Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 5.
Pagi itu matahari masuk lewat celah tirai tebal, Arsyi sudah terbangun sejak subuh. Sementara Aidan, bayi kecil itu masih tidur pulas dengan bibir mungilnya bergerak kecil seolah masih mengisap mimpi.
Arsyi duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Semalam ia tidak benar-benar lelap, terlalu banyak pikiran menyesaki kepala. Rumah ini memang memberi atap, tetapi keheningannya menusuk. Sunyi yang bukan damai, melainkan seperti jurang yang menganga.
Ia membenahi selimut, lalu berdiri membuka tirai. Pemandangan kota terbentang, gedung-gedung tinggi memantulkan cahaya pagi. Dunia di luar bergerak cepat, sibuk sekali.
Pintu diketuk, Sinta masuk membawa nampan. “Sarapan untukmu, Mbak. Kata Tuan Rendra... makanan untukmu harus dimasak secara khusus, agar A S I untuk Tuan muda kecil berkualitas bagus.“
Ada kekehan kecil di bibir Arsyi, tapi memang benar jika asupan makan ibu menyusuui akan berpengaruh pada kembang tubuh bayi yang ia susui.
Arsyi mengucap terima kasih, tapi sebelum ia sempat duduk suara langkah lain terdengar. Seorang perempuan berseragam pelayan masuk tanpa mengetuk. Sorot matanya tajam, penuh penilaian.
“Jadi ini orang baru yang katanya bisa menenangkan Tuan Kecil,” katanya dingin, senyumnya sinis. “Kau beruntung, bisa langsung tinggal di sini. Padahal banyak yang bertahun-tahun mengabdi, tapi nggak pernah diberi kepercayaan tinggal bersama Tuan Rendra.”
Arsyi menunduk sopan. “Saya hanya… kebetulan ada, di saat Tuan kecil Aidan butuh. Jadi, Tuan Rendra menyuruh saya tinggal disini hanya karena Tuan kecil.“
Perempuan itu mendengus. “Hmph! Tapi ingat, jangan terlalu percaya diri! Tuan Rendra tidak pernah suka orang asing terlalu lama di sisinya. Cepat atau lambat, kau akan disingkirkan.”
Sinta segera menegur, “Maya! Jangan bicara sembarangan begitu!”
Tapi Maya malah menyeringai lalu pergi, meninggalkan aroma sinis di udara.
Arsyi terdiam, Sinta menghela napas. “Maafkan dia, Mbak. Maya memang agak kasar lidahnya, tapi jangan hiraukan. Mbak Arsyi, fokus saja pada Tuan kecil Aidan.”
Arsyi mengangguk, meski hatinya kian berat. Ternyata... bahkan di rumah megah pun, hinaan tetap mengikutinya.
Siang hari, Arsyi berjalan di taman belakang dengan Aidan dalam gendongan. Angin lembut meniup dedaunan, kolam kecil beriak pelan. Di sana, setidaknya ia bisa bernapas lebih lega.
Aidan terbangun, matanya bulat menatap langit biru. Arsyi tersenyum. “Indah ya, Nak? Seandainya dunia selalu setenang ini…”
Suara berat tiba-tiba terdengar di belakang. “Jangan biasakan dia terlalu lama diluar!"
Arsyi berbalik.
Rendra berdiri dengan setelan kasual, kemeja putih digulung hingga siku. Meski tanpa jas resmi, wibawanya tetap menekan siapapun orang yang berada di dekatnya.
Arsyi menunduk sedikit. “Maaf, Tuan. Tuan kecil tampak lebih segar di sini...”
Rendra mendekat, menatap Aidan sejenak. Bayi itu tersenyum kecil, tangannya bergerak-gerak ke arah pria itu.
Namun Rendra hanya diam, kaku. Seolah tak tahu bagaimana merespons.
Arsyi melihat itu, ada dorongan spontan dalam dirinya. “Coba ulurkan jari Tuan, dia ingin menggenggam sesuatu.”
Rendra menoleh pada Arsyi, tatapannya tajam seakan mempertanyakan keberanian Arsyi memberi saran. Tapi kemudian, entah karena apa ia akhirnya menurunkan tangan lalu mengulurkan satu jari.
Aidan segera meraihnya, menggenggam erat jari telunjuk milik Rendra dengan tangan mungilnya.
Rendra terdiam, ada sesuatu yang bergerak di matanya. Sekilas lembut, sekilas rapuh. Namun cepat sekali ia menarik kembali jarinya, seakan tersadar.
“Bawa dia masuk, jangan terlalu lama di luar!" Katanya dingin, lalu berbalik pergi.
Arsyi memandangi punggung tegap itu, lelaki ini begitu pandai menyembunyikan sesuatu. Tapi tadi, dia melihat sesuatu dalam mata Rendra. Rasa sakit...
Malam hari, Arsyi baru saja menidurkan Aidan ketika terdengar suara keras dari lantai bawah. Seperti... piring pecah.
Pranggg
Rasa penasaran menuntunnya keluar kamar, ia berjalan perlahan menuruni tangga. Dari balik dinding, ia melihat Rendra berdiri di ruang makan dengan wajah murka. Di hadapannya, Maya gemetar sambil memunguti pecahan gelas.
“Kau ceroboh sekali!” suara Rendra meledak. “Berapa kali aku bilang jangan biarkan gelas kristal itu jatuh?!”
“Ma… maaf, Tuan. Tangan saya terpeleset__” Maya terbata-bata.
“Alasan!” Rendra menghantam meja dengan tangannya. “Kalau tidak bisa bekerja benar, lebih baik angkat kaki dari sini!”
Suasana mencekam, pelayan lain tak berani mendekat.
Tanpa sadar, Arsyi malah maju. “Tuan…” suaranya lirih, namun terdengar.
Rendra menoleh tajam. “Apa kau mau ikut campur?!”
Arsyi menunduk, tapi tetap bicara. “Maaf, Tuan. Saya hanya… berpikir, semua orang bisa berbuat salah. Maya pasti tidak sengaja. Kalau boleh, beri dia kesempatan.”
Ruangan membeku, tak ada yang berani bernapas.
Rendra menatap Arsyi lama, sorot baja di matanya menekan. Lalu ia berbalik, berjalan pergi tanpa sepatah kata.
Tubuh Maya masih gemetar, ia melirik Arsyi dengan pandangan campuran. Antara kaget, marah sekaligus tak percaya. Para pelayan, tak pernah ada yang berani melawan Rendra.
Arsyi hanya berdiri, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, keberaniannya barusan bisa berakibat buruk. Tapi entah mengapa, ia tidak tahan melihat seseorang dihancurkan begitu saja.
Di kamar, ia duduk sambil menggendong Aidan. Bayi itu terlelap, napasnya tenang.
Arsyi berbisik, “Nak… dunia orang dewasa penuh masalah. Tapi entah kenapa setiap kali aku melihat ayahmu, aku bisa merasakan... di balik sikap dinginnya itu... ada rasa sakit.“
Di ruang kerjanya, Rendra menatap kosong ke segelas minuman di tangannya. Ingatan wajah Arsyi yang berdiri menantangnya barusan terus muncul.
Ia menggeram pelan. “Perempuan itu… terlalu berani.”
Namun di sudut hatinya, ada rasa asing yang tak ia kenali. Rasa yang membuat hatinya yang membeku... sedikit bergetar.