Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 22.
Malam di kota itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di rumah besar keluarga Erlan, suasana sepi tapi tak ada satu pun jiwa yang benar-benar tenang. Tuan Erlan duduk sendirian di ruang kerja, menatap lukisan besar di dinding yang menggambarkan kejayaan keluarga mereka.
Setiap coretan kuas di sana seolah menertawakan kenyataan, bahwa kini satu demi satu anak lelakinya tiada hanya karena seorang wanita — Raisa.
Ia mengepalkan tinjunya. "Wanita sial dan terkutuk itu!"
Pintu terbuka perlahan, Rizal masuk dengan langkah mantap. “Tuan, saya sudah bertemu dengan Maya. Wanita itu siap bekerja untuk kita...”
Erlan menoleh, wajahnya dingin. “Bagus! Aku sudah terlalu lama memberi wanita terkutuk itu dan Rendra kelonggaran. Kini waktunya keluarga ini kembali mengambil kendali, tidak ada lagi yang boleh mempermainkan kami.”
Rizal mengangguk. “Tuan, ada hal lain. Jika benar Nyonya Raisa dan Tuan Rendra sudah bercerai, maka posisinya semakin lemah. Tanpa perlindungan Tuan Rendra... dia hanyalah wanita tanpa kekuatan."
Tatapan Tuan Erlan mengeras. “Kau benar! Dan, anaknya… darah daging keluarga ini! Anak itu harus kembali ke tangan kita, tidak peduli bagaimana caranya! Jika perlu, hancurkan semua yang menghalangi.”
Bayangan lampu temaram membuat wajah Tuan Erlan tampak lebih menyeramkan, seolah bukan lagi seorang kepala keluarga melainkan seorang algojo yang haus darah.
.
.
Hari itu di desa, Raisa dibawa ke hutan. Nafasnya tersengal sebab berjalan jauh, namun matanya teduh menikmati udara pinus yang segar.
"Istirahat sebentar, minum dulu," ucap Daniel sambil menyodorkan botol air.
Raisa duduk di atas batu, menerima botol itu lalu meneguk perlahan.
"Tubuh harus kuat, supaya jiwa ikut sehat," kata Daniel tenang.
Raisa tersenyum tipis. "Maksudmu, jiwaku belum sehat?"
Daniel tak menjawab, hanya menatapnya.
Raisa menghela napas, lalu bertanya pelan. "Kamu dibayar berapa sama Rendra?"
"Kalau saya bilang tidak dibayar, Nona percaya?"
Raisa menghentikan tegukan, menurunkan botol dari bibirnya. "Mana ada orang bekerja tanpa upah?"
Daniel menunduk sebentar sebelum menjawab, "Mungkin Nona lupa, lima tahun lalu saat Nona dan Tuan Rio masih kuliah... kalian menolong saya. Bapak saya sakit keras. Waktu itu, Tuan Rio membiayai operasi sampai beliau sembuh dan bisa pulang ke rumah."
Dahi Raisa berkerut, ingatan itu hanya samar-samar. "Jadi… kau tidak meminta bayaran, karena balas budi?"
"Ya," jawab Daniel mantap.
Raisa menatap puncak gunung di kejauhan, matanya mulai basah. "Rio memang baik... tapi kenapa hidupnya berakhir tragis, hanya karena dia bersamaku? Dulu, orang tuaku juga meninggal karena kecelakaan. Hanya aku yang selamat. Orang tua Rio selalu bilang... aku adalah wanita pembawa sial. Mereka menyiksa dan mengurungku sambil mengulang kata-kata itu. Apa benar aku ini pembawa sial?"
Daniel mengulurkan sapu tangan. "Menangislah... kalau itu bisa membuat hati Nona lega. Tapi jangan pernah menyalahkan diri sendiri, tidak ada manusia pembawa sial. Tuan Rio pergi karena takdir, bukan karena Nona. Dia meninggal... demi menjaga kehormatan istrinya."
Air mata Raisa pun jatuh, ia mengusapnya pelan dan tak lagi bicara.
"Ayo turun, hari sudah sore," kata Daniel lembut. "Saya akan memasak ayam rebus dengan jahe. Itu baik untuk kesehatan, juga bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik."
Daniel bangkit, lalu mengulurkan tangan. Raisa menatapnya sejenak, kemudian menggenggam uluran itu. Kali ini, ia tak menolak bantuan.
.
.
Sementara Rendra memilih tidak pergi ke perusahaan, ia mengurus semua pekerjaan dari balik meja ruang kerjanya. Hatinya tak tenang jika harus jauh dari Arsyi dan Aidan.
Kini, Aidan adalah segalanya. Anak itu bukan hanya anak yang lahir saat ia dan Raisa terikat pernikahan, tapi juga satu-satunya penerus sahabatnya — Rio. Rendra pun tahu, cepat atau lambat keluarga sahabatnya itu akan berusaha merebutnya.
"Bang, ada kabar dari Raisa?" tanya Arsyi pelan.
"Dia baik-baik saja," jawab Rendra dengan nada menenangkan. Dia sudah menerima laporan tentang Raisa dari Daniel.
Arsyi menatapnya ragu. "Tapi... kenapa Bang Rendra terus bekerja dari rumah? Situasi masih bahaya, ya?"
Rendra mengangguk pelan. "Keluarga Jerry pasti mengincar Aidan. Jadi... sebelum benar-benar aman, aku tidak akan jauh dari kalian. Kalau pun ada urusan penting di perusahaan, kalian akan ikut denganku."
Arsyi hanya bisa mengangguk, ada rasa takut tapi dia sangat percaya pada laki-laki itu.
"Oh ya, ada kabar baru soal kasus kematian anakmu. Bibinya Fajar, mau bersaksi. Itu artinya, keluarga mantan suamimu tidak akan bertahan lama. Mereka akan menerima balasan... dan kau, bisa tenang."
Arsyi tertegun, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, Bang..." ucapnya dengan suara bergetar, penuh rasa syukur.
Rendra menggenggam tangan Arsyi erat. "Tunggu sampai keadaan lebih tenang, ya. Setelah aku mendaftarkan pernikahan kita secara resmi, aku akan mengadakan pesta pernikahan untukmu. Pesta yang layak kau dapatkan..."
Senyum Arsyi merekah, lembut dan penuh harapan. Ia hanya ingin semua orang yang baik padanya bahagia, termasuk Raisa. Dalam setiap doanya, ia selalu menyebut nama wanita itu berharap kesembuhan dan ketenangan datang pada Raisa. Karena bagi Arsyi, Raisa adalah jalan yang mempersatukannya dengan Rendra.
Akankah hidup Arsyi dan Raisa, wanita yang pernah sama-sama tersakiti oleh keadaan... bisa bahagia sesuai harapan dan doa?