Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Sudah Dekat
Seolah menguatkan kata-kata Aylin, gemuruh tiba-tiba terdengar, menggetarkan lantai di bawah kaki mereka.
Retakan kecil merambat cepat di sela-sela batu.
Seakan peringatan: satu kesalahan, mereka akan jatuh bersama reruntuhan.
Akay menatap Aylin cepat, mendesak dengan suara serak.
"Yang menginginkan terang tak boleh takut pada bayang. Yang mengenal keseimbangan tahu: tiap cahaya harus berbagi ruang.
Apa maksudnya?"
Aylin tak langsung menjawab.
Dunia di sekitarnya memudar—tinggal sinar, bayangan... dan kenangan yang mengoyak.
Dalam cahaya yang membentuk bayangan itu, ia melihatnya.
Sosok tua, bersandar pada pohon, memangku seorang gadis kecil yang mendengarkan suara berat dan hangat itu membacakan sebuah buku lusuh.
"Kalau kamu hanya mengejar terang, kamu akan buta. Tapi kalau kamu bisa melihat bayangan, kamu akan tahu mana yang nyata, mana yang ilusi."
"Tapi... gelap itu menakutkan, Kek," suaranya terdengar kecil.
"Yang kamu butuhkan bukan terang yang menyilaukan... tapi cahaya yang cukup untuk mengenali siapa dirimu, dan siapa orang lain sebenarnya."
Seketika, ada sesuatu di dalam dada Aylin yang retak.
Setetes air mata jatuh ke lantai batu, namun ia tak peduli.
Bersama suara gemuruh yang makin keras, ia melangkah.
Satu langkah.
Lantai di dekat dinding mulai runtuh.
Dua langkah.
Sinar lain bergoyang liar, seperti akan menelan siapa saja yang salah memilih.
Aylin berdiri di hadapan sinar yang menampakkan bayangan samar.
Tangannya, meski bergetar hebat, terulur ke tuas di bawahnya.
Hening.
Satu detik terasa seribu tahun.
Lalu—ia menekan.
Suara gemuruh membesar, tapi bukan karena runtuh.
Cahaya-cahaya dari langit-langit mulai menyatu, mengalir ke tengah, membentuk lingkaran bercahaya.
Lalu, sebuah garis sinar terbit, membelah kegelapan, menembus dinding batu yang mulai retak.
Lorong terakhir perlahan terbuka di hadapan mereka.
Dan dalam hening di antara gemuruh itu, terdengar suara itu—berat, dalam, seolah datang dari tempat yang sangat jauh:
"Yang bisa melihat bayangan dari terang... telah mengerti arti keseimbangan."
Akay mendekat, menepuk bahu Aylin dengan lega bercampur kagum.
"Satu-satunya sinar yang jujur... adalah yang menghasilkan bayangan," katanya rendah.
"Kamu... jenius."
Aylin hanya tersenyum, walau ada gemetar dalam napasnya.
"Aku cuma mengingat apa yang Kakek ajarkan," suaranya hampir berbisik.
"Kalau tak ada bayangan... berarti tak ada sesuatu yang sungguh berdiri di sana."
Tangannya mengepal tanpa sadar.
Ada luka yang perlahan sembuh, ada tekad yang baru saja lahir.
"Dan sekarang aku tahu," katanya lagi, suara bergetar namun mantap, "kenapa semua ini harus kulalui."
Ia melangkah menuju lorong itu.
Tanpa ragu.
Karena kini ia tahu: cahaya yang sejati... selalu berbagi ruang dengan bayangan.
Mereka terus melangkah menuruni lorong terakhir, menuju ruang di mana tak hanya formula, tapi kebenaran dan konsekuensi menanti.
Langkah Aylin dan Akay bergema pelan menyusuri lorong batu yang menurun, semakin dalam menuju jantung kota tersembunyi itu.
Cahaya jamur bioluminesen meredup perlahan, digantikan lentera minyak kuno di dinding yang menyala otomatis saat mereka lewat—seolah lorong itu mengenali mereka.
Di ujungnya berdiri sebuah pintu batu basalt raksasa dengan ukiran kuno: Yunani, Latin, dan simbol-simbol asing. Salah satunya—bintang bersudut enam dengan ukiran menyerupai pusaran galaksi di tengahnya—membuat Aylin tercekat. Itu simbol yang sama dengan liontin peninggalan kakeknya.
“Tempat ini...” gumamnya, “...seperti sedang menungguku.”
Akay meliriknya. “Kamu sadar, ini bukan cuma ruang penyimpanan. Ini tempat yang dirancang untuk menjauhkan sesuatu dari dunia luar.”
Pintu itu bergeming saat disentuh. Tapi saat Aylin mengangkat liontinnya, bola kaca kecil di tengahnya memancarkan cahaya lembut. Ukiran pada pintu menyala satu per satu, seperti mengikuti irama tak kasatmata. Dengan derit berat, pintu itu pun terbuka perlahan.
Di baliknya, ruangan gelap menyambut mereka—dipenuhi rak batu dan altar marmer. Tak ada benda apa pun di atasnya. Hanya keheningan dan gema langkah mereka yang membentur dinding-dinding bisu.
Akay menyapu pandangannya. “Ini tempat penyimpanan... tapi kosong?”
Sebelum mereka sempat menelusuri lebih jauh, lantai di sisi altar bergeser pelan.
Dari celah rahasia muncul sosok pria tua berjubah biru. Wajahnya penuh keriput, tapi mata tajamnya menyimpan kedalaman yang membuat waktu seakan melambat. Seorang biarawan dari Ordo Salju Biru.
Aylin dan Akay refleks bersiaga, namun sang biarawan hanya mengangkat tangan—damai.
“Semar,” ucapnya lirih, seolah menyebut kunci, bukan nama.
Detak jantung Aylin melambat. Ia teringat satu kalimat yang selalu diulang kakeknya, dan refleks mengucapkannya.
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe.”
Cahaya samar mulai mengalir di udara, membuat bola kaca kecil di tengah liontinnya berpendar lembut, berputar seperti galaksi mungil di dalam genggamannya.
Biarawan itu menajamkan pandangan, lalu berbisik, "Simbol."
Akay dan Aylin saling melirik, berbicara lewat tatapan, menyadari bahwa ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang harus mereka serahkan.
Dengan napas tertahan, Aylin merogoh ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku tua—bersampul kulit hitam, dengan simbol aneh berbentuk lingkaran bersilang, tampak seperti paduan mantra kuno dan peta bintang. Berbeda dengan liontinnya, yang berdenyut tenang bagai galaksi kecil.
Biarawan itu memandang buku itu seolah melihat masa lalu yang kembali bernapas.
“Darahnya mengalir dalam dirimu,” bisiknya, suaranya penuh harap. “Dan waktunya telah tiba.”
Biarawan melangkah perlahan mendekati Aylin. Dengan jemari renta yang penuh kehati-hatian, ia membuka halaman pertama—satu-satunya halaman yang memuat gambar Semar. Sosok itu terukir dengan detail halus, tampak hidup meski hanya dalam coretan tinta.
Di bawah gambar itu, catatan tangan Wardhana yang semula tersembunyi kini muncul, bersinar samar seolah hanya dalam cahaya ruangan ini tulisan itu bisa dibaca.
"Yang menjaga seimbang tak butuh tahta, hanya hati yang tak gentar menjaga terang dalam bayang."
Aylin membeku. Akay menoleh cepat ke arahnya. Mereka saling menatap, mata membulat dalam keterkejutan.
Tulisan itu... sebelumnya tidak pernah ada. Bahkan ketika buku itu diterangi liontin Aylin sekalipun.
Biarawan menyentuh huruf-huruf yang berpendar itu, napasnya berat seperti menggali kenangan yang nyaris terlupakan.
“Catatan ini adalah kunci membuka tablet--potongan pertama dari formula. Ini bukan sekadar formula,” gumam biarawan, suaranya berat seperti gema masa lalu. “Ini adalah penyeimbang."
Ia menatap mereka dalam, matanya seperti menembus lapisan waktu.
“Ini bukan hanya untuk menyembuhkan,” lanjutnya, suaranya serak tapi penuh ketegasan. “Formula ini... bisa menghancurkan, jika jatuh ke tangan yang salah.”
Aylin menatap tulisan itu dalam diam. “Jadi... kami harus apa?”
Sebelum jawaban bisa diberikan, langkah-langkah berat terdengar dari lorong lain. Kazehaya, Kanzaki, dan seorang wanita bertopi rajut muncul—wajah mereka serius, mata mereka tajam.
Akay dan Aylin langsung waspada, saling tatap seolah bertanya siapa mereka. Namun, dari isyarat mata masing-masing, mereka tahu bahwa mereka tak mengenal ketiga orang itu. Lalu, mereka menatap biarawan yang sama sekali tak terkejut dengan kedatangan mereka, meskipun terlihat agak cemas setelah melihat wajah ketiganya.
“Kita tak punya waktu,” ucap wanita itu. “Black Nova dan pasukan Balthazar sudah menerobos gerbang atas. Jika tablet ini jatuh ke tangan mereka—semuanya berakhir.”
Kazehaya menatap Aylin. “Kamu harus memilih. Bawa pengetahuan ini keluar... atau kubur bersama tempat ini.”
Sebuah ledakan mengguncang dinding. Langit-langit bergetar, dan debu turun seperti abu kremasi.
“Mereka sudah dekat!” seru Akay, mengacungkan pistolnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍