Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 - Sebuah Perjanjian
Malam itu, tepat pukul delapan, Tari menerima pesan dari salah satu pelayan bahwa Bu Tirta menunggunya untuk makan malam pribadi di ruang makan kecil lantai satu. Ia sempat mengira itu akan menjadi momen berdua yang canggung, namun saat ia memasuki ruangan, ia mendapati Gilang juga sudah duduk di sana, tepat di seberang kursi kosong yang disediakan untuknya.
Ruang makan itu lebih hangat dan intim dibandingkan ruang makan utama. Meja bundar dari kayu mahoni tua, taplak renda putih bersih, dan lampu gantung kecil dengan cahaya kuning redup yang memberikan kesan rumah daripada istana.
“Duduk, Tari,” ujar Bu Tirta, tersenyum tipis dengan nafa setengah memerintah.
Tari duduk pelan. Gilang hanya menoleh singkat dan mengangguk kecil, tanpa senyum, seperti biasa.
Beberapa menit pertama hanya diisi suara alat makan dan deru lembut AC. Sup hangat, daging pangganh, dan tumis sayuran memenuhi meja makan. Makanan rumahan dengan cita rasa mewah.
“Kamu terlihat lelah,” ujar Bu Tirta memecah keheningan, menatap Tari.
“Banyak yang harus di pelajari,” jawab Tari sopan.
“Dan kamu akan belajar dari yang terbaik.” Bu Tirta melirik Gilang, wajahnya menampilkan rasa bangga yang tidak ia sembunyikan.
“Gilang ini,” lanjutnya, “Sudah aku didik sejak kecil. Dia itu anak yang sangat tekun. Dulu, waktu seusiamu, dia lebih memilih membaca laporan keuangan perusahaan ketimbang pergi liburan.”
Gilang tak bereaksi. Ia hanya menyuap makanannya tanpa komentar.
“Dia lulus S2 dengan predikat summa cum laude dari Amerika. Semua orang bilang aku beruntung mendapatkannya. Tapi aku tahu itu bukan soal keberuntungan. Itu karena kerja kerasnya.”
Tari melirik Gilang sejenak. Ia teringat sesi pelatihan hari ini—cara Gilang menjelaskan, fokusnya, penguasaannya terhadap semua data yang nyaris mustahil ia hafal dalam waktu singkat. Kini, mendengar cerita dari Bu Tirta, ia bisa melihat dari mana semua itu berasal.
“Makanya, saya tidak ragu menaruh kamu di bawah bimbingannya,” sambung Bu Tirta. “Kalau kamu sungguh-sungguh, kamu bisa menyusul Gilang.”
Tari hanya tersenyum kecil. “Aku akan berusaha.”
Beberapa saat kemudian, Bu Tirta berkata pelan namun tegas, “Kalau kamu nyaman… kamu bisa mulai memanggilku Eyang.”
Tari kaget, lalu menunduk. “Kalau itu… masih belum terbiasa, Bu.”
Gilang sempat menoleh sekilas ke arah Tari, tapi tak berkata apa-apa.
Tirtamarta hanya mengangguk pelan, tidak menunjukkan kekecewaan. “Itu wajar. Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi ketahuilah, kamu boleh memanggilku apa pun yang kamu mau, asalkan kamu tidak menjauh.”
“Terima kasih… Bu,” ujar Tari pelan.
Wanita itu tersenyum lagi. “Lidahmu akan terbiasa. Dan hatimu… menyusul.”
Makan malam pun berlanjut dengan beberapa potongan percakapan ringan. Tirtamarta kadang menceritakan masa kecil Intan, ibunda Tari, dan menyelipkan sedikit cerita tentang bagaimana Gilang dengan sabarnya menemaninya dalam mengurus perusahaan saat tak ada siapa-siapa lagi.
Tari lebih banyak mendengar, menyimpan banyak hal dalam hati. Di seberangnya, Gilang tetap tenang, fokus pada makanan, dan hanya berbicara ketika ditanya.
Namun Tari bisa melihat bahwa hubungan mereka—Gilang dan Bu Tirta—bukan hanya soal perintah dan kepatuhan. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks. Seperti keluarga, tapi tidak utuh.
Dan untuk pertama kalinya, Tari merasa dirinya adalah orang ketiga yang berdiri di ambang dua dunia: yang satu, darah dan warisan; yang lain, dedikasi dan pengorbanan.
Ia belum tahu ke mana dirinya akan berpijak.
Tapi malam itu, di meja makan yang hening namun penuh makna, ia tahu satu hal—ia tak bisa kembali ke hidupnya yang lama.
Tari dan Gilang menaiki tangga menuju kamar, Tari menatap ke arah belakang. Sudah cukup sepi untuk meluruskan masalah 160 juta. Tari berjalan cepat agar sejajar dengan Gilang, “Masalah uang tadi.”
Gilang menghentikan langkahnya, “Itu bukan masalah.” Ia lalu menoleh ke arah Tari, “Uang segitu tidak akan ada artinya saat kamu sudah menjadi Chief.”
Tari mendongakan kepalanya agar bisa melihat wajah Gilang, “Tapi sekarang aku bukan chief dan bagiku itu uang yang banyak.”
“Lalu, apa maumu?” Tanya Gilang.
”Aku akan membayarnya. Aku hanya ingin mengclearkan bahwa itu sebuah hutang.”
“Gilang mengangguk, baiklah itu hutang. Dan akan berbunga setiap minggunya.” Gilang melipat tangan didada.
”Maksudmu?” Tanya Tari.
”Kamu harus membayarnya dengan bunga. Bukan bentuk persenan uang. Aku mau kamu melakukan apa yang aku suruh.”
Seketika Tari menyesal dengan harga dirinya, untuk apa dia memastikan kalau itu hutang. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Ia menelan ludah. “Ini sedikit tidak adil.”
Gilang tersenyum, “Dunia tak pernah adil Tari. Bagaimana kamu mau menganggap ini hutang? Atau anggap saja aku memberimu uang yang belum kau miliki.”
Tari menggelengkan kepalanya, “Tidak ini hutang, kamu bisa menyuruhku apa saja satu kali seminggu sampai terbayar.”
Gilang menyodorkan tangannya, “Deal?”
Tari mengerjapkan mata, menjabat jemari lentik itu, “Deal.”
Tari tak tahu, bahwa perjanjian inilah awal dari kisah cintanya yang melelahkan.