Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa yang paling penting dalam hidup?
Tubuh kurus itu tergeletak di atas lantai bambu dalam gubuk tengah hutan. Tanpa seberkas cahaya untuk penerangan, wajahnya berada di dalam kegelapan. Angin berhembus kencang, hujan pun tak kunjung berakhir. Tetapi tubuh yang hanya dibalut kaos tipis itu terlihat tidak kedinginan.
Anggoro menggulingkan badannya ke samping. Dia tiduran dengan posisi miring. Palu kecil masih ada di genggaman tangannya. Dia menghela napas gelisah. Setelah nyaris berkelahi dengan sosok yang mengenakan jas hujan hitam, ia kini mempertanyakan apa tujuan hidupnya.
"Siapa yang paling penting dalam hidupku?" gumam Anggoro lirih.
Pikirannya kembali menyelami kejadian beberapa menit yang lalu. Anggoro berdiri dengan tangan gemetar, menggenggam erat palu kecil. Begitupun sosok berjas hujan hitam di hadapannya. Ia juga membawa palu yang sama. Bedanya sosok berjas hujan hitam itu tidak gemetar.
Dalam kegelapan Anggoro dapat melihat jika palu yang dibawa oleh sosok berjas hujan hitam terdapat bercak-bercak kehitaman di bagian ujungnya. Saat kilat bercahaya terang di langit semakin jelas jika bercak itu adalah darah yang mulai mengering. Terciprat pula pada lengan jas hujan yang dikenakan.
Cahaya kilat juga menunjukkan wajah di dalam tudung jas hujan hitam. Sosok iblis bermata penuh amarah semerah darah. Anggoro sama sekali tidak menduga, jika psikopat yang selama ini dia temukan dalam kisah fiksi kini muncul di hadapannya. Tenggorokannya tercekat, tetapi naluri untuk membela diri menguat.
"Aku tidak memiliki masalah denganmu. Tapi jika kamu menghalangi, aku tidak segan menghabisimu!" ancam sosok berjas hujan hitam.
"Kenapa?" pekik Anggoro meminta penjelasan. Sosok berjas hujan hitam malah terkekeh.
"Bukankah kita sama? Aku tahu kamu pun menyiapkan beberapa jebakan bodoh untuk membalas mereka. Kamu hanya versi lebih lembut dariku. Tidak, kamu lebih beruntung dariku. Maka dendammu lebih lemah," tukas sosok berjas hujan hitam.
Anggoro menepuk pipinya, menyadarkan diri dari lamunan. Dia bangun dan duduk bersandar pada dinding gubuk yang terbuat dari potongan kayu. Pertemuannya dengan sosok berjas hujan hitam mengubah pandangannya tentang kehidupan.
"Siapa yang paling penting dalam hidupku?" sekali lagi Anggoro bertanya pada diri sendiri.
Selama ini Anggoro hidup berdua dengan seorang laki-laki tua yang dia panggil Kakek Min. Anggoro tidak tahu pasti apakah laki-laki tua itu adalah kakek kandungnya atau bukan. Beberapa tetangga mengatakan jika Anggoro ditemukan di bak sampah saat masih bayi. Kemudian diasuh oleh Kakek Min yang sebatang kara.
Dulu Anggoro sering berpikir jika dirinya tidak diinginkan ada di dunia. Bahkan orangtuanya membuang Anggoro di tempat yang kotor. Padahal seorang anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia. Ia tidak bisa memilih lahir di lingkungan seperti apa.
Orang-orang dewasa bersikap egois. Memenuhi hasrat mereka tanpa memikirkan dampak yang terjadi setelahnya. Bahkan seekor hewan buas sekalipun tidak tega menelantarkan keturunannya. Tetapi manusia yang dibekali akal budi bertindak lebih buas dan mengerikan dari seekor makhluk yang hanya memiliki naluri atau insting.
Anggoro kembali bertanya pada diri sendiri. Siapa yang paling penting dalam hidupnya? Anggoro tidak menemukan jawaban. Hubungan antara dirinya dengan Kakek Min tidak lebih karena hutang budi. Secara jujur Anggoro mengakui tidak memiliki hubungan batin dengan orangtua itu. Tidak ada kesamaan sifat, sikap dan perangai. Bahkan Anggoro merasa sulit untuk berkomunikasi dengan Kakek Min. Percakapan yang terjadi sepanjang hidupnya hanyalah basa-basi, sebuah formalitas yang terasa tidak nyaman.
Sosok berjas hujan hitam melakukan sebuah kejahatan atas nama orang yang terpenting di hidupnya. Anggoro yang tidak pernah memiliki ikatan sekuat itu, merasa sulit menyelami perasaannya. Akan tetapi, Anggoro malah tertarik apakah sosok berjas hujan hitam dapat mencapai tujuannya? Apakah dunia akan memberikan keadilan?
"Aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri. Bagaimana cara dunia bekerja dengan keadilannya. Jika kebenaran selalu menang, maka yang tertawa di akhir nanti adalah kebenaran," gumam Anggoro lirih. Ia memakai kembali jas hujannya. Menyalakan senter dan bersiap melangkah pergi. Saat itu perutnya berbunyi. Dia merasakan lapar.
Di kejauhan, di antara lebatnya pepohonan hutan tampak cahaya berpendar. Anggoro baru menyadarinya. Padahal sedari tadi dia berjalan berputar-putar di tengah hutan, tetapi baru kali ini matanya melihat cahaya dari lampu rumah Bu Anggun.
Hujan mulai reda. Anggoro merasa kini waktu yang tepat untuk kembali berjalan. Ia melompat dari gubuk tengah hutan. Meninggalkan bangunan kecil yang memiliki tali tambang yang berayun di tengah ruangan. Seolah melambai, mengajak orang yang sedang putus asa untuk meletakkan lehernya disana.
Pada saat yang sama, Aldo keluar dari rumah Bu Anggun bersama Yuzi. Gadis berbedak tebal itu terlihat ragu dan ketakutan. Ia merasa tempat teraman saat ini adalah berada di dalam rumah Bu Anggun. Namun, dia malah mengikuti Aldo untuk pergi ke hutan di kegelapan malam.
"Do, jalanmu jangan terlalu cepat. Tunggu aku," seru Yuzi manja. Aldo mendengus kesal.
Halaman depan rumah Bu Anggun tidak memiliki penerangan. Kegelapan yang pekat langsung menyergap. Yuzi sempat menoleh memperhatikan rumah yang dipenuhi cahaya terang. Rumah yang hangat dia tinggalkan, memilih menapaki jalan berlumpur yang dingin.
Saat melewati kolam ikan aligator, Yuzi sempat menoleh merasa penasaran apa kiranya yang dilakukan ikan karnivora itu di waktu malam. Namun rasa ingin tahunya itu malah membuat Yuzi melihat sesuatu yang mengerikan. Yuzi menarik lengan Aldo hingga nyaris terjatuh.
"Apa sih? Mbokne ancuk!" umpat Aldo geram. Yuzi menunjuk ke dalam kolam dengan telunjuk yang gemetar. Aldo pun mengarahkan pandangan pada kubangan air setinggi pinggang itu.
Wajah Putra menyembul di permukaan air dengan pipi kirinya yang robek. Kedua bola mata laki-laki itu lenyap menyisakan cekungan berwarna merah muda. Dua ekor ikan aligator bergerak mengelilingi wajah Putra dengan perutnya yang menggelembung. Satu bola mata terlihat menempel pada gigi mirip gergaji itu. Karena kurangnya cahaya, warna merah darah tampak hitam seperti tinta.
Yuzi nyaris berteriak, tetapi Aldo berhasil menempelkan telapak tangannya di mulut sang gadis menor. Yuzi dibungkam, hanya bisa melotot dengan bola mata yang memerah.
"Pak Dolah pelakunya. Itu pasti. Jangan berteriak. Diamlah dan dengarkan aku!" bentak Aldo. Yuzi mengatupkan bibirnya rapat. Aldo menarik Yuzi mengajaknya kembali melangkah.
"Pak Dolah pasti saudara dari gadis yang waktu itu. Dia mendendam pada kita. Pokoknya kita harus segera pulang. Berpura-pura tidak tahu soal mayat Putra tentu lebih aman. Jika kamu berteriak sekarang, pasti survivor gila itu langsung akan mengejar kita. Biarkan saja Putra. Toh dia sudah tiada, mau bagaimana lagi? Keselamatan kita yang utama. Kita cari Pak Nafi' dan biar kupaksa untuk mengantar pulang," jelas Aldo sambil terus mengayun langkah.
"Lalu Gery dan Nana?" tanya Yuzi. Tetapi saat melihat ekspresi Aldo, Yuzi dapat menduga jika laki-laki itu berniat meninggalkan kawan-kawannya.
"Setelah sampai rumah, aku pasti akan menghubungi polisi dan ambulance," tukas Aldo tanpa keraguan.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..