Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIMA BELAS
Bar itu semakin ramai, namun suara riuh para pengunjung lain tak mampu menembus tembok kesendirian yang Nara rasakan. Racauan Nara semakin terdengar menyedihkan.
"Apa kamu tahu...? Dia hanya dosenku, bukan jodohku,Sa" lanjutnya, suara bergetar seiring dengan derai air mata yang mulai membasahi pipinya.Nara terus meracau, mengungkapkan semua kekesalan dan tekanan yang dia rasakan.
"Mereka tidak mengerti, semua orang hanya melihat Prof Gala sebagai pilihan yang sempurna,terutama Mas Bara, tapi mereka tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisiku," keluhnya lagi sambil menenggak sisa minuman di gelasnya.Sasa yang menyadari keadaan Nara, yang kacau,segera menawarkan sebotol air mineral.
"Minum lah ini, mungkin ini bisa membuatmu merasa lebih baik," ujarnya dengan nada simpati.Nara hanya mengangguk lesu, menerima botol itu. Dia tahu bahwa alkohol tidak akan menyelesaikan masalahnya, tapi malam itu, dia hanya ingin melupakan semua yang menekannya, meskipun hanya untuk beberapa saat.
Kesunyian apartemen Gala semakin terasa menyiksa seiring dengan lenyapnya jejak Nara di kampus, sejak sore hari tadi. Dengan rasa cemas yang mencekam, Gala berulang kali mencoba menghubungi nomor Nara, yang entah mengapa tak pernah aktif.
Setiap percobaan yang gagal membuat jantungnya semakin berdebar. Akhirnya, setelah sekian kali mencoba, sebuah sambungan berhasil terjalin.
Namun, alih-alih mendengar suara yang diharapkan, gendang telinganya diserang oleh dentuman musik yang memekakkan telinga. Instan, dahi Gala berkerut, dan ia menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Kamu di mana? Apa kamu sadar jam berapa sekarang, Nara?" ujar Gala, suaranya mencerminkan kegelisahan yang tak terukur. Tapi tak ada jawaban yang menyambutnya, hanya suara musik yang berdentum, yang menambah keresahannya.
"Kamu mendengarku? Cepat katakan di mana kamu sekarang!" desaknya, suara bergetar penuh kekhawatiran. Tiba-tiba, terdengar suara lembut, namun sarat ketakutan.
"Maaf Prof, ini saya, Sasa. Nara... Nara sedang mabuk," ungkap Sasa dengan suara yang gemetar, mencoba menjelaskan situasi yang terjadi. Tanpa buang waktu, Gala bertindak tegas.
"Kirimkan alamat kalian sekarang. Saya akan datang ke sana segera," perintahnya, suaranya tegas, menandakan ketetapan hatinya untuk segera menemukan dan membantu mahasiswi spesialnya itu.
Mobil hitam mewah melesat kencang menuju bar di tengah kota. Gala benar benar tak percaya, jika gadis kecilnya yang ia kenal bisa berbuat senekat itu.
Sesampainya di bar, benar saja Nara tampak tertawa lepas dengan racauannya. Sasa yang takut menatap tatapan tajam pak dosennya hanya tertunduk di sebelah Nara.
Gala menghela nafasnya, sebelum akhirnya meraih tubuh Nara yang sempoyongan.
"Ayo pulang" ajak Gala.
"Pulang...hahaha...aku gak mau,pulang sama kamu," tunjuk Nara sempoyongan.
"Emmm Anda...aaa aku tau, Anda Prof Gala kan? Hahaha...kenapa Anda ada disini, mau ikut minum juga, sini sini, kita minum bareng," racau Nara. Gala menarik nafasnya perlahan lalu dengan sigap Gala menggendong tubuh Nara seperti memikul satu karung beras.
"Hey...turunkan aku. Aku gak mau pulang,aku gak mau nikah dengan om..om. Gak mau.." racau Nara lagi. Gala tak lagi menggubris apa yang Nara ucapkan.
Begitu memasuki apartemen Gala, ia segera menuntun Nara yang limbung menuju ranjang. Saat Gala bergegas ke dapur untuk mengambilkan segelas air, tiba-tiba tangan Nara meraihnya, tarikannya kuat dan mendesak.
"Heey... kenapa wajahmu begitu mirip dengan seseorang yang kurindukan...?" gumam Nara lirih, kening Gala mengerenyit, mendengar racauan mahasiswinya itu.
"Apa katanya, orang yang dia rindukan" batin Gala, penasaran.
Lantas sedetik kemudian, jari-jarinya lembut mengelus garis Gala. Dengan gerakan yang hampir tak terduga, Nara menarik kerah kemeja Gala, mempertemukan jarak di antara mereka.
Gala, yang sadar akan situasi yang canggung dan berbahaya itu, berusaha menarik diri. Namun, tiba-tiba, Nara menarik kemeja itu dengan lebih keras lagi hingga membuat Gala terjatuh ke atas tubuhnya. Saat itulah, di tengah kebingungannya, bibir Nara menemukan bibir Gala, yang terasa manis dalam kecupan bibir merah Nara.
"Mas Galaaa..." suaranya merdu di tengah ciumannya. Lagi lagi, racauan Nara, membuat Gala tertegun.
"Apa dia mulai mengingatku," batin Gala disela ciuman lembut bibir gadis kecilnya.
Entah kenapa, kali ini Gala tak dapat menolak sentuhan yang Nara berikan. Gala ikut terhanyut dalam momen yang tak terdefinisi, Gala sungguh terhanyut dalam ciuman tersebut—ciuman yang terasa semakin mendalam, ciuman yang seakan membawa keduanya ke dalam dunia yang terlarang.
Namun, ketika ketegangan semakin memuncak, perut Nara mendadak berontak, mual akibat alkohol yang ia konsumsi sebelumnya. Detik berikutnya, sebuah tragedi kecil terjadi saat isi perutnya tanpa sengaja terlontar.
Gala terpana, matanya melebar dalam kekagetan saat menatap mahasiswinya yang kini memuntahkan usi perutnya di kemejanya, lantas Nara terkulai lemah tak berdaya di hadapannya, sisa-sisa alkohol dan makan malam berceceran di atas ranjang.
Kejadian itu seakan membawa akhir yang mendadak pada momen yang sebelumnya penuh dengan gairah terpendam.
Malam itu, Gala dengan hati-hati membawa Nara ke kamar pribadinya setelah kamar tamu yang Nara tempati tidak layak digunakan karena kotor oleh muntahannya sendiri. Pakaian Nara diganti dengan yang bersih, dan dengan lembut Gala menidurkannya di ranjang.
Matahari telah naik tinggi ketika Nara terbangun. Rasa terkejut dan bingung melanda ketika ia melihat sosok Gala, sang dosen yang selama ini ia hindari, sedang sibuk menyisir rambutnya di depan cermin.
“Haa... kenapa Prof ada di kamarku..?” suara Nara tercekat, masih belum sepenuhnya menyadari situasi yang sebenarnya.
Gala menoleh, tatapannya menembus ke dalam mata Nara yang terbuka lebar karena kaget. Kemudian dengan langkah pasti, ia mendekat, menundukkan wajahnya hingga berada tepat di depan wajah Nara, membuat jarak di antara mereka semakin merapat.
“Cepat mandi, dan sarapan,” suara Gala terdengar tegas dan datar, membubarkan kegemasan yang melingkupi ruangan.
Lalu Gala melangkah tegas, tinggalkan Nara yang masih terpaku di atas ranjang. Hatinya berdegup kencang tidak karuan. Gala, dosen yang selama ini mengacaukan fikirannya, entah kenapa tiba tiba ada di dalam kamarnya.
Nara terus mengingat kejadian apa yang sedang menimpanya. Seketika Nara menjerit dan melompat dari atas ranjang saat gadis itu meng ingat kejadian semalam, dan mendapat pakaiannya yang sudah digantikan dengan kemeja Gala.
Nara berlari mendesak keluar, napas tersengal-sengal, mencari sosok Gala dengan pandangan yang membara. Di sudut ruangan, Gala tengah larut dalam secangkir kopi, ketenangannya seketika terganggu ketika bantal sofa melayang dan menghantam punggungnya dengan keras. Gala mendadak menoleh, mata menyipit, dan menatap Nara yang berdiri dengan raut wajah yang datar.
“Dasar dosen mesum! Aaa... aku tak akan membiarkan Anda mengintip tubuhku,” teriak Nara, sambil menuding dengan jari yang bergetar.
Tubuh Gala membeku sejenak, lalu dia berdiri, mendekati Nara dengan langkah yang terukur. “Tubuhmu yang bagian mana, Nara? Atau mungkinkah, ini hanyalah ilusi mesum yang bersarang di kepalamu?” Gala berbisik, suaranya rendah dan berat, seraya tersenyum dengan senyuman yang ambigu dan sulit diartikan oleh Nara. Seakan sebuah permainan berbahaya baru saja dimulai antara mereka.