Sinopsis Singkat "Cinta yang Terlambat"
Maya, seorang wanita karier dari masa depan, terbangun di tubuh Riani, seorang wanita yang dijodohkan dengan Dimas, pria dingin dari tahun 1970-an. Dengan pengetahuan modern yang dimilikinya, Maya berusaha mengubah hidupnya dan memperbaiki pernikahan yang penuh tekanan ini. Sementara itu, Dimas yang awalnya menolak perubahan, perlahan mulai tertarik pada keberanian dan kecerdasan Maya. Namun, mereka harus menghadapi konflik keluarga dan perbedaan budaya yang menguji hubungan mereka. Dalam perjalanan ini, Maya harus memilih antara kembali ke dunianya atau membangun masa depan bersama Dimas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon carat18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 – Perangkap yang Dipasang
selamat membaca guys ❤️ 🐸 ❤️ ❤️ ❤️
*****
Riani berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Pikirannya masih dipenuhi ucapan Reza semalam. Jika benar Sinta sedang merencanakan sesuatu untuk menjebak Dimas, maka ini bukan hanya sekadar gangguan biasa—ini adalah perang.
Ia menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih. Pagi ini, ia harus bertindak lebih waspada. Bagaimanapun juga, rumah tangganya adalah hal yang paling berharga, dan ia tidak akan membiarkan seorang perempuan licik merusaknya.
Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Dimas masuk dengan wajah lelah. Riani menoleh dan tersenyum tipis, meskipun hatinya masih penuh kekhawatiran.
"Kamu baru pulang?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya.
Dimas mengangguk sambil melepas jam tangannya. "Iya, semalam ada kerjaan mendadak di kantor. Maaf nggak bisa kasih kabar lebih awal."
Riani mengamati wajah suaminya. Mata Dimas sedikit merah, jelas kurang tidur. Tapi yang membuatnya sedikit lebih tenang adalah bahwa suaminya pulang tepat waktu—tidak ada tanda-tanda ia pergi ke tempat lain selain kantor.
"Tidak apa-apa," jawab Riani pelan. "Kamu capek, istirahat saja dulu."
Dimas mengusap kepala Riani lembut. "Kamu baik-baik saja?"
Riani terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Baik."
Tapi dalam hatinya, ia tahu ia tidak baik-baik saja. Ia merasa ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang belum terlihat jelas tetapi bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.
Siang itu, Riani memutuskan untuk pergi ke kafe langganannya, tempat ia sering duduk sambil menulis jurnal atau membaca buku. Ia butuh waktu sendiri untuk berpikir, menyusun strategi, dan mencari tahu bagaimana cara menghadapi Sinta.
Namun, baru saja ia duduk di dekat jendela dan menyesap kopinya, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Lihat ini baik-baik, Riani. Jangan sampai kamu menyesal telah menikahi Dimas."
Hati Riani berdegup kencang. Ia menahan napas sebelum membuka lampiran yang dikirim bersamaan dengan pesan itu.
Begitu melihat foto yang muncul di layar, tangannya langsung gemetar.
Di foto itu, terlihat Dimas sedang duduk di sebuah restoran mewah, bersama seorang wanita. Dan wanita itu adalah Sinta.
Sinta tersenyum manis ke arah Dimas, sementara Dimas terlihat serius, seolah-olah sedang berbicara sesuatu yang penting. Tidak ada kontak fisik di antara mereka, tetapi siapa pun yang melihat foto itu bisa dengan mudah salah paham.
Riani merasakan kemarahannya membuncah.
Ia ingin percaya pada Dimas. Ia ingin percaya bahwa suaminya tidak mungkin mengkhianatinya. Tetapi foto ini cukup untuk menanamkan keraguan di hatinya.
Ia mencoba menenangkan diri, mengambil napas panjang, lalu mengetik balasan ke nomor tak dikenal itu.
"Apa maksudmu mengirimkan ini?"
Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Riani menatap layar ponselnya, menunggu, sampai akhirnya sebuah pesan lain masuk.
"Buka matamu, Riani. Dimas tidak sebaik yang kamu kira. Dia pria yang mudah tergoda. Aku hanya memberimu peringatan sebelum semuanya terlambat."
Riani mengertakkan giginya.
Tidak. Ia tidak akan langsung percaya hanya karena satu foto.
Dengan cepat, ia menghubungi Dimas. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya suaminya mengangkat telepon.
"Halo, Sayang? Ada apa?"
Nada suara Dimas terdengar biasa saja, tidak ada tanda-tanda bersalah.
"Kamu di mana sekarang?" tanya Riani langsung.
"Aku di kantor, kenapa?"
Riani menggigit bibirnya. Ia ingin menanyakan tentang foto itu, tetapi jika ia terburu-buru dan menuduh tanpa bukti, justru ia yang akan terlihat bodoh.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu," katanya akhirnya.
Dimas tertawa kecil. "Kamu rindu aku, ya?"
Riani hanya tersenyum tipis. "Iya. Pulang cepat, ya?"
"Pastinya."
Setelah menutup telepon, Riani kembali menatap foto di ponselnya. Ada sesuatu yang aneh. Jika ini adalah jebakan yang dibuat oleh Sinta, maka pasti ada tujuan tertentu di baliknya.
Ia harus mencari tahu lebih lanjut.
Malam harinya, Riani menunggu Dimas pulang dengan hati berdebar. Begitu suaminya masuk ke rumah, ia langsung bisa mencium aroma parfum khasnya.
"Kamu sudah makan?" tanya Dimas sambil membuka jasnya.
"Sudah. Kamu?"
Dimas mengangguk. "Aku makan sedikit di kantor tadi."
Riani menatap suaminya dengan hati-hati. "Di kantor saja?"
Dimas menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. "Iya. Kenapa?"
Riani ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto yang dikirimkan kepadanya tadi siang.
"Ada yang mengirim ini kepadaku," katanya pelan.
Dimas menatap layar ponsel, lalu mengernyit. "Apa-apaan ini?"
"Itu yang ingin aku tanyakan padamu," kata Riani, suaranya tetap tenang tetapi penuh ketegasan. "Kapan kamu bertemu Sinta?"
Dimas menghela napas, lalu duduk di sofa. "Aku memang bertemu dengannya dua hari yang lalu. Dia datang ke kantorku dan memaksa untuk bicara. Aku tidak ingin masalah ini berlarut-larut, jadi aku menemuinya sebentar di restoran dekat kantor. Tapi aku janji, aku tidak melakukan hal yang kamu pikirkan."
Riani memperhatikan ekspresi suaminya. Tidak ada kebohongan dalam sorot matanya, tetapi itu tidak berarti bahwa ia bisa langsung percaya begitu saja.
"Apa yang dia bicarakan denganmu?" tanyanya lagi.
Dimas menatap Riani, lalu menjawab dengan suara serius, "Dia bilang dia masih mencintaiku dan ingin aku meninggalkanmu."
Riani mengepalkan tangannya. "Lalu?"
Dimas mengusap wajahnya. "Aku menolaknya, tentu saja. Aku bilang aku mencintaimu dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Setelah itu, aku pergi."
Riani terdiam. Ia ingin percaya pada suaminya, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal dalam pikirannya.
"Kenapa kamu tidak memberitahuku soal ini sebelumnya?" tanyanya dengan suara lebih pelan.
Dimas terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak ingin kamu khawatir. Aku pikir setelah aku menolaknya, masalah ini akan selesai."
Riani menatap suaminya dengan tajam. "Masalah ini tidak akan selesai semudah itu, Dimas."
Dimas menghela napas. "Aku tahu. Aku sudah salah karena tidak memberitahumu dari awal. Aku minta maaf."
Riani ingin marah, tetapi ia juga tahu bahwa Dimas berada dalam posisi sulit. Ia tidak bisa langsung menyalahkan suaminya tanpa bukti lebih lanjut.
Akhirnya, ia hanya berkata, "Aku tidak akan membiarkan Sinta menang."
Dimas menatapnya dengan mata penuh kepercayaan. "Aku juga."
Di dalam hatinya, Riani tahu bahwa ini baru permulaan. Jika Sinta benar-benar berniat menghancurkan rumah tangganya, maka ia harus bersiap menghadapi lebih banyak rintangan ke depannya.
Dan kali ini, ia tidak akan tinggal diam.
*****
Terima kasih sudah membaca guys ❤️🐸❤️❤️❤️❤️❤️