Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Setelah pamit dari Nusa Rasa, Luna melangkah keluar bersama Vivi. Tepat di depan restoran, mobil hitam milik Renzo sudah terparkir rapi.
"Terima kasih, Luna. Semoga kamu tidak keberatan jika besok-besok akan sering bertemu denganku?!"
Luna tersenyum. "Aku yang seharusnya berterima kasih, Mbak. Sudah di sambut dengan baik, bahkan di sediakan makanan-makanan tadi."
Luna melambai kecil ke arah Vivi sebelum masuk ke mobil. Renzo menatap perempuan itu sebentar sebelum melajukan kendaraannya.
Tapi Vivi terlihat masih memandangi mobil mereka yang sudah melaju.
.
"Itu dia klient barumu?" tanya Renzo, matanya tetap lurus ke jalan.
Luna mengangguk. "Iya, namanya Vivi. Dia ramah dan cukup hangat. Memang agak rewel, tapi itu wajar untuk klien besar."
"Hmm." Renzo hanya mendengus pelan, tangannya mengetuk-ngetukkan jari ke setir.
Luna meliriknya. "Kenapa? Kamu terlihat tidak suka padanya."
"Bukan tidak suka. Aku hanya merasa ada yang aneh."
Luna menghela napas. "Biasanya klien wanita memang lebih banyak maunya, tidak semua orang bisa langsung cocok dengan cara kerja kita."
Seperti tahu apa yang menjadi kekhawatiran kekasihnya dengan cepat Luna menambahkan ucapannya. "Tenang saja, aku yakin dia orang baik. Mana mungkin pemilik restoran mewah seperti itu orang jahat?"
"Kau tahu tidak semua orang itu baik. Tetaplah jaga diri."
.
.
Setelah perjalanan yang cukup tenang, mereka akhirnya tiba di apartemen Renzo. Luna langsung duduk di sofa, sementara Renzo menuju dapur, mengambil air putih dan beberapa perban.
"Kemarilah," panggilnya, duduk di samping Luna.
Luna mengernyit. "Kenapa?"
Renzo menatap perutnya. "Lukamu. Aku mau mengganti perbannya."
Luna tertawa kecil. "Aku bisa sendiri, Sayangku."
Renzo menatapnya tajam. "Duduk diam."
Luna akhirnya pasrah. Renzo dengan hati-hati membuka kancing baju bagian bawahnya, memperlihatkan perban di sekitar perutnya yang sudah agak longgar.
Saat jarinya menyentuh kulit Luna, gadis itu sedikit menggigit bibir. Entah karena perih atau karena sentuhannya terasa begitu lembut dan penuh perhatian.
"Masih sakit?" tanya Renzo dengan suara rendah.
Luna menggeleng. "Tidak separah sebelumnya."
Renzo membuka perban lama, menggantinya dengan yang baru. Tangannya sangat terampil, seperti sudah terbiasa melakukan ini.
"Lukamu sudah mulai membaik. Tapi jangan banyak bergerak dulu," ucapnya sembari menempelkan plester terakhir.
Luna tersenyum kecil. "Baik, dokter Renzo."
Pria itu menghela napas, menatapnya dalam-dalam. "Aku serius, Luna."
Luna mengangguk, lalu tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke bahu Renzo. "Terima kasih, Renzo. Aku selalu merasa aman bersamamu."
Renzo mengusap lembut rambutnya. "Dan aku akan selalu memastikan kamu aman."
Suasana hening sejenak, hanya suara napas mereka yang terdengar. Jarak diantara mereka yang sangat dekat membuat suasana semakin memanas.
Bermula dari Renzo yang mulai mengecup kening Luna, turun ke pipi nya dan kemudian bibirnya. Luna mencengkram punggung Renzo saat kecupan itu berubah menjadi cium4n panas mereka di sore hari.
Renzo melepaskan satu per satu kancing baju Luna yang separuhnya sudah terbuka tadi, terlihat jelas dalaman Luna berwarna merah yang tertutup kemeja hitamnya.
Tangannya dengan halus menyusuri punggung Luna serta membuka kaitan dalaman Luna.
"Pelan-pelan, ya." ucap Luna lirih di telinga Renzo.
"Yesss, aku akan menikmatinya dengan penuh perasaan agar kamu juga merasakan yang sama." entah titik mana yang terlewat dari bibir Renzo, sepertinya tidak ada.
"Bolehkah aku meninggalkan bekas cintaku di sini?" tunjuk Renzo pada gundukan Luna.
Luna mengangguk malu-malu.
Lama sekali mereka tidak merasakan hal semacam ini lagi setelah melewati masalah-masalah yang ada. Rasa sakit di perut Luna seakan hilang saat Renzo membawanya terbang melayang, begitu juga dengan Renzo yang tak kuasa menahannya.
.
Mereka berdua terlelap tanpa busana di ranjang yang berantakan. Baju-baju mereka yang berserakan di lantai juga ponsel mereka yang sedari tadi berbunyi.
Renzo mendekap Luna di dadanya yang hangat, rambut Luna yang terurai panjang dan aroma wanginya membuat Renzo kecanduan.
Mata Renzo masih fokus pada wajah mungil Luna yang sempurna. Hidungnya yang mancung dan kulitnya sangat bersih serta bibirnya yang menggemaskan.
"Kalau aku berani menyatakan impianku denganmu, apa kira-kira kamu akan menerimaku? Aku ingin menikahimu, Luna!" ucapnya sangat lirih.
"Mau!!" jawab Luna cepat dengan mata tertutup.
Renzo sontak terkejut dan memundurkan sedikit badannya. "Jadi kamu dari tadi nggak tidur?"
Luna terkekeh. "Tidur, tapi aku langsung mendengar apa yang kamu ucapkan. Jadi kapan kamu mau menikahiku, Om?"
Gemas dengan perilaku Luna, Renzo menciumi lehernya sampai dia tak bisa menahan geli tawa.
.
Tiba-tiba, Luna merasakan sesuatu yang aneh di perutnya. Sebuah nyeri menusuk perlahan muncul di sekitar lukanya. Wajahnya yang semula berseri-seri mendadak menegang.
"Sayang…" suaranya lirih, kedua tangannya berusaha meraih perutnya yang terasa panas dan berdenyut nyeri.
Renzo yang masih mendekapnya langsung tersadar. "Luna? Apa yang terjadi?"
Luna menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang mendadak datang. "Perutku… lukanya terasa sakit," ujarnya dengan napas yang mulai tidak teratur.
Renzo segera bangkit dan menyalakan lampu kamar. Mata tajamnya langsung meneliti area perban di perut Luna. Seolah waktu melambat, ekspresinya berubah drastis ketika melihat bercak merah yang mulai merembes ke kain putih itu.
"Luna, lukamu berdarah lagi," suaranya penuh kekhawatiran.
Luna mencoba duduk, tapi justru meringis kesakitan. "Aduh… mungkin aku terlalu banyak bergerak tadi."
Renzo mendesah, rasa bersalah menyelimutinya. Dia buru-buru turun dari ranjang, meraih kotak P3K dari laci.
"Aku akan mengganti perbanmu," katanya cepat, tanpa memberi Luna kesempatan menolak.
Luna hanya bisa pasrah, membiarkan Renzo duduk di tepi ranjang dan dengan hati-hati membuka perban lama. Rasa perih langsung menyerangnya, tapi lebih dari itu, dia bisa merasakan kelembutan dalam setiap gerakan Renzo.
"Maaf seharusnya aku lebih berhati-hati."
Luna tersenyum kecil meskipun menahan sakit.
Setelah perban baru terpasang, Luna mulai merasa lebih baik. Namun, ketika dia hendak bersandar di dada Renzo, ponsel Renzo tiba-tiba bergetar di meja samping ranjang.
Renzo mengerutkan kening, meraihnya, lalu membaca nama di layar.
"Johan?"
Renzo mengangkat telepon dan mendengar suara Johan di seberang sana, terdengar tegang.
"Tuan, kita ada masalah. Aku butuh Anda segera ke kantor. Ini mendesak."
Renzo melirik Luna yang masih terlihat lelah. Dia mengusap punggung tangannya, lalu menjawab, "Aku harus segera ke kantor."
Begitu panggilan berakhir, Luna menggenggam tangan Renzo erat. "Pergilah. Aku akan baik-baik saja."
Renzo menatapnya dengan sedikit ragu. Tapi akhirnya, dia mengecup puncak kepalanya sekali lagi sebelum bangkit. "Aku akan kembali secepatnya. Mau titip apa saat aku kembali nanti?"
"Cheese Burger."
Ia melayangkan kecupan manis sebelum meninggalkan Luna pergi.
"Apa yang begitu mendesak hingga Johan menelpon malam-malam begini?" gumam Luna, dia merasa firasat buruk sedang mengintai?