Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24 Berkas Perceraian
Laras mondar-mandir di dalam kamar, wajahnya tampak gelisah. Hatinya berkecamuk sejak mengetahui tentang keberadaan anak Adrian dan Kania.
Seorang bocah laki-laki kecil, yang kini hadir di antara mereka.
“Jadi selama ini aku salah?” gumam Laras, menggigit ujung kukunya dengan gelisah.
Laras masih mengingat dengan jelas bahwa Adrian pernah mengatakan pernikahan dengan Kania tidak pernah benar-benar berjalan, bahkan di malam pertama mereka.
Namun, fakta bahwa seorang anak lahir dari hubungan itu menghancurkan semua pemikiran Laras.
“Sial... sekarang aku harus bagaimana?” Laras mendesah kasar, mencoba mencari solusi.
“Haruskah aku minta bantuan Papa? Tapi...” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lirih, “Kalau sampai Papa tahu aku yang menyebabkan istri Hermawan meninggal, dia nggak akan pernah memaafkan aku.”
Laras tersenyum sinis, mengingat peristiwa itu.
“Salah siapa wanita tua itu sok ikut campur. Sekarang rasakan sendiri akibatnya,” gumamnya dengan seringai dingin.
Laras masih mengingat semuanya dengan jelas. Istri Hermawan—nenek Adrian—adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa Laras menjebak Kania untuk mencemarkan nama baiknya.
Namun, sebelum rahasia itu terungkap, Laras bertindak lebih jauh. Ia menyabotase situasi, hingga kecelakaan itu terjadi.
Tak ada yang tahu bahwa ia dalang di baliknya, kecuali Pras—mantan kekasihnya.
“Pras…” Laras menggigit bibir bawahnya, berpikir keras. “Aku harus minta bantuannya lagi. Bocah kecil itu adalah penghalang hubunganku dengan Adrian.”
Ia segera meraih ponselnya dan menghubungi Pras. Tapi belum sempat obrolan mereka berlanjut, pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Laras tertegun. Adrian muncul dengan wajah lelah, baru saja pulang setelah semalam menemani putranya, Enzio, yang sedang sakit di apartemen Kania.
“Mas Adrian? Kamu sudah pulang?” Laras menyapa dengan gugup.
Ia buru-buru memutuskan teleponnya, menyembunyikan layar ponselnya dibalik punggung.
“Sedang menelepon siapa?” tanya Adrian dengan nada dingin, tatapannya tajam.
“Oh, hanya rekan kerja,” jawab Laras cepat, berbohong dengan senyuman palsu.
Adrian mengangkat alis, menatap Laras sejenak.
Tapi, karena baginya apapun yang berhubungan dengan Laras sudah tidak lagi penting, ia memilih untuk tidak memperpanjang masalah.
“Tandatangani ini,” ucap Adrian, menyerahkan sebuah berkas ke tangannya.
Laras memandangi berkas itu dengan bingung. “Apa ini, Mas?” tanyanya.
Adrian tidak menjawab, hanya menatapnya dengan wajah dingin.
Laras membuka berkas itu dengan ragu, dan matanya langsung membulat saat membaca isi dokumen tersebut.
“C-cerai? Kamu mau menceraikan aku, Mas?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Masih kurang jelas? Atau perlu aku mentalakmu sekarang?” Adrian mendekati Laras, berdiri di depannya dengan tatapan menusuk.
Laras melangkah mundur, tubuhnya gemetar.
“Aku tidak mau! Aku menolak perceraian ini, Mas! Bagaimana bisa kamu menceraikan aku? Aku sudah menemanimu selama lima tahun tanpa pernah disentuh, dan sekarang kamu tega melakukan ini demi Kania dan bocah sialan itu? Kamu brengsek, Mas!”
Mata Adrian menyipit mendengar ucapan Laras. “Darimana kamu tahu tentang Enzio?” tanyanya tajam, alisnya bertaut.
Sadar dirinya keceplosan, Laras berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kalau kamu menceraikan aku, bagaimana dengan donor jantung kakek? Dia butuh itu, Mas! Umurnya nggak lama lagi–”
“Aku tanya darimana kamu tahu soal Enzio!” bentak Adrian, mencengkram kedua lengan Laras dengan kuat.
Matanya berkilat penuh kemarahan.
Dalam hati, ia semakin yakin bahwa Laras adalah sosok berbahaya, persis seperti yang pernah dikatakan oleh Gama, sahabatnya.
“Aku... aku sebenarnya...” Laras tergagap, mencari alasan.
“Jawab, Larasati!” seru Adrian, membuat Laras semakin gemetar.
Bukannya menjawab, Laras malah menangis tersedu-sedu, memeluk tubuh Adrian seolah memohon belas kasihan.
Adrian mendengus kesal. Ia muak dengan drama yang diperankan Laras.
“Kalau kamu tidak mau menjawab, tandatangani berkas itu. Aku sudah cukup bersabar. Serahkan pada pengacaraku, dia yang akan mengurus semuanya,” ucap Adrian dingin sambil melepas cengkeramannya.
Laras tiba-tiba memeluknya dari belakang, membenamkan wajahnya di punggung Adrian.
“Mas, jangan begini, kumohon… Aku tahu kamu nggak cinta sama aku, tapi tolong hargai pengorbananku selama lima tahun ini,” isaknya.
Adrian tidak bergeming, tatapannya kosong.
“Tidakkah kamu punya sedikit perasaan untukku, Mas? Tidak ada istri yang rela tidak disentuh oleh suaminya selama bertahun-tahun. Kumohon, pikirkan lagi. Pertimbangkan aku,” lanjut Laras dengan suara parau, mencoba menyentuh hati Adrian.
Adrian hanya terdiam, tatapannya dingin. Ia tidak tahu apakah rasa kasihan itu akan menggoyahkan keputusannya, atau justru meneguhkan hatinya untuk segera mengakhiri segalanya.