kaku.
“Kemarin malam aku wes omong, tapi mas Agung malah nyalahin diriku. Sekarang biar tak didik mereka lewat jarak jauh! Yang penting kalian ndak ikut campur!” sengaja melimpahkan semua kesalahan pada dirinya sendiri demi melindungi Septian dan Ambar Ratih.
“Aku kerjo nganti kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, ya buat masa depan mereka. Namung percuma kalau berkecukupan, tapi mereka kekurangan akhlak! Seenaknya, ndak tahu batasan!” percayalah, lutut yang dia tekuk sudah bergetar hebat, bahkan kedua tangannya mengepal demi menyembuhkan gemetar.
Namun Sriana hebat, dia tak meneteskan airmata. Wajahnya memang memerah, tapi pelupuk matanya kering.
Dia ingat baik-baik petuah pembimbing kala masih di PT, orang Hongkong tak suka melihat raut sedih, memelas, kesal. Jangan sampai kalian menitikkan air mata di depan majikan, kini diterapkan dalam menghadapi keangkuhan Agung.
Keheningan pun kembali terasa lebih pekat. Agung yang biasanya mendominasi, mengintimidasi, kini kehilangan kata-kata. Dirinya tengah mencerna ada apa sebenarnya, mengapa Sriana terlihat sangat berbeda. Sorot mata itu tak lagi penuh cinta, tapi juga tidak membenci.
“Minuman sodanya dibuka! Lain kali jangan beli minuman seperti itu, sekali-kali saja boleh!” kembali dirinya memerintah.
“Ndak usah satu bagi dua. Mas Tian kan sukanya yang warna coklat kehitaman, sedangkan dek Ambar rasa jeruk. Buka, minum yang kalian mau!”
Septian membantu sang adik membuka botol minumannya, lalu dia melakukan hal sama pada kaleng dalam genggaman.
“Habis itu mandi, terus belajar! Bentar lagi mau ujian sekolah ‘kan?” ucapnya lembut, hilang sudah nada tinggi tadi. Diapun mengabaikan tatapan aneh Agung yang terus menatapnya, berdiri di belakang buah hati mereka.
Ambar memasukkan bekas bungkusan jajan ke dalam kantong plastik, dia terus merapat ke kakaknya, seolah mencari perlindungan.
“Bun, aku ma Ambar, mandi di Udal, boleh ndak?” tanyanya, mencari alasan biar bisa berlari ke rumah sahabat ibunya.
“Boleh, tapi hati-hati! Adeknya di jaga, diawasi, jangan berenang ke bagian paling dalam, ditepian saja!” ia tetap menaruh rasa khawatir, walaupun kolam pemandian mata air jernih itu kedalamannya tidak sampai dua meter.
“Nggeh, Bun!” Septian menggenggam kuat tangan Ambar, dia menunduk sedikit ke ayah mereka, lalu berlari cepat tanpa mengenakan alas kaki.
Sriana tetap tidak mematikan sambungan video call, kendatipun kedua anaknya sudah tidak terlihat, dan jauh dari jangkauan para manusia yang dia sendiri sampai bingung mau menyebutnya apa.
“Puas kamu, hah?! Membuatku tak ada wajah di depan mereka, Sri!” biji mata Agung seperti memberontak meminta lepas dari rongganya.
Dia masih sama arogannya, menganggap sang istri tetap wanita bodoh, penurut, cinta buta.
“Memangnya apa yang kulakukan sampai kamu merasa ndak dihargai oleh mereka, Mas? Apa ada aku menjelekkan namamu, atau memang kamu ndak sepenting itu di hati mereka? Kok bisa-bisanya sampai memiliki pemikiran picik seperti itu?”
.
.
Bersambung.
semoga berhasil ambil Semua yg berharga,🤲🤲🤲
ada paparazi
lek Dimas?
naaaaaa kaaannnn
sudah lama hubungan mereka
🤬🤬🤬🤬🤬
part Iki misuh troooosss kak cublikkkkk 😆😆😆
astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfirullah
haduuuwww seketika ngakak
🤣🤣🤣🤣maaf zaaa✌️✌️✌️
Treek Treeekkkk
sekarang mulai menata dr awal
pelan tpi pasti keluar dari jeratan laki2 gak guna!
sampai mau nikah dgn laki2 mokondo?
apa ada campur tangan Ita mbokne Tri?
akan ada kegemparan apa?🤔
bener kui Sri 👍👍👍
langsung muntah ke mukamu gooooonggggg
ngarang kentang 🥔
opo mau lewat hape
emange Trisundel, muaaaaaaakkkkk 🤢🤢🤢
tensi meroket huasy* Kowe guuunggg!!!!
astagfirullah astagfirullah astagfirullah
yg ngitung gaji siapa!