Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Alina
Alina masih merasa detak jantungnya tak aman. Entah karena adegan hampir jatuh tadi atau karena ia terlalu dekat dengan wajah Roy yang lumayan tampan. 'Seimbang dengan Muchsin.' batin Alina. Sambil berjalan menuju ke ruangannya diikuti Roy di belakangnya terasa dia seperti dikuliti saja. Kikuk rasanya bergerak di depan lelaki yang nampak sekali ada hati pada dirinya.
Alina memasuki ruangan kecil di ujung swalayan dan mempersilakan Roy duduk.
"Minum apa pak? "
"Kok gak enak ya dipanggil Pak. Mas aja deh, kayaknya aku belum terlalu tua deh," protes Roy, sok akrab.
"Oke..... oke..... " balas Alina dengan senyum kecil bercampur kesal. "Jadi minum apa pak, eh, mas? Kopi apa Teh? "
"Kopi boleh Mba. Makasih ya." Roy tersenyum simpul.
Kantor Alina, pagi menjelang siang hari. Matahari menyelinap masuk melalui jendela, memantulkan cahaya lembut di atas meja kayu tempat mereka duduk. Aroma kopi yang mulai mendingin bercampur dengan wangi samar parfum Roy, menciptakan atmosfer yang tenang namun menggugah rasa.
Alina tak pernah menyangka bahwa pertemuan bisnis bisa terasa seperti ini. Biasanya, setiap diskusi tentang pemasok dan stok barang hanyalah rutinitas, datar, penuh angka, tanpa nuansa. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu dalam sorot mata Roy yang berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.
Roy pun menyodorkan sampel dengan senyum santai, "Aku punya sesuatu yang mungkin cocok untuk minimarket kamu, Alina. Produk ini lagi naik daun, kualitasnya bagus, dan aku bisa kasih harga yang kompetitif."
Alina kemudian mengambil salah satu sampel, memeriksa dengan cermat, mencoba tetap profesional, "Hmm… menarik. Tapi aku nggak sembarangan ambil barang baru. Aku harus lihat demand-nya dulu."
Roy kemudian tertawa kecil, matanya penuh ketertarikan yang tak sepenuhnya tersamarkan. "Tentu. Aku nggak buru-buru, kok. Aku juga cuma ingin ngobrol lebih lama dengan pemilik minimarket yang cantik ini."
Alina menahan napas sejenak. Kalimat itu seharusnya biasa saja, tapi cara Roy mengatakannya, dengan nada yang ringan tapi bermakna, membuat sesuatu dalam dirinya bergetar. Spontan Alina merasa grogi dipandangi sedemikian.
Alina yang kemudian menunduk melirik Roy dengan alis terangkat, tersenyum kecil tapi tetap menjaga jarak. "Oh, jadi ini alasan sebenarnya kamu datang, Mas? Modus bisnis?" Mata Alina memicing.
Roy pun tertawa ringan, suaranya dalam, menenangkan, "Bisa dibilang begitu. Bisnis itu kan soal chemistry juga. Kalau kita bisa kerja sama dengan nyaman, hasilnya lebih baik."
Ada kehangatan dalam caranya berbicara, seolah kata-kata itu bukan sekadar jualan, melainkan undangan untuk mengenalnya lebih dalam. Alina menatapnya sejenak, lalu kembali melihat produk di tangannya. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Setengah mati dirinya mengumpulkan konsentrasi di depan sosok penggoda ini.
Alina yang berusaha tetap netral, meletakkan sampel di meja, "Baiklah, aku akan pertimbangkan produk ini. Kirimkan proposal lengkapnya, dan aku akan lihat apakah kita bisa bekerja sama."
Roy pun tersenyum lebar, puas dengan reaksi Alina. "Tentu. Dan siapa tahu, setelah ini kita bisa bicara lebih banyak… tentang bisnis atau hal lain."
Alina hanya tersenyum kecil, tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bergerak. Seperti ombak kecil yang menyentuh bibir pantai, perlahan tapi pasti. Ia tak ingin mengakuinya, tapi kali ini, ia sadar, Roy bukan sekadar rekan bisnis biasa.
Mungkin, ia adalah seseorang yang diam-diam mulai membuka kembali pintu yang sudah lama ia kunci. Alina mendesah, sesaat setelah pertemuan itu usai dan Roy berpamitan padanya, mulailah ia menghirup udara sebanyak banyaknya, bernafas panjang, seolah olah dirinya baru saja terbebas dari belenggu pesona yang tak biasa.
Tak berapa lama Alina kembali sibuk dengan pekerjaannya, tiba tiba sosok seseorang lain yang masih berharap padanya ada di hadapannya,
"Lin, bisa kita bicara? "
Alina yang awalnya menunduk, spontan mendongakkan dagunya dan matanya membola melihat Marsudi ada di hadapannya.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih