Valerie memutuskan pulang ke Indonesia setelah dikhianati sang kekasih—Kelvin Harrison. Demi melampiaskan luka hatinya, Vale menikah dengan tuan muda lumpuh yang kaya raya—Sirius Brox.
Namun, siapa sangka, ternyata Riu adalah paman terkecilnya Kelvin. Vale pun kembali dihadapkan dengan sosok mantan, juga dihadapkan dengan rumitnya rahasia keluarga Brox.
Perlahan, Vale tahu siapa sebenarnya Riu. Namun, tak lantas membuat dia menyesal menikah dengan lelaki itu, malah dengan sepenuh hati memasrahkan cinta yang menggebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelvin dan Segala Kehancurannya
Berbeda jauh dengan keadaan Riu yang makin tinggi posisinya, di tempat yang berbeda Kelvin dihadapkan lagi dengan masalah baru, yakni Juliet.
Entah dari mana datangnya wanita itu, yang jelas ketika ia turun dari pesawat, wanita itu juga ada di bandara. Meski mengenakan masker, tetapi Kelvin kenal benar dengan tatapan matanya. Apalagi terus-menerus mengarah ke ayahnya, Kelvin makin curiga dibuatnya.
Saking curiganya, Kelvin hanya diam sepanjang perjalanan pulang. Bahkan ketika menapakkan kaki di rumah—satu-satunya aset yang ia dan orang tuanya miliki saat ini, Kelvin masih diam, sekadar pikiran yang terus meraba ke segala arah. Yang kesemuanya bertumpu pada satu nama, yakni Juliet.
Karena tak ingin mati penasaran, Kelvin memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Ketika ibunya ke kamar dan ayahnya pergi ke ruang kerja, Kelvin bergegas menyusul.
"Ada apa?" tanya Theo. Suaranya terdengar datar, seperti tak suka melihat kehadiran Kelvin di sana.
"Aku ingin bicara dengan Papa." Walaupun tatapan Theo membuatnya tidak nyaman, tetapi Kelvin tak acuh. Dia tetap masuk dan duduk di depan ayahnya.
"Bicara apa?"
Kelvin menarik napas panjang terlebih dahulu, "Siapa Juliet, Pa?"
"Istrinya rekan Papa. Nantinya mereka yang akan membantu kita merintis bisnis. Kamu tahu, kan, pamanmu itu sudah membuat kita miskin?" jawab Theo tanpa berpikir lama.
"Jika rekan Papa suaminya, kenapa nomor yang Papa hafal malah milik Juliet? Dan lagi ... tadi aku melihat dia di bandara. Dia sering menatap Papa, pun sebaliknya. Aku yakin itu bukan kebetulan belaka," ucap Kelvin.
Theo tertawa. Setelah kemarin dicurigai istrinya, sekarang dicurigai anaknya. Ahh, semua gara-gara Riu. Coba saja lelaki itu tidak berulah, dia tidak akan jatuh miskin, dan keberadaan Juliet pun tidak akan disadari oleh anak istri.
"Pa___"
"Tidak usah ikut campur urusan Papa. Lebih baik pikirkan bagaimana caranya kita merintis bisnis lagi. Paham!" pungkas Theo dengan cepat.
Kelvin bangkit dari duduknya, "Tapi, aku tidak akan tinggal diam kalau Papa mengkhianati Mama. Mama itu setia dan selalu menyayangi Papa, jangan sampai Papa selingkuh. Meski wanita yang bernama Juliet itu cantik, tapi belum tentu dia sebaik Mama."
"Kamu pikir, baik saja sudah cukup, hah? Hidup itu butuh uang, bukan hanya baik, baik, dan baik saja." Theo ikut bangkit, bahkan matanya juga melotot tajam. Sebuah ekspresi yang menguatkan kecurigaan Kelvin.
"Jadi benar, Papa selingkuh dengan Juliet itu?" tanya Kelvin.
"Heh!" Tanpa memberikan jawaban yang pasti, Theo langsung pergi meninggalkan Kelvin yang masih terpaku.
Masih sulit dipercaya bahwa keluarganya sekarang teramat hancur. Tidak hanya jatuh miskin, tetapi juga retak dalam hubungan. Ahh, sial.
"Apa yang harus aku lakukan?" batin Kelvin dengan tangan yang mengepal.
Ternyata benar apa yang dikatakan Riu tempo hari, ada yang tidak beres dengan ayahnya.
Dengan perasaan yang sangat kacau, Kelvin keluar dari ruangan itu. Lantas, masuk ke kamarnya sendiri. Bukan istirahat atau membersihkan diri, melainkan diam dan merenung. Rasa lelah akibat perjalanan panjang ikut terkikis, berganti rasa kecewa dan perih.
"Aku saja sesakit ini, lalu bagaimana dengan Mama? Pasti lukanya lebih dalam lagi andai tahu semua ini. Ahh, apakah dulu ... juga seperti ini yang dirasakan Vale?" ujar Kelvin dalam kesendiriannya.
_______
Satu minggu telah berlalu sejak Riu menunjukkan kesembuhannya. Urusan akuisisi perusahaan telah kelar, dan sekarang tinggal mengurus masalah pribadi, yakni pernikahannya dengan Vale.
Bersama Vale, Riu bertandang ke rumah Sandi. Dia berjalan normal tanpa kursi roda. Orang tua Vale yang selama ini mengkhawatirkan masa depan anaknya, malam itu bisa bernapas lega. Terlebih ketika Riu mengutarakan rencananya untuk menggelar pesta pernikahan yang mewah.
"Masalah tema, saya ikut saja. Terserah Vale dan Mama Papa maunya bagaimana. Tapi untuk biaya, biarkan saya yang menanggungnya. Ini ucapan terima kasih saya karena sudah diperkenankan menikahi Vale, padahal dulu ... keadaan saya sedang cacat. Selain itu, Mama dan Papa masih mau mempertahankan saya sebagai menantu meski sudah tahu bahwa keluarga saya sangat rumit," ucap Riu usai mengutarakan niatnya.
"Jangan membahas itu. Kami pun berterima kasih karena kamu bersedia menerima Vale dan menyayangi dia dengan tulus. Kami harap, seterusnya kamu bisa menjaga Vale dan memperlakukan dia sebaik ini." Sandi mengulas senyuman lebar. "Riu ... jangan membebankan biaya hanya padamu saja, biarkan kami ikut membantu. Vale adalah putri tunggal kami, momen ini sangat berharga. Jadi, mana bisa kami lepas tangan begitu saja," lanjutnya.
Vale dan Riu saling berpandangan. Keduanya sudah sepakat bahwa seluruh biaya ditanggung Riu. Namun sekarang, Sandi dan Marissa juga ingin keluar biaya untuk acara itu.
"Ahh, atau begini," celetuk Marissa ketika semua masih diam, "Karena pestanya ditanggung Riu, bagaimana kalau kita beri tiket bulan madu saja untuk mereka. Sejak menikah kan mereka belum kemana-mana," lanjutnya.
Vale dan Riu kembali berpandangan. Sebenarnya, ide itu cukup menarik. Namun sayangnya, dalam waktu dekat ini Riu belum bisa pergi jauh. Perusahaan yang baru diakuisisi belum stabil. Setidaknya, perlu menunggu sampai kursi-kursi kosong diduduki oleh orang yang tepat.
"Kalian tidak senang bulan madu?" tanya Marissa dengan tatapan yang menelisik.
"Bukan begitu, Ma, kami senang-senang saja. Tapi, dalam waktu dekat ini saya belum bisa pergi jauh. Paling cepat, sekitar dua bulan lagi," jawab Riu.
"Oh, hanya soal waktu? Tidak masalah kalau itu. Bulan madu tidak ada terlambatnya kok. Stabilkan dulu perusahaan kamu, nanti biar bisa puas-puas. Dulu, Vale punya keinginan jalan-jalan ke berbagai negara. Sepertinya akan lebih bagus kalau sambil bulan madu. Ya tidak?" Marissa makin antusias.
Sandi menyetujui saran tersebut, pun dengan Vale. Dia menunduk sambil menyembunyikan senyuman. Baginya, waktu memang bukan masalah. Asal bersama Riu, kapanpun itu akan tetap menyenangkan.
Namun, Riu sendiri belum sempat memberikan jawaban. Baru saja ia membuka mulut, ponselnya sudah bergetar. Ada telepon masuk dari Jason. Awalnya, sekadar ia diamkan. Namun, ayahnya itu kembali menelepon, hingga tak ada pilihan selain menerimanya.
"Halo, Pa."
"Riu, pulanglah ke rumah Papa! Ada masalah darurat!" kata Jason dari seberang sana.
Bersambung...