Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH EMPAT
Nara berusaha bangkit, namun tangan Gala mengencangkan cengkeramannya.
"Prof, lepasin!" Nara meronta, suaranya tertahan.
"Gak mau, selagi kamu gak mengizinkan saya tidur di kamar, saya akan memeluk kamu hingga pagi. Bukankah seperti ini lebih romantis?" Gala berbisik, suaranya berat dan penuh godaan.
Mendengar itu, Nara dengan cepat menepuk kepala Gala. "Bisakah pikiran Prof tidak selalu mesum?" serunya, matanya membelalak tajam. Gala hanya tersenyum, tidak terpengaruh.
"Sulit sayang, karena setiap melihatmu, yang aku ingin hanyalah dekat denganmu," katanya lagi, membuat Nara mengerutkan dahi, rasanya mual.
"Dasar sinting," gumam Nara dalam nada yang lebih dalam meruap di suaranya. Gala, yang tak terpengaruh, hanya tersenyum sembari mengelus lembut rambut hitam Nara yang terurai. Walaupun mereka sering bertengkar seperti anjing dan kucing, dinamika di antara mereka tetaplah menawan, seolah tiap pertengkaran hanya menambah kedalaman pada ikatan mereka.
"Demi apa aku punya suami semenyebalkan ini," batin Nara sambil mendengus kesal. Gala, seperti biasanya, dengan wajah tak berdosanya justru memperburuk suasana hati Nara.
Dengan tak rela, akhirnya Nara pun mengalah,
"Ya sudah, tidur lah di kamar," ujar Nara pada akhirnya, suaranya terasa hambar di telinganya sendiri. Sejujurnya Nara merasa jengkel, tapi entah kenapa selalu kalah jika berhadapan dengan pak dosen satu itu.
"Ooo... makasih, sayang," jawab Gala santai sembari refleks mengecup bibir Nara yang masih setengah terbuka. Bibir Gala yang tiba-tiba itu membuat Nara terhenyak. Rasanya seperti kena serangan mendadak tanpa ada aba-aba.
"Prof!" pekik Nara spontan, wajahnya memanas seketika. Segera Nara mengejar Gala ke arah kamar, namun Gala justru tertawa kecil, terlihat sangat puas dengan reaksi Nara.
"Pokoknya aku nggak ikhlas! Prof curi ciumanku lagi untuk kedua kalinya!" Nara menatap Gala dengan pipi memerah karena malu sekaligus gemas.
Tapi, bukannya membalas, Gala malah sudah terkapar nyaman di atas ranjang empuk mereka. Wajahnya yang tenang, hidung mancungnya itu, seolah menantang Nara untuk tetap kesal.
"Astaga, kenapa aku bisa menikah dengan orang seperti dia?" Batin Nara tak habis pikir.
Namun, yang ada, amarah Nara pelan-pelan surut, tergantikan rasa lelah yang melanda. "Hah... dasar om om..," omel Nara pelan sambil menarik selimut.
Meski begitu, tetap ada sebersit rasa hangat di dada Nara, setiap kali melihat Gala seperti itu, tanpa beban. Ketika Nara baru saja menemukan posisi tidur yang nyaman, sebuah sentuhan hangat mengejutkannya.
Tangan Gala yang besar dan kokoh menyusup perlahan, melingkari pinggang Nara dengan kehangatan yang khas. Nara mendengus pelan, namun senyum kecil tak dapat ia tahan.
Ah, se-menyebalkan apapun Gala, pelukannya entah kenapa selalu terasa menenangkan bagi Nara. Pagi esok mungkin akan berbeda, tapi malam ini, Nara biarkan semuanya berlalu bersama desiran halus kehangatan tubuhnya yang menyatu.
Pagi mulai membangunkan Gala di alam bawah sadarnya, mata Gala menatap hangat pada wajah ayu Nata.
"Pagi, sayang," sapa Gala dengan suara lembut saat mata Nara baru mulai membuka setengah terpejam. Nara mendengus malas meladeni pak dosennya.
"Hmm..." rasanya tak ada energi bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata lebih panjang dari itu.
"Ayo bangun, kita salat subuh," ajaknya, tetap dengan nada lembut yang selalu ia gunakan. "Enggak mau. Aku bisa salat sendiri," jawab Nara ketus, dengan nada penuh keengganan.
Gala tetap tersenyum. "Gak boleh, kan ada Mas yang ngimami kamu. Yok salat bareng Mas," katanya penuh kesabaran, sikapnya tak pernah berubah meski tahu Nara selalu menunjukkan sikap dingin terhadapnya.
Nara tahu betapa besar cinta Gala padanya. Rasanya cinta itu begitu nyata, terlihat dari setiap gestur kecilnya, setiap kata yang diucapkannya. Tapi entah kenapa, hati Nara masih tak bisa sepenuhnya menerima keberadaan suaminya, seakan ada sesuatu yang terus mengganjal di benaknya.
Seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa Nara gambarkan. Tapi Gala? Dia tak pernah berhenti mencoba. Nara bisa melihat harapan yang selalu memantul dari mata Gala—harapan bahwa suatu hari Nara akan benar-benar mengingatnya, benar-benar memandangnya sebagai bagian dari dirinya. Tetapi Nara? masih terjebak dalam memorinya yang hilang.
Nara termenung hanya dapat bertanya dalam hatinya yang kosong.
"Kenapa aku selalu seperti ini? Apakah aku terlalu keras padanya? Atau... apakah aku hanya takut untuk mencintai seseorang sedalam dia mencintaiku?" batin Nara, yang tak tahu jawabnnya apa.
Nara akhirnya bangkit dan mengikuti langkah Gala ke tempat berwudu.
Usai salat, suasana masih hening ketika Gala mengungkapkan rencananya.
"Dek, untuk dua hari kedepan, Mas harus menghadiri seminar di Surabaya. Mas khawatir jika meninggalkanmu sendiri di sini," Gala memandang Nara dengan tatapan penuh harap.
"Kamu mau temani Mas ke Surabaya?" Nara menghela napas, matanya tertuju pada tugas yang menumpuk, di atas meja belajar.
"Aku tidak bisa. Besok ada mata kuliah penting. Kalau Mas mau pergi, pergilah. Kalau tidak pulang-pulang pun tak mengapa," ucap Nara berniat hanya bercanda.
Namun nada suaranya terdengar tajam dipendengaran Gala. Gala terkejut, kepala menoleh cepat.
"Dek, kenapa bicara begitu?" suaranya parau, penuh kesedihan.
"Karena keberadaan Prof di sini membuat saya tidak nyaman," Nara menjawab dengan jujur, matanya tak berani menatap Gala. Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk langsung ke jantung Gala.
"Baiklah, jika begitu. Mas akan pergi sendiri. Jaga dirimu baik-baik, gunakan mobil saja jika ke kampus. Mas ke bandara dengan ojek online." Dengan langkah tegas, Gala meninggalkan Nara yang masih duduk di bibir ranjang.
Nara menatap punggung Gala, benih penyesalan tumbuh di hatinya seketika. Di kejauhan, Nara melihat wajah Profesor yang datar dan tanpa ekspresi. Rasa bersalah semakin menyiksa, menambah bobot di hati yang makin kacau.
Dua hari berlalu sejak Gala terbang ke Surabaya, dan dia belum sekalipun menghubungi Nara. Nara mencoba meneleponnya berkali-kali, tetapi nomornya tetap tidak aktif.
Hal itu tentu membuat hati Nara mulai gelisah, seperti ada sesuatu yang salah.
"Kenapa sih, nomornya gak aktif terus? Apa dia sengaja gak mau dihubungi?" gumam Nara sendiri sambil menghela napas panjang, rasa bersalahnya masih membayangi, di pikirannya.
"Na, ada apa? Kok kayaknya kamu lagi khawatirin sesuatu," tanya Sasa, yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik Nara dengan tatapan penuh penasaran.
Nara memutar tubuhnya menghadap pada Sasa, mencoba memasang ekspresi biasa saja. "Sa, nomor Prof Gala dari kemarin kok gak aktif. Kenapa ya?" tanya Nara, meski Nara tahu bahwa suaranya mengkhianati ketenangan yang ia coba tampilkan.
"Eee... ternyata ada yang lagi khawatir nih," balas Sasa dengan nada menggoda, senyumnya mulai melebar.
"Apaan sih, aku cuma heran aja kenapa nomornya gak aktif," ujar Nara buru-buru menyangkal, meski hatinya tahu jika tidak sepenuhnya jujur. Rasanya ada dorongan kecil untuk melindungi perasaannya kali ini dari ledekan Sasa, karena Nara enggan terlihat lemah atau terlalu peduli pada Gala.
"Yakin cuma itu? Atau sebenarnya—" goda Sasa sambil mencubit pinggang sahabatnya, membuat Nara terlonjak kecil. Nara hanya mendengus, berusaha mengabaikan ledakan Sasa. Namun, pikirannya soal Gala tetap memenuhi benaknya.
"Apa mungkin dia benar-benar marah padaku? Atau ada alasan lain yang lebih buruk yang sengaja dia sembunyikan dariku? Kenapa dia tidak memberiku kabar sedikit pun?" Nara masuh saja terus memikirkan Gala.