Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumbang
“Pembunuh gak pantes bahagia. Mati aja lo.”
Suara kursi yang terseret membuat ketiga temannya menoleh kaget.
Bayu memandangnya heran. “Rek kamana, Dew?”
(Mau kemana dew?)
Tapi Dewa tak menggubris. Ia sudah berjalan cepat keluar kantin, ponsel di tangan. Menekan nomor yang baru saja mengiriminya pesan.
Ryan memiringkan kepala, melirik Arka. “Si Dewa kunaon eta?”
(Si Dewa, kenapa itu?)
Arka hanya mengangkat bahu, menandakan tak tahu apa-apa.
Mereka bertiga saling pandang, sementara Dewa terus menjauh, wajahnya tegang. Ia terus berjalan keluar. Matanya liar menatap ke sekitar. Mencari siapa pun yang mungkin memperhatikannya. Tapi tak ada apa pun. Suara operator terdengar datar di telinganya:
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.”
Dewa terdiam.
Pundaknya turun pelan, napasnya memburu. Tangannya meremas ponsel begitu kuat hingga buku jarinya memutih.
“Gue kira ini semua udah selesai…” bisiknya serak.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi sia-sia. Bayangan masa lalu itu seperti kembali hidup di kepalanya. Dewa menunduk, suara lirihnya nyaris tak terdengar.
“Demi Tuhan, bukan gue... "
Ia menutup wajah dengan satu tangan, menarik napas panjang. Tapi yang keluar justru helaan frustrasi.
“Sial…"
...****************...
Malam itu, Lucy pulang cukup larut.
Lampu kamar hanya tersisa temaram kuning di meja sisi tempat tidur. Dewa sudah terlelap. Wajahnya tampak tenang dan napasnya teratur. Sulit membayangkan laki-laki dengan raut sedamai itu bisa menggumam sesuatu yang menakutkan semalam.
Lucy berdiri beberapa detik di tepi ranjang, memperhatikan Dewa dalam diam. Ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Antara iba, penasaran, dan takut. Ia menghela napas pelan, lalu berbaring di samping Dewa, namun matanya tak juga terpejam.
Jarum jam dinding perlahan bergerak menuju angka dua.
Lucy menatapnya, menunggu…
Malam itu, ia sengaja menahan kantuk. Hanya ingin tahu apakah kejadian semalam benar-benar nyata — apakah Dewa memang mengalami gangguan tidur, atau sekadar kebetulan.
Sunyi.
Detik berganti menit.Hanya suara jangkrik dan dengung pendingin udara yang terdengar.
Lalu, tepat pukul dua lewat sedikit. Tubuh Dewa perlahan bangkit dari ranjang. Gerakannya kaku namun pasti. Lucy menahan napas, menatap lekat-lekat punggung Dewa yang kini berdiri di sisi ranjang, mematung beberapa detik seperti sedang mendengarkan sesuatu yang tak terdengar.
Kemudian, tanpa suara, Dewa melangkah ke arah pintu kamar. Lucy refleks ikut turun dari ranjang, berusaha menjaga jarak agar langkahnya tak terdengar.Lampu ruang tengah masih menyala redup. Dewa berhenti di depan meja, pandangannya kosong menatap vas bunga yang kini tak lagi ada. pecahan semalam sudah Lucy buang. Ia menatap Dewa, bingung antara ingin membangunkannya atau menunggu sampai sadar sendiri. Langkah kecilnya maju, tangannya hendak menyentuh bahu Dewa.
Namun belum sempat disentuh, Dewa menoleh tiba-tiba, masih dengan mata setengah terpejam, tapi ekspresi wajahnya begitu menyakitkan. Lucy sontak mundur selangkah, menahan napas. Lalu Dewa berbalik arah, berjalan kembali ke kamar, menutup pintu, dan berbaring seperti tak terjadi apa-apa. Hanya napasnya yang kini terdengar berat… sesekali tersendat seperti menahan isak yang tak pernah selesai.
Sudah malam keempat.
Dewa masih melakukan hal yang sama.
Setiap malam, sekitar jam dua, tubuhnya akan perlahan bangkit dari ranjang, berjalan mengitari ruang tamu seperti orang mencari sesuatu yang tak pernah ditemukan.
Tatapannya kosong, mata setengah terbuka, wajahnya sendu seolah menyimpan luka yang tak sanggup disembunyikan.
Lucy duduk di ujung sofa, menatapnya tanpa berani bersuara. Kadang, hanya diam di sisi Dewa, mencoba memahami isi kepala suaminya yang tampak jauh entah ke mana. Dalam diam itu, Lucy bisa melihat — di balik rahang tegas dan ekspresi tenang Dewa — ada sesuatu yang hancur, sesuatu yang Dewa hanya biarkan keluar di malam hari. Lima belas menit berlalu, Dewa kembali bangkit, berjalan menuju kamar, lalu berbaring seperti tak terjadi apa-apa. Seolah sisi dirinya yang lain telah kembali bersembunyi.
Lucy menggigit bibir, matanya berkaca.
Ia tak tahu harus apa. Dan di malam keempat itu, untuk pertama kalinya ia benar-benar takut. Bukan pada Dewa, tapi pada luka yang disembunyikan Dewa sendiri.
...****************...
Pagi harinya, saat mereka sarapan, Lucy akhirnya tak tahan lagi. Suasana di meja makan begitu hening, hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring.
Dewa tampak seperti biasa. Rapi, tenang, bahkan sempat tersenyum.
Namun bagi Lucy, senyum itu terasa palsu.
Ia menatap Dewa lama-lama sebelum akhirnya memberanikan diri membuka suara.
“Dew…”
“Hm?” Dewa mengangkat wajahnya.
“Lo punya gangguan tidur kah?"
Sendok di tangan Dewa berhenti sejenak.
Senyumnya memudar pelan, hanya tersisa tatapan datar.
"Emang kenapa nanya gitu?” tanyanya hati-hati.
Lucy menelan ludah, mencoba tersenyum tipis.
“Enggak, cuma… gue pernah kebangun, terus liat lo duduk di ruang tamu. Gue panggilin tapi lo ga nyaut."
Dewa menatapnya lama, sebelum akhirnya menunduk lagi, mengaduk sarapan yang sudah mulai dingin.
“Gak usah dipikirin. Kadang gue emang gitu, akhir-akhir ini cukup stress soal kuliah."
Dewa hanya menjawab singkat, lalu kembali menyendok sarapannya. Lucy menatapnya dalam diam. Dari Cara Dewa menghindari tatapan, cara bahunya sedikit menegang, ia tahu pria itu sedang berbohong. Atau setidaknya, tidak sepenuhnya jujur.
Rasanya janggal kalau semua itu cuma karena stres perihal kuliah, pikir Lucy dalam hati.
Dewa pun bangkit dari meja makan, mengambil tasnya, lalu pamit berangkat ke kampus seperti biasa.
Begitu pintu menutup, Lucy menghela napas panjang.
“Sebenarnya apa yang terjadi sama lo, dew?” gumamnya pelan. “Gue pengen tau, apa penyebab lo kaya gini.”
...****************...
Sepeninggal dari rumah, Dewa tidak menuju kampus seperti yang ia bilang pada Lucy.
Ia malah belok ke arah Pasteur, tempat outlet Reddog miliknya berdiri. Udara pagi Bandung masih dingin, tapi pikirannya justru sesak.
“Gue gak tahu harus mulai cerita dari mana…” gumamnya sambil menatap jalanan di depan.
“Kalau Lucy nanya lebih jauh soal gangguan tidur gue…”
Ia memejamkan mata sejenak di dalam mobil yang terparkir di depan outlet. Tangannya menggenggam setir kuat-kuat, berusaha menenangkan debar di dadanya yang tak pernah reda sejak pesan itu datang. Di outlet pun Dewa tampak tidak fokus. Beberapa kali ia melamun di tengah melayani pelanggan, bahkan sampai salah kasih kembalian.
Asep yang melihat dari balik meja langsung menghampiri.
“Udah, Bang, biar gue aja. Lo istirahat dulu bentar.”
“Oke… thanks, Sep.”
Dewa menepi ke kursi dekat jendela, menatap keluar. Matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.
Sementara itu Asep mengambil alih pekerjaan, melayani pelanggan yang masih datang silih berganti.
Menjelang sore, saat outlet mulai sepi, Asep menatap Dewa yang masih termenung.
“Bang, mending lo pulang aja deh. Istirahat. Urusan outlet serahin ke gue dulu. Kalo ada apa-apa, gue kabarin.”
Dewa hanya menghela napas berat, wajahnya terlihat gusar.
“Hahh… entahlah, Sep. Isi kepala gue riuh banget rasanya.” Ia berdiri, meraih tas yang tergantung di kursi. “Gue pulang, ya. Gue titip outlet.”
“Siap, Bang. Hati-hati.”
Dewa keluar dari outlet dengan langkah gontai. Dari luar kaca, Asep masih memperhatikannya—ada sesuatu di sorot mata Dewa yang beda. Bukan sekadar lelah.
Tapi seperti seseorang yang mempunyai segudang beban fikiran.
Langit sudah berganti jingga ketika Dewa memacu mobilnya pulang. Sepanjang jalan, pikirannya tak pernah benar-benar tenang, semua terasa menekan. Suara mesin, langkah orang, bahkan desiran angin pun seperti bisikan yang berisik di kepalanya.
Begitu sampai rumah, lampu ruang tamu sudah menyala. Lucy duduk di sofa, menatap layar ponsel.
Begitu Dewa datang, Lucy tersenyum kecil.
“Baru pulang? Udah makan belum?”
Tidak ada jawaban.
Dewa hanya melepas sepatu, menaruh tas di sofa, lalu berlalu begitu saja menuju dapur.
“Dewa?”
Masih tidak ada respons.
Dewa berhenti di depan wastafel. Air keran menetes, pelan tik… tik… tik…
Setiap tetesan terasa seperti gema yang memukul dalam kepalanya. Tangannya bergetar saat mencoba menuang air ke gelas, tapi air tumpah, membasahi meja.
“Pembunuh…”
“Lo gak pantes bahagia"
“Mati aja sana”
Suara-suara itu datang lagi.
Dewa menutup telinganya, tapi tak ada yang berubah. Kepalanya berdengung, pandangan berputar.
“Diem anjing..,diem…berisik bangsat!”
“Dewa?” Langkah Lucy mendekat, wajahnya berubah cemas. Namun sebelum sempat menyentuhnya—
PRANG!
Gelas di tangan Dewa jatuh pecah, serpihannya berserakan di lantai.
BRUKK!
Dewa ambruk ke lantai.Lucy teramat terkejut, berjongkok panik.
“Dewa! Hei, bangun! Dewa!”
...----------------...
Poor dewa 🥺
Semoga tidak terjadi hal buruk pada dewa ya 😟
Makin bingung kan Lucy-nya, apalagi sampai dewa kaya gini...
Kalau udah kaya gini, baiknya Dewa cerita jangan sama Lucy?
Pantengin terus kisah Sadewa-Lucyana 🥰
Jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak, bisa berupa vote, like atau komentar. Kalau bisa sih komen sebanyak-banyaknya yaa 🔥
Terimakasih!
Happy Weekend 😍✨
apapun kondisi anaknya,hati seorang ibu tetaplah tulus pada anaknya....