"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 | Daun Berguguran
Ryan akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku ingin berjalan bersama kamu. Kalau kamu mau, apa kamu masih tetap mau jadi pacarku?”
Aku menatapnya dan tanpa sadar, senyum tipis terukir di bibirku. Udara sore hari ini terasa sejuk, membawa aroma tanah basah dan daun yang mulai mengering.
Balkon kafe ini menjadi tempat favoritku sejak pertama kali datang ke sini. Deretan tanaman hias menggantung di sisi-sisi pagar besi hitam, memberikan sentuhan hijau yang kontras dengan warna-warni dedaunan yang jatuh di bawah.
“Anu … aku tidak tahu.” Jawabanku keluar begitu saja, jujur dan tanpa banyak pertimbangan.
Mata Ryan menatapku seolah ingin mencari jawaban yang lebih dalam, tetapi dia hanya mengangguk pelan, menerima kebisuanku tanpa desakan.
Angin sore membelai rambutku, membuat helaian panjangnya menari-nari di sekitar wajahku. Aku menatap ke luar, ke arah pohon-pohon hijau di seberang jalan yang daunnya berjatuhan pelan seperti salju berwarna hijau dan kuning keemasan.
Cahaya matahari yang mulai memudar menyinari mereka dengan lembut, menciptakan kilauan temaram yang menenangkan. Ryan, duduk di seberangku dengan jaket kesayangannya, ikut mengalihkan pandangan ke arah yang sama.
“Aku penasaran, kenapa kamu selalu melamun sambil melihat pohon?” tanyanya, suaranya nyaris tenggelam dalam suara kendaraan yang melintas di kejauhan dan obrolan pelan pengunjung kafe lain.
“Ha? Oh, itu … aku hanya suka memandang daun-daun yang gugur,” jawabku sambil menyentuh pinggiran cangkir matcha latte-ku.
Teksturnya hangat, nyaman, seperti pengingat akan hal-hal kecil yang membuat hati tenang.
“Suka?” Ryan mengulangi, dengan senyum penasaran yang terukir di wajahnya.
Angin kembali bertiup, membuat helaian rambutnya sedikit berantakan, tapi dia membiarkannya begitu saja.
Aku mengangguk, kali ini lebih mantap. “Ya. Daun-daun yang gugur itu seperti kenangan yang datang dan pergi. Meskipun mereka jatuh dan tampak berakhir, mereka nggak benar-benar hilang. Mereka hanya berubah menjadi sesuatu yang lain, jadi bagian dari tanah, bagian dari siklus.”
Ryan menunduk, seolah meresapi setiap kata yang kuucapkan. Aku bisa melihat garis rahangnya yang tegas mengendur sedikit, tanda bahwa dia mulai mengerti. Cahaya lampu gantung di balkon mulai menyala perlahan, memancarkan rona keemasan yang hangat, melengkapi suasana sore yang semakin redup.
“Aku nggak tahu kamu bisa begitu puitis,” ucapnya, suara lembutnya memecah keheningan.
Senyum itu muncul lagi, senyum yang selalu berhasil membuat perutku terasa seperti diisi kupu-kupu. Aku tertawa kecil.
“Mungkin karena aku sangat pendiam di sekolah.”
Ryan mendongak, seakan tersadar sesuatu. “Benar juga. Mungkin aku harus sering mengajakmu mengobrol seperti ini.”
Sebuah keheningan nyaman menyelimuti kami. Dentingan halus saat cangkir diletakkan di atas meja membuat suasana menjadi lebih nyata. Aku tersenyum sopan kepada pelayan, sementara Ryan mengambil cangkir kopinya, menyesap perlahan sebelum meletakkannya kembali di meja dengan suara lembut.
“Kamu suka daun berguguran, ya. Kalau aku …” Ryan menatapku dalam-dalam, dengan ekspresi serius yang jarang kulihat. “… suka Aura.”
Perutku terasa mencelos, dan untuk sejenak, seluruh dunia seperti berhenti. Aku tercekat, matcha latte yang baru kuminum hampir tumpah dari mulutku. Aku memandangnya dengan mata membesar, menunggu kata-kata berikutnya.
“Hah? Apa?” tanyaku, setengah berharap dia hanya bercanda.
Ryan mengerutkan bibirnya, menahan senyum jahil. “Aku … cuma bercanda.”
Salah satu matanya berkedip, mengisyaratkan permainan biasa yang sering ia lakukan, tetapi aku tahu lebih dari itu. Cara dia menatapku mengungkapkan bahwa kata-katanya tadi bukan sekadar lelucon.
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang berdetak cepat. Balkon kafe terasa semakin sempit, seolah hanya menyisakan kami berdua di dunia yang dipenuhi daun-daun yang gugur dan kenangan yang belum selesai.
“Aku orang yang tidak pernah bercanda,” Ryan berkata, kali ini suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi saat aku bilang aku suka kamu, itu bukan candaan, Aura.”
Jantungku berdebar lebih kencang, seolah memainkan simfoni yang hanya aku dan dia yang bisa mendengar. Mataku bertemu dengan matanya, dan di sana, di balik tatapan teduhnya, aku melihat sesuatu yang membuat perasaanku melayang, ketulusan.
“Aku tau, Ryan,” gumamku. Suaraku hampir hilang ditelan angin sore yang mulai berbisik lembut.
Sebuah senyum kecil bermain di bibirku dan untuk pertama kalinya, tidak ada keraguan di antara kami.
Setelah menikmati momen yang berharga itu, kami berdua memutuskan untuk pulang sebelum hari semakin gelap. Balkon kafe tempat kami duduk mulai dihiasi bayangan malam, lampu-lampu jalan di sekitarnya menyala dan memantulkan cahaya lembut ke trotoar.
...»»——⍟——««...
Di sepanjang perjalanan pulang, percakapan kami mengalir ringan. Ryan bercerita tentang impiannya untuk berkeliling dunia suatu hari nanti, sementara aku berbagi tentang impianku untuk membuka studio seni kecil yang penuh dengan tanaman hijau dan karya-karya unik. Sesekali, tawa kami pecah, menghiasi suasana yang sudah hangat.
Sampai di depan rumahku, lampu teras berkelap-kelip menyambut kami. Malam mulai sepenuhnya menyelimuti langit, dan hanya ada suara jangkrik yang sesekali terdengar di antara heningnya lingkungan sekitar.
“Ryan, terima kasih untuk hari ini,” ucapku, suara rendahku mengalun dengan kehangatan yang terasa di dadaku. Tatapan mataku berusaha mengungkapkan lebih dari sekadar kata-kata.
Ryan mengangguk, dan sudut bibirnya melengkung ke atas. “Sama-sama, Aura. Jangan lupa langsung istirahat, ya,” katanya dengan nada penuh perhatian.
Mata kami bertemu untuk terakhir kali sebelum dia perlahan berbalik dan berjalan menjauh, bayangannya memanjang di bawah lampu jalan yang redup.
Aku menutup pintu dengan kedua tanganku, sensasi dingin kayu pintu menyentuh kulitku yang hangat. Aku bersandar di sana sejenak, mendengarkan langkah kaki Ryan yang semakin menjauh. Hati ini masih terasa penuh, seakan menyimpan cerita baru yang akan kuingat sepanjang malam.
Masuk ke dalam kamar, aku melihat diriku di cermin. Pipi yang kemerahan tampak jelas, dan senyum yang enggan hilang tetap menempel di wajahku. Aku mengusap lembut pipiku, merasa lucu dengan perasaan yang kembali hadir seperti saat aku jatuh cinta pertama kali.
Di luar, angin malam berhembus pelan, membawa aroma dedaunan yang basah, seolah menjadi saksi dari momen yang baru saja terjadi. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang tiba-tiba terasa lebih cerah.
...»»——⍟——««...