Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Langit mendung menggantung di luar jendela besar ruang kerja Arya. Ruangan itu sepi namun sarat tekanan, hanya terdengar detak jam dinding dan hembusan halus pendingin ruangan.
Wira Satya berdiri tegak di dekat meja kerja, sementara Arya bersandar pada ambang jendela, rahangnya masih mengeras, mata tak lepas dari lantai.
Pintu yang setengah terbuka itu mengayun perlahan. Kaila masuk dengan langkah ragu, mengenakan blouse putih sederhana dan celana panjang bersih.
Rambutnya disanggul rendah, dan wajahnya meski dilapisi ketegaran tak bisa menyembunyikan gugup yang merayap.
Wira menoleh. Sorot matanya tajam, mengamati perempuan muda yang kini berdiri tiga meter darinya.
“Jadi ini dia?” ucapnya pelan. Suaranya berat, hampir bergema di ruang sunyi itu.
Arya tidak menjawab.
Kaila mengangguk sopan. “Selamat pagi, Tuan.”
Wira tidak langsung merespons. Ia mengamati wajah Kaila muda, bersih, cantik, tapi jelas bukan dari kalangan mereka. Wajah yang asing di dunia penuh martabat dan garis darah yang dijunjung tinggi.
“Duduklah,” ujar Wira akhirnya, menunjuk sofa kulit panjang di sisi ruangan.
Kaila duduk dengan tenang, menatap Wira, bukan dengan rasa takut, tapi kewaspadaan.
“Aku tidak akan membicarakan moral,” kata Wira, menyandarkan diri ke meja kerja Arya. “Itu urusan kalian. Yang ingin kubicarakan adalah konsekuensi dan langkah ke depan.”
Kaila diam, menunggu.
Wira melanjutkan, “Aku sudah tahu apa yang terjadi. Arya, anakku satu-satunya, tidur denganmu. Kau mengandung anaknya. Tak peduli apakah ini karena cinta, kebetulan, atau kesalahan. Yang jelas, anak itu membawa darah keluarga Satya.”
Kaila membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia tahu ini bukan waktu untuk membela diri.
Wira menatapnya lurus-lurus. “Aku tidak bisa membiarkan anak itu lahir tanpa nama, tanpa tempat, tanpa warisan. Tapi aku juga tidak bisa menjatuhkan martabat keluarga ini hanya karena satu insiden pribadi Arya.”
Ia melangkah ke depan, berdiri di hadapan Kaila. “Jadi, aku menawarkan sebuah kesepakatan.”
Arya menoleh cepat ke arah ayahnya. “Papa ”
Wira mengangkat tangan, menghentikannya.
“Kaila,” ucapnya pelan namun tajam, “kau akan tinggal di rumah ini selama kehamilanmu. Kau akan diurus oleh tim dokter terbaik. Akan ada pelayan yang melayanimu. Kau tak perlu bekerja, tak perlu khawatir soal apapun. Kau hanya perlu satu hal melahirkan anak itu dengan sehat.”
Kaila menegang, punggungnya tegak di sofa.
“Setelah itu,” lanjut Wira, “kau akan pergi dari rumah ini dengan segala kehormatan yang bisa kuberikan. Rumah. Mobil. Tabungan. Status sosial. Nama baikmu akan aman. Kau bahkan bisa membuka usaha atau melanjutkan hidup dengan cara apa pun yang kau mau.”
Diam sejenak. Lalu Wira menurunkan suara.
“Tapi anak itu akan tetap di sini. Akan dibesarkan sebagai anak Arya dan Nayla. Aku akan memberi mu izin untuk mengunjungi nya, tapi jangan pernah mengaku sebagai ibu dari anak itu suatu saat nanti”
Kaila terdiam membatu.
Ia menatap Wira dengan kaget, tak percaya. “Maaf?”
Wira menegaskan, “Kau akan melahirkan, dan menyerahkan anakmu kepada keluarga Satya. Anak itu akan kuakui secara hukum. Tapi bukan sebagai anak dari seorang perempuan tanpa nama. Ia akan tumbuh sebagai putra Arya Satya dan Nayla .”
Arya melangkah maju. “Papa, tidak. Kaila bukan wanita yang bisa diperlakukan seperti itu.”
Tapi Wira tak bergeming. Ia mengabaikan putranya dan mengalihkan pandangan kembali ke Kaila.
“Ini bukan soal siapa yang bisa diperlakukan bagaimana. Ini soal masa depan anakmu. Aku menawarkan kehidupan yang tidak akan pernah bisa kau berikan sendiri padanya. Pendidikan terbaik. Lingkungan terhormat. Warisan keluarga.”
Kaila masih menatap Wira, matanya kini bergetar. “Dan aku?”
“Kau akan bebas. Setelah pengorbananmu selesai, kau akan memiliki segalanya. Tanpa beban. Tanpa tanggung jawab. Anakmu tidak akan kekurangan apa pun, dan kau bisa membanggakan dan kamu hanya perlu menjaga rahasia ini dengan baik.”
Hening kembali menggantung.
Lalu pintu terbuka lagi. Seorang perempuan masuk berpakaian anggun, wajah tegas, tubuh langsing dan rapi. Nayla.
Ia menatap seisi ruangan dengan sorot mata yang dingin, lalu berjalan perlahan dan berdiri di sisi Wira.
“Papa,apa kabar” ucap Nayla sopan lalu mencium tangan ayah mertuanya itu.
"duduklah menantuku" ucap Wira ramah. “Aku ingin kau mendengar sendiri tawaranku.”
Nayla mengangguk. Tatapannya lalu berpindah ke Kaila. Mereka saling pandang, dua wanita dari dunia yang sangat berbeda.
Satu dipoles status dan martabat, satu lagi dibentuk oleh kehidupan keras dan ketegaran hati. Sungguh perbedaan yang sangat jauh dari keduanya.
“Kalau kau setuju,” lanjut Wira, “Nayla akan menjadi ibu dari anak itu. Tidak akan ada satu pun orang luar yang tahu siapa yang melahirkannya. Ini demi nama baik kalian semua. Tak ada skandal. Tak ada sorotan media. Hanya keluarga Satya yang utuh.”
Kaila menggeleng pelan, suaranya pecah. “Tuan Wira... saya ini manusia. Saya bukan wadah yang bisa dipakai, lalu dibuang setelah tugas selesai.”
Wira menyipitkan mata. “Kau merasa ini tidak adil?”
“Tentu saja.” Kaila berdiri. “Saya akan melahirkan anak saya sendiri. Saya akan membesarkannya sendiri. Jika saya tinggal di rumah ini, itu karena saya menghargai masa depan anak saya, bukan karena saya tunduk pada sistem kelas seperti ini.”
Arya ikut berdiri. “Papa, dia benar. Ini tidak benar.”
Namun sebelum Wira bisa menjawab, Nayla angkat suara. “Aku tidak keberatan.”
Semua mata kini tertuju padanya.
Nayla mengulang, “Aku tidak keberatan membesarkan anak itu. Asalkan dia tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya. Aku bisa memaafkan perselingkuhanmu, Arya, tapi anak itu akan jadi pengingat selamanya. Dan satu-satunya cara agar aku bisa menerimanya... adalah jika ibunya menghilang dari cerita.”
Kaila mengerutkan dahi. “Kau tak pernah kehilangan apa pun, Nayla. Kau tetap punya suami, rumah besar, nama besar. Sementara aku—”
Suara Kaila tercekat.
“Jangan merendah di depan orang yang sedang mencoba membantumu,” potong Nayla tajam.
Namun Wira mengangkat tangan. “Cukup.”
Ia memandang keduanya Nayla dan Kaila dengan tatapan penentu.
“Kaila, aku memberimu waktu dua hari. Pikirkan baik-baik. Kau bisa tinggal dan menerima tawaran ini, atau pergi dan melahirkan sendiri tanpa perlindungan kami. Tapi jika kau memilih pergi, maka jangan harap kami akan mengakui anakmu sebagai bagian dari keluarga Satya.”
Kaila tak menjawab. Ia hanya memandang Arya mencari sesuatu di sana. Jawaban. Dukungan. Harapan.
Namun untuk pertama kalinya… bahkan Arya pun tidak tahu harus berkata apa.
Air mata menetes, masalah antara Kaila dan Arya Kini menjadi semakin rumit.
Kaila tak ingin status nya sebagai ibu sah dari calon bayi nya itu direnggut paksa. Namun ia juga tak mau masa depan anak nya nanti tidak terjamin.