NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:262
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 4

Mereka tidak banyak bicara setelah itu. Hujan masih belum berhenti, hanya mereda menjadi rintik-rintik air yang jatuh di atap mobil. Sementara di luar jendela, deret lampu reklame berganti dengan tembok tinggi berlapis pagar besi yang dihiasi kamera pengintai. Jalanan mulai melebar, trotoarnya bersih, rapi, dan sepi dari pedagang kaki lima yang biasa menghiasi kota.

Sejatinya Darren menyukai pemandangan malam yang sebelumnya. Bukan karena dia menyukai keramaian, melainkan terlampau sakit untuk sekedar mengemudi di jalanan yang penuh nostalgia. Ini lebih seperti sebuah kanker yang sukar terobati, meskipun dia sudah membuang kalung itu.

“Taman Angkasa Private Estate — Managed by Aksantara Group”. Setiap hurufnya timbul dari tembaga, berkilau basah terguyur hujan. Viena tahu mobil itu mulai memasuki wilayah elit. Menandakan saat ini adalah waktu baginya untuk menjalankan misi rahasia bersama pria asing yang baru saja dia kenal beberapa jam yang lalu.

Di pos penjagaan, dua petugas berseragam hitam berdiri tegap di bawah payung besar, lengkap dengan earpiece di telinga.

“Selamat malam, Tuan Muda Darren,” sapa salah satu petugas dengan sopan.

Kedua petugas itu tampak rapi luar biasa, sepertinya memang baru keluar dari sesi briefing ketat sepuluh menit lalu. Seragam hitam mereka berbahan kain super padat dengan ketebalan yang sempurna, sementara teksturnya halus seperti bahan tactical suit. Lalu di dada kiri mereka berhias emblem silver bertuliskan “A.G. Security Division”, yakni lambang resmi satuan pengamanan internal milik Aksantara Group, perusahaan keluarga Darren yang bergerak di berbagai sektor.

“Terima kasih,” balas Darren datar.

Kartu akses ditempelkan ke panel pemindai oleh salah seorang petugas, dan gerbang baja segera bergeser.

Begitu mobil masuk, Viena membeku dengan banyak sekali alasan. Jalanan di dalam kawasan itu berlapis paving block bersih tanpa noda, dengan barisan lampu taman setinggi satu meter di tiap sisi. Sementara rumah-rumahnya lebih mirip galeri arsitektur modern berdinding kaca dengan atap melengkung dan taman kecil yang dihiasi kolam ikan sungguhan sampai kolam ikan digital hasil proyeksi lantai marmer. Bahkan mobil-mobil tamu yang berjejer di pinggir jalan tidak jauh lebih murah dari Bentley Continental, Porsche Taycan bahkan Rolls Royce Ghost. Faktanya mobil Darren sendiri terlihat lebih sederhana dibandingkan milik para tamu.

“Darren… ,” lirih Viena, nyaris tak berkedip melihat ke luar jendela. “Kita beneran mau masuk ke situ?”

Darren sendiri hanya menatap lurus ke depan. Memperlambat mobilnya dan berhenti tepat di depan pintu utama. “Aku janji kita gaakan lama.”

“Ini rumah apa bandara? Penjagaannya ketat banget.”

“Memang,” balas Darren santai, walau ketara sekali tidak ada rasa bangga dalam nada bicaranya.

Ekspresi Darren lantas membuat Viena langsung menunduk, setelah celingak-celinguk berusaha bersembunyi dari tatapan orang-orang di luar mobil mereka, sementara jemarinya mencengkeram celana jeans erat-erat. “Kamu keluarga siapa sih sebenernya? Awalnya aku kira kamu cuma… .”

Darren menoleh, menatap gadis itu sebentar kala memilah opsi jawaban di kepalanya.

“Aku tau kamu bakal tanya itu di sini. Tapi kamu gak perlu minder. Semua ini juga punya keluargaku, bukan punyaku… anggap aja kita di posisi yang sama.”

“T-tapi kamu gak malu bawa cewek kayak aku ke keluarga besarmu?”

“Nggak.” Darren terlampau sibuk menyugar rambutnya ke belakang. “Kamu cukup jalanin aja peran kamu, gausah mikir macem-macem.”

Seharusnya Viena memang gak perlu menerima tawaran itu. Keluar saja dari awal dan mencari hotel murah sebelum pergi ke rumah Sita di pagi hari. Namun semuanya sekarang udah terlampau jauh. Ibarat seekor kelinci yang ditangkap oleh seorang pemburu, namun pemburu itu tidak langsung memanggangnya di atas api unggun, justru membawanya berburu bersama.

Gilanya rumah keluarga Darren ini entah kenapa terlihat lebih mewah dari istana negara.

Seorang pelayan telah siap membuka pintu Viena yang kebetulan duduk di sebelah kiri mobil, sementara Darren memberi isyarat pelayan itu untuk menunggu sebentar.

Viena mengamati setiap gerakan pemuda yang tiba-tiba melepas jas dan jam Patek Philippe Nautilus seharga mobil mewah itu.

“Tunggu,” gelisah kali gadis itu tak kuasa dengan gerahnya situasi dan kondisi yang tidak seperti ia bayangkan sebelumnya. “Maksudku… aku gak bisa kalau ternyata kamu sekaya ini. Aku bakalan ngerusak rencana kamu.”

Darren yang sibuk mematikan mesin mobil, menyimpan jam ke dashboard, lalu merapikan kemejanya, tak kuasa melepas tawa singkat. “Harusnya kamu udah tahu sebelum masuk ke mobilku, Tinasha Putri Viena… .“

“Tahu apa? Orang mobil kamu biasa aja.”

“Ini BMW 7 Series, Mbak.”

Viena tertegun. Bukan karena dia baru sadar, tapi memang tidak paham apa yang sedang dibicarakan pemuda di sampingnya. “Pokoknya mending kamu balikin aku ke perempatan luar perumahan aja. Liat pakaianku, gak pantes sama sekali.”

“Terus kamu gak jadi dapat kerjaan dari aku?”

“Aku bisa cari yang lain.”

Darren malah setengah senyum. Menghembuskan nafasnya sambil menatap betapa megahnya rumah keluarga Aksantara dengan empat pilar bergaya Romawi. “Alright, aku paham apa yang kamu rasain, itu kenapa aku lepas jas dan jam tangan tadi.”

“Jam tangan kamu juga mahal?” celetuk Viena dengan polosnya.

“Itu Pattek Philippe—” pemuda itu memijat pelipisnya tanpa alasan, mengatur emosi. “Oke. Lihat aku.”

Kedua mata mereka bertemu, Viena gelisah, Darren serius.

“Intinya aku nggak pengen kamu minder di sini,” ujar Darren. “Kalau kita masuk nanti, aku bakal urus sebagian besar basa-basi itu.”

Di sisi lain Viena tentu saja tercekat. Dia ingin membalas, tapi semua ucapan kena lampu merah di tenggorokan. Alih-alih bicara, ia hanya mengangguk. Dia kalah. Dia gak bisa kabur, seenggaknya itulah kesimpulan yang bisa gadis itu tarik secara cuma-cuma.

“Terus… ,” Darren mencondongkan badan sedikit ke Viena, menurunkan suara. “Maaf, kalau aku perlu pegang tanganmu, atau menggandengmu… biar kelihatan deket, kamu nggak keberatan, kan?”

Tentu perkataan itu membakar seluruh pembuluh darah gadis itu. Namun mau tidak mau ia harus profesional, apalagi hal yang pemuda itu maksud juga belum melewati batas-batas yang telah Viena tentukan sebelumnya.

Gadis itu setengah menggeleng. “Nggak… nggak masalah.”

Senyum tipis tersungging di bibir pemuda Aksantara. Itu senyum yang jarang Darren tunjukkan, seperti matahari yang muncul dari balik awan nan mendung. Sementara Viena menatapnya ragu.

“Sekali lagi, ini cuma formalitas. Semua yang kamu harus lakukan… lakukan, mainkan saja peranmu, gausah mikir yang lain.”

Viena mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Lebih ke kata terpaksa.

“Mau bahas sedikit rencana kita, sebelum kita masuk?” Darren melanjutkan.

Hujan telah lama reda semenjak mobil mereka berhenti di depan pintu utama. Para tamu lalu lalang, sebagian pergi menuju kendaraan mereka, pertanda pesta sebenarnya telah usai. Maklum, jarum jam sebentar lagi menunjukkan pukul sepuluh malam. Sesuai perkataan Darren kepada Calista sebelumnya, dia tidak janji untuk bisa tepat waktu. Beruntung adik tercintanya tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali.

Rumah itu lebih mirip real estate utama yang berdiri di atas tanah dua hektar. Bangunannya tiga lantai, didominasi kaca reflektif dan hias batu granit abu-abu. Sementara lambang keluarga “AKSANTARA” terpahat di atas pintu masuk utama yang kini berdiri di depan mereka. Di antaranya dua air mancur simetris mengapit jalan batu menuju lobi, sementara di kanan kiri, barisan staf keamanan berpakaian hitam berdiri dengan jarak dua meter antara satu dengan yang lain.

“Selamat datang Tuan Muda Darren,” ucap setiap pelayan dan security yang mereka lewati. Darren menganggap konyol betapa orang-orang ini sangat hormat kepadanya tapi tunduk sepenuhnya pada Radmilo, ayahnya.

Satu salam pertama di balas satu anggukan singkat dari Darren, berbeda dengan tangan Viena yang begitu basah dan dingin di dalam genggaman pemuda itu.

Pandangan Viena menyapu deretan wanita bergaun satin dan pria dengan jas bermerek yang keluar. Kameramen profesional juga terlihat sibuk menembakkan flash dari sudut halaman, mereka adalah fotografer internal yang mencatat setiap tamu penting melalui bukti visual, sekaligus mendokumentasikan kelangsungan acara tersebut.

“Bajuku nggak pantas,” gumam Viena sambil berjinjit sedikit agar pemuda yang menggandengnya dengar.

Dia mengenakan blouse putih dan celana jeans hitam setengah basah. Sementara kerumunan di sekitar beraroma parfum mahal dan pakaian berbahan kain nan berkilau saking mahalnya, ia justru tampak seperti pegawai katering yang barusan dipecat dari program makan gratis pemerintah. Walau di sisi lain Darren sudah lebih dulu melepas jasnya, membuat kemeja dan blouse yang sama-sama putih tampak serasi walaupun milik Viena ketara sekali murahnya.

“Pantas kok,” tampik Darren dengan santainya. “Kamu cuma belum terbiasa liat orang yang selalu berusaha untuk kelihatan kaya.”

Viena menatapnya jengkel lantaran pemuda itu terlampau tenang semenjak pertama kali mereka bertemu, tapi tidak bisa membantah. Bagaimana mau membantah jika berbicara normal saja terasa sungkan di istana ini. Banyak orang memperhatikannya.

Begitu masuk, udara dingin dari air curtain langsung menyambut mereka. Langit-langit pintu masuk menjulang tinggi dengan lampu gantung kristal berbentuk spiral sebesar mobil. Musik jazz dan campuran berbagai aroma parfum mewah membaur jadi satu. Sementara petugas resepsionis di meja marmer putih segera menunduk hormat ketika melihat Darren. Membiarkan mereka berdua lewat begitu mudahnya.

Gemerlap cahaya dan keramaian langsung menyambut mereka. Di tengah aula, berdiri panggung dengan dekorasi bunga putih, balon dan papan LED bertuliskan,

“Calista’s 20rd Birthday Celebration Presented by Aksantara Group.”

Di mata orang biasa seperti Viena, pesta ulang tahun ini terasa seperti pesta keluarga kerajaan Eropa. Pelayan berjas putih membawa nampan champagne, layar holografik menampilkan portofolio perusahaan keluarga, dan para tamu yang tersisa duduk di kursi berlapis beludru biru, bercakap-cakap dalam berbagai bahasa.

Adapun kedua mata Darren sibuk mencari keberadaan adiknya di atas panggung, tapi kebetulan posisi panggung kosong kala itu. Ia hafal betul jika fungsi pesta ultah saat ini telah berubah menjadi ajang pamer, persaingan bisnis maupun aliansi bisnis yang dibalut dengan basa-basi.

Di waktu yang sama, pandangan Darren justru terhenti ke seorang wanita berusia 38 tahun dengan gaun merah dan heels bak model sedang berlari kecil ke arahnya.

“Sayang!” seru Laras, ibu tirinya, sebelum memberi pemuda itu satu pelukan nan singkat. “Ya Tuhan, akhirnya kamu pulang.”

Darren sendiri tak bereaksi. Tubuhnya kaku di dalam pelukan itu. Saat wanita itu melepaskannya, ia menatap Darren dengan mata berkaca-kaca. “Maafin Ibu, Ibu janji kali ini akan lebih baik. Ibu akan jadi ibu yang pantas, kalau kamu mau tinggal di sini lagi.”

“Calista udah tidur?” tanya Darren kepada Laras dengan senyuman tipis yang justru menusuk perasaannya, terlebih pemuda itu berakhir menepis halus setiap pelukannya. Mengaburkan senyuman di wajah wanita itu yang sebelumnya dia tahan-tahan untuk tetap terukir di wajahnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!