*"Ah ... ampun, Kak. U-udah! Naya ngakuh, Naya salah."*
Masa remaja yang seharusnya dilalui dengan ceria dan bahagia, mungkin tidak akan pernah dialami dengan gadis yang bernama Hanaya Humairah. Gadis cantik yang lemah lembut itu, harus terpaksa menikah dengan Tuan muda dingin nan kejam.
Demi menyelamatkan ibunya dari tuduhan penyebab kematian mama dari sang tuan muda, ia rela mengorbankan kebahagiaannya.
Akankah Gadis itu bisa menjalani hari-harinya yang penuh penderitaan.
Dan akankah ada pelangi yang turun setelah Badai di kehidupannya.
Penasaran ...?
Yuk ikuti kisahnya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggraini 27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2
Dua jam lebih. Mereka sampai juga di tempat tujuan, yang di mana tempat kediaman Nur Aini. Seorang janda beranak satu.
"Kita sudah sampai, Tuan," ucap Gery yang sudah membukakan pintu untuk Tuan mudanya.
Malik masih duduk diam di mobil, sambil memandangi rumah petak tersebut.
'Cih. Pantas saja papa banyak mengeluarkan uang untuk dia, ternyata wanita murahan,' batin Malik yang merendahkan.
Malik segera turun dari mobil dan sudah ada dua bodyguard yang menunggu di depannya.
Malik pun memberi intruksi dengan tangannya. Yang mengisyaratkan untuk maju, dan dibalas anggukan oleh mereka.
Tok ... tok ...
"Siapa? Tunggu sebentar, ya?" Mendengar pintunya diketuk. Buk Nur pun segera memakai hijabnya sebelum membuka pintu.
Suara pintu yang berderit, saat si empunya membukanya.
"Siapa ...?"
Brakkk!
Belum selesai Nur bertanya. Dia sudah jatuh tersungkur di lantai.
Akibat dorongan dari salah satu bodyguardnya Malik.
"Aw ...," pekik Buk Nur yang jatuh kesakitan. Namun, dia mencoba untuk berdiri kembali.
"Kalian Sia ...."
Plak!
Belum selesai Buk Nur bicara lagi, sudah mendapatkan sebuah tamparan, hingga dia harus jatuh kembali.
"Kamu mau tau kami siapa, hah! Dasar PELAKOR," seru Malik penuh penekanan, sambil menjambak rambut buk Nur yang berada di balik hijabnya.
"Apa maksudnya. Saya tak mengerti," ringis buk Nur menahan sakit di kepalanya.
"Jangan pura-pura, B*d*h!" sarkas Malik yang kini sudah mulai emosi.
Hingga ....
Plakk!
Satu tamparan kembali dinyalangkan. membuat si empunya kesakitan, sampai mengeluarkan darah segar di sudut bibirnya yang terobek sedikit, karena tamparannya yang cukup keras kali ini.
"Sumpah demi Allah. Saya gak mengerti. Tapi jika memang saya punya salah. Tolong maafkan." Buk Nur pun memelas.
"Pyuih! Semudah itu anda minta maaf. Jangan harap! Setelah apa yang anda perbuat, hingga ibu saya harus meninggal. Karena apa? Karena ulah KALIAN!" teriak Malik yang menggelegar di seluruh ruangan.
Jika kalian berpikir. "Kok gak ada tetangga yang datang, sih? Apa mereka gak tau?" Jawabannya adalah. Karena rumah buk Nur satu-satu nya yang berada di ujung kampung. jadi tidak ada yang tau, tentang kejadian ini.
"Apa! Meninggal?" kaget buk Nur yang tidak tahu siapa yang meninggal. Dan kenapa juga karena ulahnya.
"Kamu tahu ...." Malik menggenggam erat dagu Buk Nur.
"Saya adalah anak dari Rama Andriyansya dan ibu saya Maharani. Orang yang melukai dirinya sendiri karna sakit hati dengan kelakuan Kalian!" tegas Malik memberitahu.
"Apa! Kamu anak Mas Ram ...."
Plakk!
"Jangan berani-beraninya sebut dia dengan panggilan dari mulut kotormu! Menjijikan."
"Maaf, maafkan saya. Tapi saya memang benar tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarga kalian," terang buk Nur jujur.
"Cih, dasar wanita munafik! Anda bilang anda tidak tau apa yang terjadi. Sedangkan ini apa ...?" Malik pun melemparkan kertas-kertas bukti tranferan di wajahnya Buk Nur.
Buk Nur pun mengambil kertas tersebut dan melihat isinya, dan alangkah terkejut, karena itu bukti tranferan Rama atas nama dirinya.
"Kenapa? Kaget?" senyum sinis tercetak di bibir Malik.
"I-ini salah paham, Nak. Ibu bisa jelasin," terang Buk Nur, memegang lengan Malik.
"Cih ... jangan panggil aku nak! Karena kamu bukan ibuku!" seru Malik tak terima. Yang menghempaskan tanganya sampai membuat Buk Nur terhuyung ke belakang.
"Maaf, kalau gitu maafkan saya yang lacang, Tuan muda. Tapi benar, ini semua cuma salah paham. Uang yang diberikan Pak Rama itu semua saya kembali, Tuan," jelas buk Nur.
"Kenapa? Karena jumlahnya masih sedikit, hah! Lalu bagaimana dengan yang ini ...." Malik melemparkan kembali selembar kertas yang berjumlah 100 jt.
"Apa anda bisa jelaskan? Itu bukti tranferan, satu hari sebelum ibu saya meninggal!" seru Malik, yang mulai geram.
"I--ini ...." Buk Nur menggigit bibir bawahnya. Tidak bisa melanjutkan, karena takut salah bicara.
"Jelaskan!" bentak Malik.
"I--ini, saya terpaksa meminjam untuk biaya operasi anak saya," lirih Buk Nur. Tak terasa air mata yang sedari tadi dia tahan tumpah juga, sampai membasahi kedua pipinya yang mulai tampak usang dimakan usia. Tapi, masih terlihat cantik.
"Cih, sudah kuduga. Cuma alasan klasik," tebak Malik yang mulai bosan mendengarkan penjelasan Buk Nur.
"Benar, Tuan muda. Saya tidak berani berbohong," terang buk Nur gigih.
"Gery, cepat bereskan. Bunuh! Dan buang mayatnya ke laut. Saya malas bermain-main lagi," cetus Malik menyuruh asistennya.
"Tuan, maafkan saya. Saya mohon tolong lepaskan saya," pinta buk Nur meronta-ronta. Karena dia sudah dipegang oleh dua bodyguardnya Malik.
Sedangkan si empunya tidak mau mendengarkan ucapannya lagi. Dia pun berjalan ke arah pintu ke luar.
'Itu sebagai pelajaran, buat siapa pun yang berani mengganggu ketentraman keluargaku. Berarti mereka harus siap-siap, mati!' batin Malik yang sedang tersenyum miring.
Namun, saat dia menginjakkan kakinya keluar pintu. Tiba-tiba ada seorang gadis yang langsung nyelonong masuk.
Hingga sedikit menyenggol bahunya.
"Shittt, siapa yang beraninya nabrak gue," guman Malik yang geram sembari menepuk-nepuk bahunya.
'Siapa gadis itu, imut juga. Oh no, Malik. Lo harus fokus,' batin Malik yang menampar pikirannya. saat dia melihat wajah gadis itu.
"Bunda ...," teriak gadis itu yang berlari ke satu arah.
Bersambung ...