Keira Maheswari tak pernah menyangka hidupnya akan berubah begitu drastis. Menjadi yatim piatu di usia belia akibat kecelakaan tragis membuatnya harus berjuang sendiri.
Atas rekomendasi sang kakak, ia pun menerima pekerjaan di sebuah perusahaan besar.
Namun, di hari pertamanya bekerja, Keira langsung berhadapan dengan pengalaman buruk dari atasannya sendiri.
Revan Ardian adalah pria matang yang perfeksionis, disiplin, dan terkenal galak di kantor. Selain dikenal sebagai seorang pekerja keras, ia juga punya sisi lain yang tak kalah mencolok dari reputasinya sebagai playboy ulung.
Keira berusaha bertahan menghadapi kerasnya dunia kerja di bawah tekanan bosnya yang dingin dan menuntut.
Namun, tanpa disadari, hubungan mereka mulai membawa perubahan. Apakah Keira mampu menghadapi Revan? Atau justru ia akan terjebak dalam pesona pria yang sulit ditebak itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teddy_08, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Kebohongan
Keempat orang yang sedang duduk di restoran milik Revan itu dengan raut wajah tegang. Mereka terlibat adu argumentasi.
Sejauh ini Keira lebih unggul dari mereka semua. Meski dianggap remeh sebagai yang usianya paling muda. Tidak menyulutkan emosi Keira ketika tahu suaminya diremehkan di depan umum. Terlebih di tempat usaha miliknya sendiri.
"Begini Keira, aku jujur sama kamu di depan semua. Oke, aku mengaku bersalah. Tapi itu semata-mata aku tidak rela kalau kamu dipermainkan oleh pria hidung belang seperti Revan," sanggah Bramantyo mengelak.
Revan merasa dirinya amat buruk di depan Keira. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan dan menghela napas panjang sebelum ikut berbicara.
Revan memang tipe arogan. Tapi kali ini, ia memilih berpikir dulu sebelum berbicara, atau ia akan kehilangan Keira untuk selamanya.
"Tidak ada manusia yang sempurna Pak Bram," sahut Keira sambil mencebikkan bibirnya.
"Ya. Saya paham. Tapi apa kamu tahu kalau si Revan ini adalah buaya, tidak ada satupun wanita yang dia anggap serius. Hanya sekali pakai. Ibaratnya kalau baju seperti itu," ujarnya berniat mempermalukan lawan bisnisnya.
"Itu jika ia tidak menikahi saya," balas Keira cepat dengan raut kesal.
Saking geramnya, Revan menggebrak meja hingga cangkir yang berada di atasnya terlempar berserak di lantai.
BRAAK!
"Sudah ngomongnya!" teriak Revan.
Wajahnya sudah seperti kepiting rebus. Mengingat sedari tadi ia dipermalukan oleh wanita simpanannya dan juga mantan rekan bisnisnya.
"Sabar, dong Revan! Mungkin ini salah paham, kita selesaikan baik-baik," sergah Bram yang terlanjur menanggung malu sebab Keira membelanya.
"Oke, aku emang brengsek. Dan Lo sempurna Bram. Tinggal di lingkungan lokal yang sempurna, tidak pernah memiliki masa lalu kelam! Gue trauma! Jujur emang perempuan cuma gue jadikan pelampiasan selama ini," ujar Revan dengan amarah yang meluap-luap.
Mendengar tingkah Revan yang mirip anak kecil tantrum dan kebakaran jenggot ia ingin tertawa terbahak-bahak.
"Nah Lo, ngaku 'kan?" Seketika Bram tersenyum penuh kemenangan.
"Dengarkan dulu! Itu lama, dan sekarang tidak lagi. Aku serius dengan Keira. Aku sudah menikahinya Bram, tinggal melegalkan pernikahan saja. Tolong jangan usik kami lagi. Masih banyak perempuan di luaran sana," ucap Revan menjelaskan dengan sedikit mengiba.
Di depan Keira, ia berusaha menjaga sikap. Meski sebenarnya tangannya sudah gatal ingin menghajar wajah Bram kala itu.
"Dan kamu Debra, bukannya kamu itu perempuan bayaran. Alasan kamu mengejarku itu apa? Jika uang yang kamu butuhkan, aku berikan. Dan maafkan aku, jika mungkin selama ini membuatmu jatuh cinta. Tapi perlu kamu tahu, itu hanya sebatas nafsu. Tidak memakai hati. Sedangkan perasaanku pada Keira berbeda," jelas Revan dengan tatapan tajam.
Entah kenapa perempuan yang usianya tak lagi muda itu menitikkan air matanya mendengar ucapan Revan. Ia benar-benar rendah di mata siapapun.
Sesaat ia tersadar, bersikap demikian hanya menunjukkan siapa jati dirinya yang sebenarnya. Membuatnya merasa malu di hadapan gadis yang selalu ia sebut-sebut wanita ingusan.
Ia bahkan mengurungkan niat menyulut rokok yang tersemat manis di sela-sela jemarinya. Ia memasukkannya kembali kedalam tas. Kemudian meminta maaf kepada Keira.
"Jika ada pekerjaan baik, maka aku ingin berhenti. Aku hanya ingin bisa membahagiakan anak semata wayangku. Jika mungkin, tolong aku Keira," ucap Debra.
Sejenak Keira merenung. Hatinya tergerak mendengar pengakuan nakal yang berpenampilan begitu menggoda di hadapannya. Siapa sangka jika ia nekad berbuat begitu hanya karena ia seorang single mom.
Hati Keira terenyuh. Tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan. Ia melirik Revan yang melengos ke arah lain. Ia tidak mau perempuan seperti itu bekerja untuknya.
Kemudian tatapan Keira berpindah menyoroti Bramantyo, pria itu juga melengos ke arah lainnya sebagai penolakan halusnya tidak ingin membantu.
Keira tersenyum, "Aku akan berusaha. Saat ini aku hanya ikut suami. Tidak mungkin aku bersikap lancang. Jika suatu hari aku memiliki usaha sendiri, Mbak Debra adalah orang pertama yang ku ajak bergabung," terang Keira melegakan.
Revan merogoh pena di balik jas mahalnya. Ia melirik Keira, saat Wina muncul dari tangga. Ternyata di tengah-tengah perbincangan ia menghubungi sekretarisnya meminta dibawakan cek kosong.
Revan menuliskan harga fantastis di sana. Terlihat tulisan seratus juta, membuat siapapun yang melihat terbelalak. Pengusaha muda itu menyerahkan kepada Debra sebagai syarat permintaan maafnya.
"Debra, apa ini lebih dari cukup? Jangan mengharapkan apapun lagi padaku, dan juga istriku. Kami tidak ingin diganggu dalam hal apapun," ujar Revan sambil menyodorkan secarik kertas berupa cek.
Sementara Wina yang masih menaruh dendam. Menatap tidak suka pada Keira yang duduk di sebelah suaminya. Menangkap basah ekspresi wajah yang dilukiskan sekretarisnya, Revan refleks menarik pinggul Keira hingga tak berjarak.
"Mulai saat ini, jangan ada yang menganggu kami berdua. Atau jika nekad, aku bisa saja bertindak lebih kasar. Hari ini kalian selamat karena Keira," ujar Revan.
Bramantyo mengesah, "Ya. Aku juga menyudahi semuanya karena Keira. Jika bukan karenanya, entah apa yang terjadi denganmu."
Segera, Bramantyo bangkit dari tempat duduknya dan pergi. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Kecuali kepalanya mengangguk sebagai sapa dan itu pun hanya ia tujukan pada gadis pujaan hatinya. Ya. Keira Anindita.
Setelah itu, Debra pun menyusul berpamitan. Masalah demi masalah akhirnya terselesaikan. Tapi satu masalah lainnya menunggu di hadapannya. Ya. Wina masih berdiri dengan raut masam di sana.
"Wina, jangan lakukan hal yang membuatku marah lagi. Atau aku akan memecat kamu! Kata siapa aku tidak berani melakukan hal itu," hardik Revan kepadanya.
"Tentu, Pak." Wina segera berlalu meninggalkan tempat.
**
Setelah jam makan siang — Ruang kerja Wina
Wina terlihat sibuk menatap layar laptopnya. Jemarinya yang mahir mengetik membuat fokusnya tidak teralihkan barang sebentar saja.
Sampai-sampai suara pintu berderit pun ia tidak dengar.
Ya. Revan telah berdiri tepat di hadapannya dengan setumpuk map di tangannya. Ia kemudian melemparkan tumpukan dokumen tersebut hingga berserakan di meja Wina.
Ia kaget bukan main. Tidak menyangka jika Revan bersikap sekasar itu sekarang.
"Aku 'kan sudah bilang jangan menonjol jika ingin aku masih peduli terhadapmu! Aku mencintai Keira, Wina! Jadi jangan macam-macam," ancam Revan mencecar.
Wina terkesiap. Matanya berkedip slow motion, "Apakah posisiku masih sama?"
"Sudah tidak, aku tidak ingin bermain-main dengan wanita lagi." Revan berpindah menjauh mendekati pintu dengan kedua tangannya yang dilipat di depan dada.
"Itu artinya, Bapak tidak akan lagi pernah menyentuhku seperti sebelumnya jika sedang marah?" tanyanya dengan wajah sendu.
Bulir bening dimatanya meleleh. Ketika mengetahui Revan menganggapnya sama seperti wanita kebanyakan. Hanya dijadikan sebagai teman satu malam dan tidak ada hati yang tertaut di dalamnya.
"Ya. Bersikaplah seperti biasa di depan Keira. Aku tidak ingin kau bersikap menonjol. Jika itu hanya menampakkan kamu pernah ada hubungan intim denganku, aku tidak segan memecat kamu bahkan akan memberikan hukuman yang begitu menyeramkan," ancam Revan pada Wina.
Perempuan itu menangis terisak-isak. Sedangkan Keira jantungnya hampir mencelos mendengar sendiri skandal suaminya dengan sekretarisnya. Pantas saja Wina tidak menyukai kehadirannya sejak pertama kali bekerja.
Keira melangkah mundur perlahan meninggalkan tempat. Berusaha tidak menimbulkan suara menahan tangisnya. Setelah agak menjauh ia berlari menuju toilet. Di sana ia menumpahkan tangisnya yang tak sanggup lagi terbendung.
— To Be Continued