Devan Arenra Michael adalah Laki-laki berumur 21 tahun yang menyukai sahabatnya sejak tiga tahun yang lalu. Takut ditolak yang berujung hubungan persahabatan mereka hancur, ia memilih memendamnya.
Vanya Allessia Lewis, perempuan dengan sejuta pesona, yang sedang berusaha mencari seorang pacar. Setiap ada yang dekat dengannya tidak sampai satu minggu cowok itu akan menghilang.
Vanya tidak tahu saja, dibalik pencarian dirinya mencari pacar, Devan dibalik rencana itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Citveyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 1 Ternyata Prank
Dokter keluar dari ruang UGD dengan helaan nafas panjang. Keluarga pasien yang ia tangani belum datang juga, katanya mereka masih diperjalanan.
"Bagimana keadaan putri saya dok?"
Dokter itu berhenti melangkah saat sudah ingin pergi dari area ruangan itu.
"Kalian siapa?"
"Saya orang tua dari pasien yang dokter tangani."
"Putri? Di dal----"
"Jawab saya keadaan putri saya gimana?!" Potongnya dengan wajah frustasi.
Terdengar helaan nafas dari Dokter itu. "Mohon maaf kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya."
"Gak mungkin putri saya meninggal!" Teriak Denis menggelegar. "Anda bohong kan? Jawab saya!" Denis sudah menarik kerah baju dokter itu, sudah bersiap-siap memberi bogeman.
"Jangan membuat keributan Pak," Tahan Scurity.
"Putri saya gak meninggal, lepasin saya!"
Devan tak bertenaga lagi ingin memisahkan Denis. Dirinya langsung terduduk dengan lemas setelah mendengar penuturan dokter itu.
"Gue gak bisa tahan semua ini Dev, rasanya gue pengen mati aja."
Devan menangis mengingat perkataan Vanya dulu. "Vanya." Gumamnya dengan perasaan sesal.
Devan meremas rambutnya frustasi, menyalahkan dirinya karena tak bisa menyelamatkan Vanya. Sedangkan kondisi disana semakin memanas karena Denis tak menerima putrinya meninggal.
"Pak Denis? Ini kenapa ya?" Tanya Doker Arya, dokter yang pernah menangani Vanya saat Vanya dinyatakan Koma.
"Dokter Arya, Vanya gak mungkin meninggal, dia gak mungkin ninggalin saya," Lirih Denis tak bertenaga. Ia bahkan sudah jatuh terduduk dihadapan dokter Arya.
"Vanya kenapa?"
Pertanyaan dokter Arya tidak di jawab lagi karena ruang UGD terbuka menampilkan orang yang seluruh badannya tertutup oleh kain.
"Vanya!" Denis mendekat kemudian memeluk putrinya. "Putri saya gak meninggal Dok!"
"Maaf kami akan memindahkan jenazahnya."
"Gak, putri saya gak meninggal!"
Denis membuka kain itu namun sepersekian detik tangisnya langsung berhenti.
"Putri saya kemana?"
Denis bingung sendiri karena orang yang ada di atas brankar itu bukanlah putrinya melainkan nenek yang umurnya lebih dari Denis.
"Lah saya juga bingung tadi bapak bilang yang didalam itu putri bapak."
"Kenapa anda gak ngomong?!" Gregetnya ia jadi malu sendiri jadinya.
Devan mendekat karena mendengar perdebatan Denis. Devan merasa ada yang tidak beres dengan semua ini.
"Gimana saya mau ngomong, bapak tadi potong pembicaraan saya," Dokter itu membela diri.
"Terus putri saya di mana?"
"Kamu nanya? Mana saya tahu," Sewot dokter itu kemudian mengisyaratkan pada perawat agar membawa jenazahnya. Sudah kepalang kesal pada Denis jadi ia memilih pergi.
Suara dering ponsel terdengar membuat Denis cepat-cepat membuka ponselnya.
"Halo,"
"Halo Pak, maaf pak kami mau memberitahukan kalau non Vanya ada di rumah sakit Bina sakti. Kami membawa ke rumah sakit itu karena non Vanya sempat kejang-kejang sehingga kami memutuskan membawa Non Vanya ke rumah sakit terdekat."
"Kenapa kamu baru ngabarin saya!"
"Maaf pak, saya baru menemukan Hp saya."
"Ya sudah tunggu saya di sana,"
Denis menutup telfonnya dan menatap dokter Arya dengan tatapan malu. Dirinya sempat meraung-raung tapi pada akhirnya ini semua hanyalah Prank. Benar-benar memalukan, mana banyak yang nonton lagi.
"Gimana pak, Vanya sudah di temukan?"
Denis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maafin saya dok, ternyata saya salah rumah sakit."
Dokter Arya terkekeh, ia menepuk bahu Denis. "Gak papa, lain kali pak Denis harus mendengarkan orang lain bicara dulu, jangan langsung menyimpulkan begitu saja."
"Hehehe iya dok."
•••
Devan bersykur ternyata Vanya masih hidup. Ia tidak bisa membendung kebahagiaanya dan berjanji setelah Vanya sehat ia akan ke panti asuhan. Tentu saja sebagai rasa bersyukurnya.
Sampai di rumah sakit Bina sakti, Denis langsung memukul satu persatu Bodyguardnya. Devan yang melihat itu hanya meringis kecil. Ia yang bukan Denis saja sudah malu sekali karena telah salah orang, mana orang yang di kira putrinya adalah Nenek-nenek lagi. Malunya itu loh, pasti selalu diingat.
"Gara-gara kalian saya jadi malu!"
"Malu kenapa pak?"
Denis memberi pelolotan tajam pada yang bertanya itu. "Karena saya mengira orang yang meninggal itu adalah Vanya tapi ternyata itu adalah nenek-nenek."
Bodyguard Denis menahan tawanya mendengar perkataan majikannya.
"Malah ketawa lagi, sana pergi carikan saya makanan sama Devan," Usirnya.
"Iya Pak,"
"Gaji kalian saya potong baru tahu rasa kalian,"Cetus Denis merasa kesal pada anak buahnya.
Dokter yang menangani Vanya keluar. Denis dan Devan langsung mendekat karena sudah sangat penasaran bagaimana keadaan Vanya.
"Gimana keadaan putri saya dok?"
"Syukurlah putri anda cepat-cepat di larikan ke sini karena lambat sedetik saja saya tidak tahu bagaimana keadaan Vanya."
"Pendarahan di tangannya sudah berhenti, kita tinggal menunggu putri anda siuman. Boleh saya mengusulkan sesuatu pada anda?"
"Boleh dok."
"Saya sarankan bawa putri anda pergi dari kota ini untuk sementara waktu. Saya taku kondisi putri anda semakin buruk jika ia tetap masih di tempat ini. Dia butuh tempat baru untuk beradaptasi, jadi saya berharap kalian bisa mempertimbangkan pendapat saya."
Denis terdiam, yang di katakan dokter dihadapannya ini sebenarnya sudah ia pikirkan jauh-jauh hari. Ia tentu tak mau Vanya seperti ini lagi. Mungkin membawa Vanya pergi dari sini adalah jalan satu-satunya.
"Saya sudah memutuskan membawa Vanya pergi dari sini."
Devan duduk termenung di depan ruang rawat inap Vanya. Ini sudah lewat dua jam Vanya masih belum siuman, dan Devan tentu tak ingin pergi sebelum ia melihat Vanya membuka matanya.
Vanya akan di bawa pergi setelah siuman. Itu berarti jika Vanya siuman malam ini, artinya Vanya sudah di bawah pergi besok pagi. Devan tak siap untuk berjauhan dengan Vanya.
"Mikirin Vanya ya?"
Devan tersenyum tipis melihat Denis yang tiba-tiba mengagetkannya.
"Mau dengar cerita tentang Vanya?"
"Mau Om," Ucapnya cepat.
Denis terkekeh, ia sudah menduga sejak lama kalau Devan menyukai Vanya. Devan memang galak pada putrinya namun Denis tahu kalau Devan menyimpan beribu rasa sayang pada putrinya itu.
"Istri saya di angnosis sulit mendapatkan anak. Tapi saya tak pernah sedikitpun punya niat untuk meninggalkannya. Kami terus berusaha dan ternyata tuhan mendengarkan doa kami. Vanya tumbuh di rahim istri saya sekitar 6 tahun pernikahan kami,"
Denis mengingat masa di mana dirinya berjuang keras bersama istrinya.
"Kami sangat bahagia dan menanti Vanya dengan sabar. Dan saat Vanya lahir istri saya dinyatakan tidak bisa memiliki anak lagi. Tapi kami tetap bersykur karena Vanya sudah hadir di tengah-tengah kami,"
"Saya dan Wijaya bersahabat dari SMA. Tentu Vanya dan Alka sering bertemu karena Wijaya pernah tinggal di dekat rumah kami. Alka dan Vanya saling menyayangi, tapi pada saat Vanya berumur 10 tahun, kami memutuskan pindah rumah karena kedua orang tua saya menginginkan Vanya tinggal di sana,"
"Pada saat SMP Vanya sering di Bully, tapi dia tak mau jujur pada saya. Karena kesempurnaanyalah Vanya jadi di Bully sehingga mengakibatkan Vanya jadi Trauma. Untungnya Trauma Vanya cepat pulih sehingga kami memutuskan untuk memindahkan Vanya dan kembali kesini. Mungkin Vanya memilih jadi Pembully karena merasa menjadi Pembully lebih baik daripada menjadi korban."
Devan mengangguk -anggukan kepalanya sudah mengerti.
"Kamu harus janji sama saya," Denis memegang tangan Devan dan menatap laki-laki itu dengan serius. "Kamu harus datang dan perjuangkan putri saya."
•••
Devan memasuki kamar inap Vanya. Devan merasa bersykur karena tuhan masih baik pada Vanya. Ia mengelus tangan Vanya kemudian mengecupnya. Tak ada salahnya bukan kalau ia melakukan hal itu, toh Denis sendiri sudah memberikan restu padanya.
"Lo kok bego banget mau bunuh diri? Kenapa gak langsung ke gue aja, biar langsung gue bawa lo ke jurang."
Devan mengelus pipi Vanya yang sudah semakin tirus. Devan kesal pada pemilik tubuh ini karena gara-gara ia pipi kesukaan Devan jadi tidak terawat seperti ini.
"Dasar bego, pipi lo jadi gak gembul lagi kan. Kalau lo sudah ada di sana besok, makan yang banyak dan buat pipi kesukaan gue jadi kayak dulu, ingat ya,"
"Kenapa sih lo mau bunuh diri? Sesempit itukah pemikiran lo? Woi bangun dong kalau gak mau gue cium nih,"Ancamnya namun setelah itu ia terkekeh karena telah berbicara sendiri.
Devan terdiam sesaat memandang Vanya. Dirinya akan berpisah dengan Vanya untuk waktu yang lama. Devan frustasi karena rasanya kepalanya hampir pecah memikirkan Vanya.
"Gue cium aja deh lo. Kan Om Denis sudah kasih lampu hijau sama gue."
Devan mendekat dan berhenti sesaat menatap Vanya yang masih belum siuman. Ia memiringkan kepalanya dan bibirnya sudah berhasil menyentuh bibir pucat milik Vanya.
Cup
"Ini tanda kalau lo milik gue sekarang."