"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Syifa berdiri di ambang pintu kamarnya, terpaku tanpa kata.
Ruangan di hadapannya begitu luas. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu gantung kristal berkilauan yang memantulkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan. Dinding-dindingnya berwarna netral, hangat dan elegan, berpadu indah dengan lantai parket kayu yang mengilap. Sebuah ranjang besar dengan kanopi tipis berdiri megah di tengah ruangan, dengan seprai putih bersih dan bantal-bantal empuk yang tertata rapi.
Di sudut ruangan, terdapat sebuah sofa panjang dengan meja kecil, seolah memberikan ruang untuk membaca atau sekadar bersantai. Di sebelahnya, tirai beludru tebal menggantung di depan jendela besar yang menghadap ke taman belakang, tempat lampu-lampu taman berkelap-kelip dalam keheningan malam.
Syifa melangkah pelan, hampir tak percaya bahwa semua ini nyata.
Dia membuka pintu di sebelah kiri kamar, dan matanya membesar lagi saat melihat walk-in closet dengan rak-rak sepatu dan tas, laci aksesori, dan gantungan baju yang seolah menunggu untuk diisi. Di satu sisi, ada meja rias besar dengan lampu-lampu kecil mengelilingi cerminnya.
Syifa mengelus permukaan meja itu pelan, jari-jarinya menyentuh bahan marmer dingin yang mulus. “Ini sangat mewah."
Rasa takjubnya belum berhenti di situ. Dia melangkah ke pintu berikutnya dan menemukan kamar mandi pribadi. Lagi-lagi, ukurannya jauh di luar perkiraannya. Kamar mandi itu dilapisi marmer putih dengan aksen emas. Di tengah ruangan, terdapat bathtub besar berbentuk oval dan di sudut lainnya ada shower box transparan lengkap dengan fitur-fitur modern. Sebuah wastafel ganda berdiri megah, lengkap dengan cermin panjang dan perlengkapan mandi mahal.
Syifa berdiri di tengah kamar mandi, menatap pantulannya di cermin.
“Ini sungguh terlalu mewah untukku…”
Dia duduk di pinggir bathtub, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Beberapa jam yang lalu, dia masih merasa seperti gadis yatim yang tak punya masa depan dan tak punya pilihan. Kini, dia berada di rumah seperti istana, di kamar yang tak pernah dia bayangkan akan dimiliki.
Syifa menarik napas dalam-dalam. Ada ketakutan, ada harapan, dan ada rasa penasaran yang semakin tumbuh. Dia belum sepenuhnya mengenal Sadewa, belum tahu apa yang sebenarnya membuatnya mau menikahi perempuan sepertinya.
Tapi satu hal yang membuat Syifa sedikit lega, Sadewa tidak menuntut apapun darinya malam ini. Dia diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan.
***
Setelah membersihkan diri, dia mengenakan baju tidur panjang yang telah disiapkan di tempat tidur. Dia membuka tirai dan menatap ke taman belakang, melihat cahaya bulan yang tenang memantul di permukaan air kolam kecil.
"Sepertinya aku harus menanyakan banyak hal pada Mas Dewa. Aku penasaran sekali siapa sebenarnya dia? Apa dia memiliki perusahaan?
Dia mengambil hijabnya yang terlipat rapi di sofa dan memakainya. Kemudian dia keluar dari kamar dan menuruni tangga besar yang menghubungkan lantai atas dengan lantai dasar.
Suasana rumah sangat hening, hanya ada suara jam berdetak pelan dan gemericik air dari taman. Syifa melangkah perlahan, mengikuti cahaya samar yang mengarah ke satu ruangan di sisi kanan. Di sana, di balik kaca besar yang memisahkan ruang kerja dari lorong utama, dia melihatnya.
Pria itu duduk tegak di kursi hitam berdesain modern, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Kacamata tipis terpasang di wajahnya, dan cahaya dari layar laptop memantul di matanya yang fokus. Jari-jarinya sibuk mengetik, sesekali menghentikan gerakan untuk membaca sesuatu di layar.
Syifa berhenti melangkah. Matanya terpaku.
Wajah Sadewa terlihat serius, namun memancarkan pesona tenang yang tak bisa diabaikan. Di balik kaca itu, pria yang kini menjadi suaminya tampak begitu berbeda. Bukan sekadar lelaki misterius yang mengajaknya menikah tiba-tiba… Tapi seseorang yang terlihat sangat tampan.
Tanpa sadar, Syifa memegangi dada kirinya. Degup jantungnya mulai tak menentu. Dia buru-buru mengalihkan pandangan karena dia belum pernah menatap pria terlalu lama.
Tapi Sadewa kini telah menjadi suaminya. Halal. Dia tak perlu menunduk atau merasa berdosa karena menatapnya.
Syifa kembali menatapnya. Dia terus menatap ke arah Sadewa yang masih sibuk. Bibirnya tergerak tanpa suara.
"Tampan..." gumamnya pelan.
Namun ternyata, Sadewa menyadarinya.
Seolah bisa merasakan tatapan itu menembus kaca, dia mendongak. Tatapan mereka bertemu. Sorot matanya tak berubah, tetap tenang, tapi kini mengarah langsung pada Syifa.
“Ada apa?” tanyanya dengan jelas, dari balik kaca.
Syifa tersentak. Pipi yang tadi hangat, kini memerah sempurna. "Hmm, aku mau bicara."
Sadewa tersenyum lalu berdiri. Dia membuka pintu kaca itu dan mendekati Syifa yang kini kembali menunduk. "Kamu tidak bisa tidur?"
Syifa menggeleng pelan. "Apa aku boleh tahu banyak hal tentang Mas Dewa."
Sadewa terdiam beberapa saat. Dia sedikit membungkuk agar wajahnya sejajar dengan Syifa. "Kalau kamu mau tahu banyak hal tentangku, tidurlah di kamarku."
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔