NovelToon NovelToon
PEMERAN PEMBANTU

PEMERAN PEMBANTU

Status: tamat
Genre:Romantis / TimeTravel / Petualangan / Tamat / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Masuk ke dalam novel / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:8M
Nilai: 4.9
Nama Author: Mira Akira

Ia mengalami kematian konyol setelah mencaci maki sebuah novel sampah berjudul "Keajaiban Cinta Capella". Kemudian, ia menyadari bahwa dirinya menjelma menjadi Adhara, seorang tokoh sampingan dalam novel sampah itu.

Sayangnya, Adhara mengalami kematian konyol karena terlibat dalam kerusuhan.
Kerusuhan itu bermula dari Capella, si tokoh utama yang tak mau dijadikan permaisuri oleh kaisar.

Demi kelangsungan hidupnya, ia harus membuat Capella jatuh cinta dengan Kaisar Negeri Bintang. Kesulitan bertambah saat terjadi banyak perubahan alur cerita dari novel aslinya.


Mampukah ia mencegah kematiannya sebagai Adhara, pemeran pembantu dari dunia novel yang berjudul "Keajaiban Cinta Capella"?

"Mungkin ini hanya jalan agar kita bisa bertemu lagi, dan saling mencintai dengan cara yang lebih bahagia."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira Akira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KASUS KOTA DUBHE 4: MENANGIS BERARTI KALAH!

“Rasanya aneh ya, Nona. Saat ini kita berhadapan dengan posisi yang berbeda,” pria berambut abu muda itu berjongkok di hadapan Adhara.

Pria itu tersenyum dengan sangat manis, mencoba menenangkan Adhara yang gemetaran tak menentu. Namun senyuman itu justru membuat Adhara semakin merinding ketakutan.

Pria ini lebih menyeramkan dibanding arwah Mintaka.

Jari telunjuk pria itu mengangkat dagu Adhara lembut. Menatap Adhara penuh kasih, “Jangan takut. Aku hanya memberimu ramuan yang dapat menghilangkan suaramu untuk sementara.”

Adhara segera memundurkan wajahnya untuk menghindar.

Pria itu hanya tersenyum untuk menanggapi tindakan Adhara. Ia berdiri kembali sambil menarik pedang yang tersampir di pinggangnya. Suara denting pedang itu membuat nyilu. Tangannya yang keras mengusap bilah pedangnya dengan pelan.

Apa yang ingin dilakukan pria ini?

“Melihat reaksi Nona, aku yakin anda sudah tahu hal ini. Apa gadis penyihir itu yang memberitahu?”

Bilah pedang itu menampilkan bayangan seorang pria berwajah tegas. Wajah seorang pria yang kesehariannya muncul dengan rambut hitam lepeknya, rambut yang terbiasa menggunakan pelindung kepala dari besi ringan.

Adhara tersenyum pahit, Spica berbisik pada Adhara bahwa rambut pria itu memiliki aura mayat. Pria ini menggunakan rambut orang yang sudah mati untuk menutupi rambutnya yang asli. Adhara tahu, di dunia ini rambut palsu belumlah ada.

Tetapi, rambut mayat rasanya agak....

Pria itu memberi hormat pada Adhara dengan sopan, “Senang bertemu lagi dengan anda, Nona. Saya, Jenderal Menkalinan menyapa anda.”

***

Menkalinan duduk bersila di hadapan Adhara. Pedangnya ia letakkan di lantai yang basah. Matanya menatap wajah Adhara dengan kelembutan yang sama seperti sebelumnya.

“Apa yang Nona bisikan pada kaisar?”

Kau yang membungkam suaraku, kau juga yang bertanya padaku. Aku tak bisa bicara, bodoh!

“Ah….” Menkalinan menepuk dahinya dengan dramatis.

“Silahkan mengangguk atau menggeleng saja, Nona.”

Aku tak akan menjawab apa-apa! Biar Negera Api menyerang, aku tak akan jawab apa-apa!

“Aku yakin Nona tak hanya menggoda kaisar. Aku melihatnya.”

Menkalinan bermain lagi dengan pedangnya. Lalu, pria gila ini membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Adhara dengan nada yang lembut, “Nona menyelipkan sesuatu di kerah pakaian Yang Mulia. Iya kan, Nona?”

Adhara merasa pria ini sangat berbahaya. Ia harus menjauhi Menkalinan.

Melihat Adhara yang menjauh darinya membuat senyum di wajah Menkalinan pudar. Menkalinan bangkit dan mengarahkan ujung pedangnya pada tenggorokan Adhara.

“Apa yang kau selipkan, Nona?”

Kali ini aku akan mati sungguhan!

Adhara hanya bisa berteriak frustasi di dalam hati. Ini kedua kalinya leher Adhara ditodong pedang. Tetapi, waktu Sargas mengarahkan pedangnya ke lehernya dulu, tidak ada niat membunuh. Namun pria ini tidak. Pria ini kehilangan kewarasannya. Kepala Adhara bisa melayang kapan saja.

“Aku mencari sangat lama. Tapi aku tak menemukan apapun di sana. Mintaka tak ada di sana, bahkan hanya tulangnya. Dia benar-benar menjadi abu,” suara Menkalinan bergetar dan serak. Suara itu terdengar frustasi.

Tentu saja tak bisa ditemukan. Bahkan jika bukan Spica, benda itu bahkan tak akan bisa ditemukan, kecuali kau menggali di semua sisi.

“Aku melihat gadis penyihir itu menemukan sesuatu, selain kartu emas milikku. Tetapi dia menyembunyikannya di lengan baju, dan memberikannya padamu. Lalu kau memberikannya pada kaisar. Berikan padaku. ITU MILIK MINTAKA!”

Adhara menutup matanya ketika mendengar suara teriakan Menkalinan. Suara teriakan Menkalinan terdengar di penjuru ruangan.

Brukk..

Menkalinan duduk dengan tiba-tiba.

Suasana mendadak hening dan tenang. Tak lama, Menkalinan tersenyum seperti biasanya.

Dengan tenang, ia bersila seperti tengah bercerita dengan temannya. Matanya memperhatikan Adhara yang masih menutup matanya dengan erat.

Dengan perlahan, Menkalinan menarik pedangnya dari leher Adhara.

“Nona, mau dengar sebuah cerita?”

Adhara refleks menggeleng.

Aku mau pulang, Mas!

PLAKK

Pipi Adhara terasa kaku dan panas saat tangan keras Menkalinan mencapai pipinya. Rasanya perih di pipinya membuat matanya berair. Seperti yang ia duga, tubuh Adhara sangat lembut dan lemah. Tamparan ini langsung membuat pipinya mati rasa, apalagi tangan Menkalinan ialah tangan yang terbiasa berlatih pedang.

Namun rasa sakit ini menimbulkan dejavu. Ia sudah sering merasakan sakit seperti ini dari ayah di kehidupan sebelumnya.

Sebenarnya bukan hanya pipi, bahkan kepalanya juga pernah menyentuh tembok dengan kuat. Jadi tak apa, sakit ini tak seberapa. Ia mencoba menahan air matanya seperti biasanya.

Seperti kata ayahnya dulu, ketika kau menangis berarti kau kalah.

“Kau pasti penasaran dengan ceritaku, Nona. Ini sedikit panjang, dan mungkin akan selesai saat matahari terbit. Setidaknya aku harus memberi bekal untuk akhir hidupmu. Dan ketika matahari terbit, kaisar akan menemukan mayatmu. Aku yakin ekspresinya pasti sangat menarik.”

Mata Adhara melotot pada Menkalinan, "Dasar psikopat!"

“Tak apa. Aku akan membuat mayatmu terlihat sangat indah. Lagipula apa pun yang terjadi padamu, perasaan kaisar tak akan berubah. Aku tahu. Aku sangat tahu, karena perasaan kaisar sama seperti diriku.”

Apa maksud orang tak waras ini?

Kematiannya tak akan berefek apa-apa untuk kaisar. Tetapi mungkin agak mengganggu kaisar, karena ia yakin ada bagian dari tubuh Adhara yang nantinya terlihat mengenaskan.

“Dulu aku juga sepertimu, Nona. Aku berada di ambang kematian. Setengah dari pasukanku isinya penghianat. Rupanya sejak awal ada mata-mata musuh dalam pasukan. Strategi kami terbongkar, dan pasukan kacau balau. Aku yang hanya prajurit rendahan berpikir bahwa aku tak akan bisa bertahan hidup.”

Menkalinan menggoreskan ujung pedangnya ke lantai yang basah hingga membuat suara derit yang mengganggu.

Apa yang dilakukan orang ini? Menulis di lantai seperti anak ABG saja. Kamu mau menulis Menkalinan love Mintaka gitu?

Adhara merasa sedikit ngilu ketika mendengar gesekan pedang pada lantai. Rasanya seperti telinganya juga ikut berdenging karena suara itu.

Namun Menkalinan tetap melanjutkan ceritanya, “Tetapi saat aku sadar, aku berada di rumah kumuh. Dan Mintaka tengah mengobati luka menganga di perutku. Dia tersenyum padaku, dan Nona tahu apa yang dia katakan padaku,” wajah Menkalinan terlihat bahagia sekaligus tampak menyedihkan.

Mana aku tahu! Tak ada flashback tentang ceritamu dengan Mintaka. Jadi, mana aku tahu!

Lagi-lagi Adhara hanya bisa mengomel dalam hati. Ia mendesah kesal saat Menkalinan tetap melanjutkan ceritanya.

“Dia bilang, syukurlah kau masih hidup. Gadis itu sangat kurus dan tak terawat dengan baik, tetapi ia tetap memberikan tempat untuk orang yang tak dikenalnya. Selama aku tinggal bersamanya, aku tahu bahwa dia memberikan makanannya yang sedikit padaku. Dia selalu bilang, orang sakit haruslah bertingkah seperti orang sakit.”

Suara tetesan air terdengar semakin cepat.

“Tetapi orang-orang selalu berlaku buruk padanya. Ia sering pulang dengan luka dan memar. Dia bilang ia hanya terjatuh. Aku kehilangan ingatanku, dan berpikir aku tak bisa membantunya dengan diriku sendiri yang tanpa identitas. Aku… Aku… Bahkan tak bisa mengatakan perasaanku padanya karena aku tak tahu diriku sendiri siapa.”

Adhara terkejut ketika melihat bulir-bulir air menetes dari mata Menkalinan yang kemerahan. Seorang pria yang selalu tampil gagah di medan perang kini menangisi gadis yang sangat ia cintai. Pria ini bahkan tak malu untuk menangis seperti anak kecil.

“Mintaka bilang dari kartu emas yang aku miliki, mungkin saja aku adalah seorang prajurit kekaisaran. Aku berpikir, jika aku benar prajurit kekaisaran berarti aku bisa menjamin masa depan Mintaka. Aku datang ke pusat kota, dan menyadari bahwa aku kehilangan kartu emasku. Tetapi aku tak bisa kembali dengan tangan kosong.”

Adhara sangat mengetahui kelanjutannya. Menkalinan mengubah identitasnya, dan penampilannya. Adhara yakin, Menkalinan bukanlah nama pria ini sebenarnya.

“Ya, Nona benar. Menkalinan bukanlah nama asliku. Itu hanya nama yang diberikan Mintaka padaku. Nama sebuah bintang yang berwarna putih karena sinar matahari. Mintaka bilang rambutku terlihat sama dengan bintang,” Menkalinan berbicara seolah dia mengetahui pemikiran Adhara.

Menkalinan mengusap rambutnya sendiri dengan miris, “Aku berhasil menjadi Jenderal kali ini. Aku bahkan menyiapkan rumah untuk kami di pusat kota. Hari itu… Aku menjemput Mintaka, dan…..”

Mintaka sudah terbakar menjadi abu.

Menkalinan mencengkeram pedangnya sendiri dengan erat, seolah ingin meremukkannya. Ia bahkan tanpa sadar membungkuk, dan nyaris bersujud di lantai yang basah.

Suara bergetar Menkalinan terdengar, “Mengapa selalu membesarkan rumor? Padahal kalian sendiri belum pernah melihat itu langsung. Kalian selalu berkata, katanya ini, katanya itu. Kenapa…. Jika tak tahu semestinya kalian diam.”

Adhara menggelengkan kepalanya tak berdaya. Itulah manusia. Mereka suka mengikuti bau dari orang lain, sehingga lupa dengan bau sendiri. Mereka selalu begitu, meskipun tak semua.

“Nona…” Bahu Menkalinan terlihat rapuh.

“Aku mencintainya. Nona, aku sangat mencintainya.”

Apa yang bisa Adhara lakukan? Seberapa banyak Menkalinan mengatakan cinta, Adhara tak akan bisa menyampaikannya pada Mintaka. Mintaka sudah tiada.

Selama ini, ia selalu berpikir kata-kata cinta hanyalah sebuah metafora yang tak akan ia pernah lihat langsung dalam hidupnya. Bahkan ia tak pernah berpikir untuk mengalami metafora itu. Pernyataan seperti itu hanya ia lihat dari drama televisi, dan juga dari cerita romantis.

Di sana, ia selalu melihat kebahagiaan ketika kata-kata itu diucapkan. Tetapi, ia tak pernah tahu bahwa pernyataan seperti itu bisa terasa menyakitkan.

Bahkan, Adhara sekarang tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa melihat Menkalinan yang menangis keras seperti anak kecil.

“Nona, apa yang kau selipkan pada kerah Yang Mulia? Aku hanya ingin melihatnya. Aku mohon,” Mintaka tak malu merendahkan dirinya untuk memohon berkali-kali pada Adhara.

Namun Adhara hanya menggeleng. Ia juga tak tahu apa yang diberikan Spica padanya. Dalam kebingungannya, ia langsung memberikannya pada Aldebaran. Karena hanya Aldebaran yang ia percayai saat itu.

“Apa yang bisa kau lakukan jika kau tahu benda apa itu?"

Suara itu menyita perhatian mereka berdua, terutama Adhara. Seumur hidupnya di dunia novel ini, ia selalu menyukai suara dingin ini. Bagaimana datar dan tak berperasaannya suara ini, Adhara tetap merasa bahwa suara ini tak pernah berarti buruk untuknya.

Suara langkah kaki pelan namun mengancam membuat Menkalinan panik. Ia dengan tergesa-gesa mendekati Adhara. Menyeret Adhara untuk menjadi tameng dari seorang tamu tak di undang. Tubuh Menkalinan terasa dingin karena ketakutan.

“Lepaskan dia, Jenderal Menkalinan,” perintah absolut itu membuat getaran di tubuh Menkalinan menjadi-jadi.

“Atau mungkin aku harus memanggilmu dengan nama mu yang sebenarnya,” suara itu terdengar mengejek.

“Hamba mengakui kecerobohan hamba karena tak mampu menipu anda, Yang Mulia.”

Sosok Aldebaran yang menyatu dalam kegelapan perlahan tampak dengan jelas. Tubuh tingginya membentuk bayangan yang juga sama tinggi aslinya.

Eh, kenapa timingnya lebih mengerikan saat Aldebaran muncul daripada Menkalinan tadi?

“Lepaskan dia.”

Adhara menatap Aldebaran dengan kesal.

Kenapa kaisar bucin ini malah datang telat? Ia bahkan harus menerima tamparan dan todongan pedang dari orang tak waras ini. Adhara ingin memarahi, tetapi takut dengan kaisar es batu ini.

Bughh...

Pikiran Adhara kosong saat merasakan sentakan di belakangnya. Ia mengira jika pukulan itu mencapai tengkuk belakangnya, namun suara kesakitan itu datang dari Menkalinan. Dan seseorang meraih lengan Adhara untuk menjauh dari Menkalinan.

Regor!

“Saya minta maaf atas keterlambatan hamba, Nona.”

Dasar! Apa gunanya kau mengikutiku setiap hari, kalau kau juga lambat seperti boss-mu itu.

Tentu saja ia tak bisa mengomeli Regor secara langsung karena suaranya hilang.

Crasshhh…

“AAKKKHHH…!!!!”

Teriakan memilukan itu terdengar di seluruh penjuru ruangannya. Semua terjadi sangat cepat, hingga Adhara tak sadar bahwa Regor sudah melepaskan tali yang mengikat dirinya.

Mata Adhara terpaku pada adegan mengerikan di depannya.

Crasshhh….

Darah mengucur dari tempat pedang Aldebaran mendarat. Suara memilukan Menkalinan lagi-lagi terdengar. Menkalinan hanya bisa menatap tangannya yang ditusuk oleh Aldebaran dengan pedang.

“Beraninya kau….”

Adhara tak pernah melihat Aldebaran kehilangan kesabarannya. Pria ini cenderung dingin dan tenang. Pria ini selalu bertindak bersih, dan tak mau mengotori tangannya sendiri. Namun kali ini Aldebaran berbeda dari biasanya.

Tak hanya Adhara, Regor pun terlihat sangat terkejut dengan tindakan Aldebaran. Tanpa sadar, Regor berjongkok untuk menerima apa pun titah yang Aldebaran perintahkan padanya.

Mungkin inilah sebabnya mengapa Sirius, kaisar sebelumnya tak pernah mau berurusan dengan puteranya sendiri.

Pria ini adalah iblis yang tak terkendali. Tak ada yang tahu pikirannya, tak ada yang bisa menghentikan tindakannya.

“HA…MBA MEMINTA KER…ENDAHAN HATI… AKHHH!!!”

Aldebaran menekan ujung pedangnya tanpa mau memberi keringanan pada Menkalinan. Setelah itu, ia melirik sekilas pada Adhara yang terdiam di sudut ruangan. Mata mereka bertatapan sejenak, lalu Aldebaran yang pertama kali memutus pandangan mereka.

“Beritahu aku. Tangan mana yang kau gunakan untuk menamparnya?”

***

Terima kasih banyak untuk para reader yang masih setia dengan story ini 🙏

1
zainab rl
Harta, Tahta, dan Wanita ☺
zainab rl
izar ingin memiliki keluarga yg utuh bukan tahta..
zainab rl
🥰😍
zainab rl
mantaap., lanjuut
zainab rl
Antares mau cari kambing hitam.. Lawan Adhara.. 😐
zainab rl
drama yg mudah dibaca oleh Rigel 😅
zainab rl
sudah mulai terrbuka tabir rahasia masa lalu kaisar dan kerajaan markab
zainab rl
lanjutt.. kereeen ceritanya 🥰👍👍👍
zainab rl
Luar biasa🫶🫰⭐⭐⭐⭐⭐
zainab rl
menarik 🥰😍😘
zainab rl
ternyata regor..
zainab rl
ceritanya bagus sekali 👍👍
zainab rl
berlatih lah pedang agar bisa menjaga diri sendiri Andhara...
zainab rl
sang kaisar yg berkunjung.. ☺
zainab rl
naas buat regor,, 😂😂😂
Bzaa
😘🥰
Bzaa
cerita masa lalu yg bgtu memilukan
Bzaa
oooh ternyata bukan g star,
yg matanya terluka kan aldebaran, smga bener tebakan aku😊
Bzaa
OMG, apakah g-star? bukan aldebaran?
Bzaa
bodyguard bayangan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!