“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 2
BAB 2
Rangga tampak menarik napas berat.
“Sebenarnya ini bukan urusan saya, Pak,” ucap Rangga lirih namun tegang. “Tapi karena saya menghormati Bapak dan Ibu, jadi saya terima saja ini, Pak, walaupun sebenarnya saya kecewa.”
Perasaan Mahira tentu saja campur aduk. Dosa apa yang ia lakukan sehingga seorang lelaki tinggi, kekar, dengan luka lebam bisa masuk ke kamarnya dan membuatnya dituduh mesum.
“Hey, kamu!” bentak Harsono, menatap tajam pria yang duduk di pojokan dengan sarung menutupi tubuh bagian atas.
“Ya, Pak,” jawab pria asing itu tenang.
“Siapa nama kamu?” tanya Harsono, suaranya menekan.
“Doni, Pak.”
“Seminggu dari sekarang kamu harus menikah dengan anak saya,” ucap Harsono tegas.
“Tidak bisa, Pak,” sahut Ratna cepat.
Harsono melirik ke arah Ratna.
“Kenapa, Nak?” tanyanya lebih lembut.
“Aku mau mereka menikah sebelum aku menikah. Kalau mereka menikah seminggu lagi, tetap saja aku yang akan disalahkan, Pak. Orang pasti menuduh aku perebut calon suami orang, dan aku akan disebut adik yang songong melangkahi kakaknya menikah. Apalagi menikahnya dengan calon suami kakak sendiri. Orang akan berpikir kalau aku yang merebut Kak Rangga dari Mahira, Pak. Aku mau mereka menikah malam ini juga, atau aku tidak mau menggantikan Mahira,” jelas Ratna panjang, suaranya ketus dan menekan.
Suasana hening. Kepala Harsono berdenyut, rahangnya mengeras.
Tatapannya tajam tertuju pada Mahira yang hanya diam terpaku.
“Mahira, kamu harus menikah dengan Doni malam ini juga,” tegas Harsono.
Mahira menghela napas berat.
“Terserah Bapak… memang kalau aku menolak, Bapak akan setuju?” balasnya getir.
“Harusnya kamu memilih mati saja, Mahira, ketimbang menikah dengan lelaki lain.” Itu yang melintas di benak Rangga, kesal karena bukan jawaban itu yang ia harapkan.
“Doni!” sentak Harsono. “Sekarang panggilkan orang tua kamu.”
“Orang tua saya jauh, Pak,” jawab Doni datar.
“Kamu harus menikahi anak saya, Mahira,” tekan Harsono lagi.
“Baik, Pak,” sahut Doni tanpa banyak ekspresi.
Mahira melirik malas ke arah Doni. Lelaki yang tidak punya keberanian. Harusnya dia menolak, malah menerima begitu saja, pikirnya kesal.
“Saya boleh mengajukan permintaan, Pak?” ucap Doni pelan.
Ah, dari suaranya saja dia bukan lelaki maco dan dewasa. Astaga, kenapa hidupku jadi seperti ini,gerutu Mahira dalam hati.
“Ya, silakan,” jawab Harsono dengan nada malas.
“Pinjamkan saya baju, Pak. Baju saya ketinggalan di jalan,” ucap Doni polos.
Kemudian ia melorotkan sarungnya sedikit untuk merapikan.
“Benar-benar malang nasibmu, Mahira,” ucap Ratna puas dalam hati.
“Akhirnya anak sialan itu mendapat nasib buruk,” pikir Rukmini sambil menyunggingkan senyum tipis.
“Bu, panggil Pak Ustaz Dasun. Kita nikahkan Mahira malam ini,” ucap Harsono tegas.
“Ya, Pak,” jawab Rukmini cepat.
Harsono menoleh ke arah Rangga.
“Nak Rangga, maafkan Bapak… terima kasih sudah mau menikah dengan Ratna,” ucap Harsono tulus.
“Tidak masalah, Pak,” sahut Rangga, mencoba terdengar tenang. “Bapak sudah saya anggap orang tua sendiri.”
“Sekali lagi, Bapak berterima kasih,” ucap Harsono sambil menunduk sedikit.
Rangga kemudian menatap Mahira—tatapan tajam penuh penghinaan. Mahira membalas tatapan itu, sama kerasnya.
Seharusnya kamu memohon padaku, Mahira,batin Rangga dengan penuh superioritas.
“Pak, saya pulang dulu,” ucap Rangga mendadak.
“Kenapa tidak menginap saja, Nak? Ini sudah malam,” ujar Harsono mencoba menahan.
“Saya harus meyakinkan keluarga saya dulu, Pak,” jawab Rangga singkat.
Harsono menarik napas panjang. “Ya… tolong yakinkan, Nak Rangga.”
“Ratna, antar Rangga ke depan,” perintah Harsono.
Setelah Rangga dan Ratna pergi, Harsono menuju kamarnya, meninggalkan Mahira dan Doni berdua.
Mahira melirik Doni sekilas.
“Kenapa kamu mau saja menikahiku?” tanya Mahira, suaranya kesal dan getir.
“Memangnya ada pilihan lain?” balas Doni datar sambil mengangkat bahu.
Benar-benar lelaki plinplan, tidak punya pendirian,gerutu Mahira dalam hati.
“Punya uang seratus enggak?” tanya Doni tiba-tiba.
Mahira mengernyit bingung. “Buat apa?”
“Aku tidak punya uang buat mahar pernikahan,” jawab Doni enteng, tanpa rasa bersalah.
“Oh Tuhan… bisa-bisanya aku menikah dengan pria seperti ini,” batin Mahira putus asa.
Mahira bangkit, mengambil dompet, lalu mengeluarkan uang seratus ribu.
“Ini,” ucapnya sambil menyodorkannya.
“Ok, terima kasih,” balas Doni santai.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Harsono melemparkan kemeja ke arah Doni.
“Pakailah. Dalam waktu satu jam penghulu akan datang,” ucapnya sebelum kembali pergi.
Mahira menatap lemari, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dadanya sesak. Ia mengambil ransel, mulai memasukkan barang satu per satu.
“Mau ke mana?” tanya Doni sambil memiringkan kepala.
“Habis akad, kita pergi dari rumah ini,” jawab Mahira mantap.
“Ok, baiklah,” sahut Doni tanpa keberatan.
Benar-benar bukan lelaki bertanggung jawab. Harusnya dia menahan atau menasihatiku. Bukannya pasrah begitu saja. Sial sekali hidupku,batin Mahira geram.
Mahira kembali menatap kamarnya.
“Ibu, lihatlah aku sekarang, Bu… Kenapa Ibu meninggal sih?” bisiknya lirih. “Ternyata Bapak itu selingkuh, Bu… sama mak lampir Rukmini. Andai aku tidak pintar, Bu, mungkin aku tidak makan.”
Mahira menatap foto almarhum ibunya lama sekali sebelum memasukkannya ke dalam ransel.
Mahira memastikan semua barang pribadinya masuk semua termasuk dokumen pribadinya, dia sudah bertekad untuk pergi dari rumah setelah akad nikah, buat apa tinggal di rumah jika tidak ada satupun keluarga yang mempercayainya
Sementara itu Doni mengenakan baju, merapikan rambutnya, lalu duduk di lantai sambil memperhatikan Mahira mengepak pakaian.
“Benar-benar lelaki yang tidak peka, bantuin ke,” gumam Mahira kesal.
“Oh, maaf… kirain aku enggak mau dibantu,” sahut Doni santai.
“Nawarin juga tidak,” balas Mahira menggerutu.
“Maintan bantuan juga enggak,” timpal Doni asal.
Mahira menggeleng frustasi. “Nasib… nasib… kenapa aku bisa bersama lelaki seperti ini.”
Mahira kemudian mengenakan gamis dan memakai kerudung.
“Cantik,” gumam Doni lirih tanpa sadar.
Mahira melirik malas, tetapi dalam hati ia mengakui, tampan juga.
Mahira menelan ludah ketika melihat perut six pack Doni. Kemeja milik Harsono tampak kekecilan di tubuh Doni yang bidang.
“Ah, percuma badan bagus kalau mental kayak tempe,” batin Mahira sinis.
Pintu kamar mendadak terbuka.
“Kalian cepat keluar,” ucap Harsono geram.
Mahira bangkit dan melangkah keluar kamar, Doni mengikuti di belakangnya.
“Duk!” Doni menabrak Mahira yang tiba-tiba berhenti. Mahira hampir jatuh, tetapi pinggangnya berhasil ditangkap Doni.
“Ihh, lepasin!” ucap Mahira kesal dan terkejut.
Doni refleks melepaskannya.
“Buk!” tubuh Mahira langsung jatuh ke lantai.
“Ah… sial,” gerutu Mahira sambil meringis. “Kenapa enggak dipegang sekalian.”
“Aih… repot sekali urusan dengan wanita,” gumam Doni tidak peduli.
Mahira melirik tajam tetapi tetap berdiri dan berjalan menuju ruang tengah.
Tampak seorang pria setengah baya memakai sorban dan peci sudah menunggu. Harsono memakai kemeja kotak-kotak, Rukmini mengenakan gamis mewah, sementara Ratna yang hanya memakai daster menatap Mahira dengan pandangan penuh penghinaan.
Mahira dan Doni duduk berdampingan.
Mahira menarik napas berat. Rasanya dadanya sesak. Air mata hampir jatuh. Tidak pernah ia menyangka hari yang sudah ia tunggu bertahun-tahun berubah menjadi kenyataan pahit seperti ini.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh