NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:556
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana

Happy reading guys :)

•••

Kamis, 23 Oktober 2025.

Waktu menunjukkan pukul 10.30. Sebuah bangunan bernuansa modern classic kini terlihat cukup ramai, beberapa orang sedang duduk dan mengobrol di atas sofa seraya menikmati berbagai jenis makanan yang telah dipesan, dengan diiringi oleh lantunan musik yang terdengar sangat menenangkan.

Di sebuah meja yang terletak dekat dengan jendela, terlihat sosok Raka sedang duduk bersandar seraya mengetuk-ngetuk pelan meja di depannya.

Raka bersenandung kecil mengikuti lantunan musik guna menghilangkan rasa bosan akibat menunggu kehadiran seseorang yang telah memiliki janji dengannya. Di sela-sela ia bersenandung, Raka juga tidak lupa menyeruput segelas kopi hitam pesanannya.

Beberapa menit berlalu, tetapi orang yang memiliki janji dengan Raka belum juga tiba, membuat pria paruh baya itu mengambil handphone dari dalam saku celana untuk menghubunginya.

Namun, Raka mengurungkan niat kala mendengar suara seorang pria yang sudah memiliki janji dengannya.

Raka mengangkat kepala dan menoleh ke arah kanan. Ia tersenyum tipis, melihat orang yang sudah dirinya tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

“Galen, akhirnya kamu datang juga.” Raka bangun dari tempat duduk, mengulurkan tangan kanan ke arah Galen.

Galen menjabat uluran tangan Raka seraya tersenyum tidak tipis. “Maaf, Om. Saya telat.”

“Iya, gak papa. Ayo, silahkan duduk,” kata Raka.

Galen mengangguk, mendudukkan tubuhnya di sofa yang berada di sisi kanan tempat duduk Raka.

“Kamu mau pesen apa, Gal?” tanya Raka, yang telah kembali duduk di tempat semula.

Galen menggelengkan kepala. “Nggak usah, Om. Saya udah makan tadi di rumah sakit sama Livy.”

Mendengar jawaban dari Galen, Raka mengangguk-anggukkan kepala. “Kalo minum? Mau pesen gak?”

“Kalo itu boleh, Om,” jawab Galen, disertai dengan senyuman tipis.

Raka membalas senyuman Galen, lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling untuk mencari pegawai dari kafe tempat dirinya berada. Saat mendapati salah satu pegawai, Raka mengangkat tangan kanan, memberikan kode agar pegawai itu mendekati dirinya.

“Kamu mau pesen minum apa, Gal?” tanya Raka, setelah pegawai kafe itu berada di dekatnya.

Galen membuka buku menu yang ada di atas meja, melihat dan membaca berbagai nama minuman yang ada di dalam sana.

“Mbak, saya pesen kopi susu gula arennya satu,” kata Galen, seraya melihat ke arah pegawai kafe itu.

Pegawai kafe itu mengangguk, menulis pesanan Galen di buku catatan yang dirinya bawa. “Ada lagi?”

Galen menggelengkan kepalanya pelan disertai dengan senyuman tipis. “Nggak ada, Mbak. Udah, itu aja.”

“Ya, udah, kalo gitu ditunggu sebentar, ya, pesanannya, Kak,” kata pegawai kafe itu, menunjukkan senyuman lebar, lalu pergi meninggalkan meja tempat Galen dan Raka berada.

Setelah kepergian pegawai kafe itu, Raka menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa seraya menyilangkan kaki kanan. “Kabar Vanessa gimana, Gal?”

“Keadaan Vanessa semakin membaik, Om. Ya, walaupun, kata dokter masih perlu beberapa minggu bahkan bulan biar kondisinya sembuh secara total,” jawab Galen, ikut bersandar pada sandaran sofa seraya memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan, “Oh, iya, Om mau ngomongin apa?”

Raka diam sejenak, sedikit bingung harus mulai menjelaskan dari mana. Ia berdeham kecil saat sudah tahu harus memulai dari mana, menurunkan kaki kanan dari atas kaki kirinya, lalu menegakkan badan.

“Saya mau ngomongin soal tragedi yang Vanessa alami seminggu yang lalu, Gal,” kata Raka, membuka obrolan.

Raut wajah Galen sontak berubah menjadi sangat serius saat mendengar perkataan Raka. “Jadi, gimana, Om?”

Raka menggenggam kedua tangan di atas meja, menatap wajah Galen dengan tidak kalah serius. “Gini, Gal. Kamu tau, kan, soal Angelina yang beberapa bulan lalu kena kasus tabrak lari?”

Galen hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Saya tadi malam tiba-tiba aja kepikiran kalau kejadian yang menimpa Vanessa itu ada kaitannya dengan kejadian yang menimpa Angelina. Saya rasa, orang yang udah bikin dua gadis kesayangan kita menderita adalah orang yang sama, Gal,” jelas Raka.

Mendengar penjelasan dari Raka membuat kening Galen sontak mengerut. “Kenapa Om bisa mikir kayak gitu?”

“Karena saya pernah denger dari Angel, kalau Vanessa itu orang yang paling digemari di sekolah. Itu sama kayak kejadian Angel dulu, Gal. Dia dulu juga digemari di sekolah, banyak banget orang yang mau temenan sama dia. Jadi, saya bisa nyimpulin kalau ada beberapa orang yang iri sama Angel dan Vanessa. Ditambah lagi, Gal, kalau kamu tau, kejadian yang menimpa Angel dan Vanessa itu sama-sama di tanggal 15.” Raka mengambil gelas berisikan kopi hitam setelah selesai menjelaskan, kemudian menegakkannya hingga setengah.

Kedua tangan Galen mengepal sempurna, rahangnya telah mengeras saat mendengarkan penjelasan Raka dengan saksama. “Jadi, saya harus gimana, Om? Saya harus nyari tau keberadaan beberapa orang itu?”

Raka mengangguk, menaruh kembali gelas di atas meja. “Iya, tapi itu bakalan sulit. Kejadian yang menimpa Angel beberapa bulan lalu aja baru ketangkap satu orang, dan saya rasa itu bukan pelaku sebenernya. Tapi, kamu tenang aja, Gal, untuk kejadian Vanessa kali ini, saya bakal ikut bantu kamu. Kita cari pelaku yang udah berani bikin dua orang kesayangan kita jadi menderita.”

“Caranya, Om?” tanya Galen, seraya berusaha mengendalikan hawa amarah yang sudah mulai menguasai seluruh tubuhnya.

Raka diam sejenak, menunggu dan membiarkan Galen yang sedang berusaha mengendalikan hawa amarah pada tubuhnya. Setelah Galen berhasil mengendalikannya, Raka mulai berbicara, memberitahu Galen semua rencana yang telah ia pikirkan.

Sepanjang Raka berbicara, Galen diam menyimak, beberapa kali cowok itu memberi masukan kala merasa beberapa rencana dari Raka mustahil untuk dilakukan.

Beberapa menit kedua pria itu berdiskusi, sampai pada akhirnya mereka berhenti saat seorang pegawai kafe datang membawa minuman pesanan Galen.

“Maaf mengangguk, Kak. Saya mau nganterin pesanannya,” kata pegawai kafe itu, menaruh minuman di atas meja seraya menunjukkan senyuman sungkan ke arah Galen dan Raka.

Galen tersenyum tipis. “Iya, gak papa, Mbak. Makasih, ya.”

Pegawai kafe itu mengangguk, mengambil nampan dari atas meja, berpamitan kepada Galen dan Raka, lalu berjalan meninggalkan meja tempat kedua orang pria itu berada.

Setelah kepergian pegawai kafe itu, Galen dan Raka kembali mengobrol, tetapi sekarang obrolan mereka tidaklah seberat beberapa menit lalu. Mereka sekarang hanya membahas beberapa hal santai yang dapat membuat otak menjadi rileks.

•••

Warna putih pada awan bercampur dengan warna biru yang memenuhi langit, membuat sang angkasa terlihat begitu sangat cerah dan indah.

Saat ini, di bawah pohon beringin yang terletak di taman belakang SMA Garuda Sakti terlihat Angelina dan Karina sedang bersandar pada batang pohon, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh mereka seraya menikmati beberapa jajanan yang telah dibeli.

Angelina melihat ke arah langit, tersenyum tipis saat mengingat sebuah kenangan di tempat ini. “Kar, gue kangen banget, deh, lihat Vanessa di tempat ini.”

Karina berhenti mengunyah roti rasa cokelat yang sedang ia makan. “Sama, Ngel. Gue juga kangen banget sama Vee. Gue kangen bercanda sama dia, gue kangen ngobrol sama dia, bahkan gue juga kangen banget tidur di bahu dia.”

Mendengar perkataan terakhir Karina, Angelina sontak terkekeh seraya menggelengkan kepala, sedikit tidak habis pikir dengan hobi baru dari sahabatnya itu. “Kira-kira, Vanessa berapa lama, ya, Kar, sembuhnya?”

Karina mengambil botol air mineral yang berada di tengah-tengah dirinya dan Angelina, membuka, lalu meminumnya hingga setengah sebelum menjawab pertanyaan dari sang sahabat.

“Kemungkinan bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan gak, sih, Ngel? Soalnya lu tau sendiri, kan, keadaan Vee kayak gimana?” Karina menaruh kembali botol air mineral yang telah tertutup rapat ke tempat semula.

Angelina mengubah posisi kaki, memeluk erat kedua lututnya yang sudah sejajar dengan dada. “Lu bener, Kar. Bagian kepala Vanessa parah banget. Ditambah kalau itu udah berhasil sembuh, dia masih harus ngelakuin beberapa terapi biar bisa balik lagi ke kehidupan normal.”

Karina menepuk pelan pundak kanan Angelina saat melihat tubuh sang sahabat sedikit berubah menjadi lemas. “Jangan mikir macem-macem. Sekarang, kita harus banyak-banyak berdoa buat kesembuhan Vanessa, dan selalu nemenin dia sampai sembuh, oke?”

Angelina menoleh ke arah Karina, mengangguk dan tersenyum tipis. “Iya, lu bener, Kar. Kita berdua harus berdoa dan selalu nemenin dia.”

Tangan kanan Karina bergetar mengelus lembut puncak kepala Angelina. “Udah, jangan sedih lagi. Lebih baik kita lanjut makan.”

Pelukan Angelina pada kedua lututnya terlepas. Ia berselonjor, mengambil sebungkus kue kering, dan memakannya.

Melihat Angelina yang sudah sedikit bersemangat dan memakan jajanan, Karina tersenyum, kemudian kembali menikmati roti rasa cokelat miliknya.

Di sela aktivitas makan mereka, kedua gadis itu sesekali mengobrol untuk menghilangkan rasa khawatir akan kesembuhan Vanessa.

Atensi Angelina dan Karina sontak teralihkan saat mendengar suara teriakan Leka.

Kedua gadis itu melihat ke arah sumber suara, mendapati sosok Leka yang sedang berlari menunjuk tempat mereka berada.

Kening Angelina dan Karina mengerut, sedikit bingung sekaligus penasaran saat melihat kehadiran gadis itu.

“Ada apa, Lek? Kenapa lu lari-lari gitu?” tanya Angelina, saat Leka sudah berada di hadapannya.

Leka membungkukkan badan seraya memegangi kedua lutut dengan napas yang terengah-engah. “I … itu ….”

“Netralin napas lu dulu, Lek,” kata Karina, bangun dari tempat duduk, berjalan mendekati Leka, dan mengelus pelan punggung gadis itu.

Leka mengangguk, menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa untuk menetralkan kembali pernapasannya. Setelah indera penciumannya kembali menjadi normal, Leka menegakkan badan, menatap Angelina dan Karina secara bergantian.

“Ngel, Kar. Ayo, kita ke ruangan OSIS sekarang,” ajak Leka, dengan raut wajah yang sangat serius.

Angelina dan Karina saling pandang, bingung akan ajakan tiba-tiba dari Leka.

“Ada apa, Lek?” tanya Karina.

“Kak Fajar sama kak Renata, mereka berdua udah berhasil nemuin orang yang bikin Vanessa jadi kayak gini.”

To be continued :)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!