Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Malam Minggu
Winarsih mencuci piring sisa bekas makan siang dengan hidangan melimpah ruah yang semuanya hanya dimakan sedikit-sedikit oleh tuan rumah mereka. Setelah tuan rumah makan, Mbah meminta Tina menyusun semua lauk sisa di atas meja dapur ruang pegawai agar semuanya bisa segera makan.
Tapi Winarsih merasa tanggung kalau meninggalkan cucian piringnya yang sedikit lagi.
Kata Tina tadi, Pak Hartono kembali bertengkar dengan Dean.
Mbah yang mendengar hanya diam. Sedangkan Winarsih keceplosan dengan langsung bertanya kepada Tina, "Kenapa lagi Mbak?"
Mba Tina menjawab tidak tahu karena tak berhasil mendengar seluruh percakapan.
Pantas saja Tina pernah mengatakan kalau setiap Pak Hartono berada di rumah, Dean selalu jarang terlihat. Ternyata ini penyebabnya.
Tak beberapa lama setelah Winarsih menyelesaikan cucian piring, ia menuju ruang makan pegawai yang letaknya bersebelahan dengan dapur utama.
Masih hendak menyuapkan nasinya ke mulut, Rojak satpam pagar depan mengatakan seseorang menelepon dan mencari dirinya.
Winarsih bangkit mencuci tangan dan buru-buru pergi ke meja telepon pegawai yang letaknya persis di depan kamar Mbah.
"Win, nanti malam minggu, aku ke sana ya?" Suara pria yang dikenalinya sebagai Utomo langsung berbicara saat Winarsih baru mengatakan 'halo'.
"Iya Mas, sekitar pukul 8 aja ya. Kerjaan aku selesainya jam segitu," balas Winarsih.
Setelah mengiyakan dan menyetujui jam pertemuan mereka nanti, Winarsih kembali bergegas menuju ruang makan untuk melanjutkan mengisi perutnya.
Memasak berbagai macam jenis hidangan sendirian ternyata sangat melelahkan dan membuat dirinya kelaparan.
Ah, semoga Pak Hartono menyukai gulai ikan khas Jambi yang dibuatnya tadi, pikir Winarsih.
*****
Winarsih tak membawa pakaian yang banyak saat berangkat ke kota.
Tiga pasang pakaian terbaiknya yang biasa hanya digunakan Winarsih ke acara-acara penting di desanya, telah habis dipakainya untuk pakaian bekerja sehari-hari di rumah Pak Hartono.
Tak mungkin Winarsih mengenakan celana pendek bekas celana ayahnya yang digunting untuk bekerja di rumah mewah itu.
Alhasil, pakaian Winarsih nyaris hanya itu-itu saja. Sebegitu satu pasang pakaian kotor, Winarsih segera mencucinya dan menyampirkannya di jemuran kecil yang terletak di depan pintu kamarnya.
Kamar Winarsih benar-benar terletak di paling pojok sayap kiri rumah. Kamar itu hanya berbatasan langsung dengan lokasi parkir mobil-mobil mewah milik Pak Hartono. Hingga Winarsih tak perlu khawatir jika ada seseorang melihatnya menjemurkan pakaian dalam di depan kamar.
Lagi pula, rimbunan tanaman bambu kuning yang dipangkas rata dan memisahkan jalan setapak antara garasi dan kolam renang turut melindungi penampakan kamarnya.
Meski kata Tina kamar itu menyeramkan karena terletak paling belakang, Winarsih tak peduli.
Dia sangat menyukai kamar itu. Winarsih mengatakan kepada Tina, bahwa tak ada hantu yang menyeramkan di dunia ini. Hal yang paling menyeramkan itu adalah perut lapar tapi tidak memiliki uang untuk mengisinya.
Meski Tina tertawa sumbang mendengar perkataan Winarsih, tapi dia tahu kalau di dalam hati, perempuan itu pasti mengakui kebenaran ucapannya.
Saking sibuk dan padatnya waktu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Winarsih hampir melupakan soal malam minggu. Selesai makan siang yang terlambat itu, Winarsih bergegas pergi ke kamar untuk memilih pakaian yang akan dikenakannya nanti malam untuk bertemu Utomo.
*****
"Fiuhhh... Tak ada yang lain. Yang kupakai sudah ini-ini aja," Winarsih memegang salah satu rok berwarna biru.
Mereka baru saja selesai membereskan meja makan sisa makan malam Pak Hartono dan Bu Amalia. Dean malam ini tak menampakkan batang hidungnya. Winarsih tak mau ambil pusing soal itu.
Mbah mengatakan mereka sudah bisa kembali ke kamar masing-masing karena jam kerja dapur malam itu telah selesai. Winarsih tak sabar ingin bertemu Utomo.
Sejak tiba di Jakarta dan bekerja penuh selama hampir dua minggu, dia tak pernah melihat kota Jakarta yang katanya sangat sibuk di malam hari.
Sedari tadi Winarsih sibuk memikirkan, akan meminta Utomo mengajaknya ke mana lebih dulu. Winarsih ingin melihat Monas yang tersohor dan berjalan-jalan malam di Kota Tua yang sering dilihatnya di acara jalan-jalan stasiun televisi.
"Apa aku pakai yang ini lagi?" Winarsih memegang sepasang pakaian yang dikenakannya saat tiba pertama kali di Jakarta.
Setelah merasa yakin bahwa dia tak punya pilihan lain, Winarsih menuju kamar mandi untuk kembali membersihkan diri.
Meski sore tadi dia sudah mandi, tetap saja bermalam minggu itu dia harus beraroma sabun yang segar.
*****
"Win.... Winar....!" Suara Utomo terdengar memanggilnya dari luar kamar.
Winarsih yang sedang memoleskan lipstik merah jambu tipis-tipis ke bibirnya terperanjat mendengar Utomo yang tiba-tiba telah sampai di depan kamar.
"Loh Mas, kok boleh masuk sampai di sini sama Pak Rojak?" tanya Winarsih heran setelah membuka pintu kamar dan melihat Utomo sudah rapi jali dan harum semerbak bibit parfum murahan.
"Iya, tadi aku bilang cuma jemput kamu saja sebentar. Kita bakal keluar lagi." Utomo tersenyum sumringah melihat Winarsih yang malam itu tampak segar dan cantik.
"Ya sudah kita langsung berangkat saja. Sebentar aku ambil tasku dulu Mas...." Winarsih hendak masuk ke dalam kamar.
"Eh tunggu Win," ucap Utomo memegang lengan kekasihnya.
"Ya Mas?"
"Aku kangen."
"Trus?" tanya Winarsih tak mengerti.
"Masuk ke kamar kamu sebentar aja boleh? Aku mau cium kamu," ucap Utomo tersipu.
Mengingat kejadian tak enak soal pondok bekas pos ronda, Winarsih langsung menggeleng.
"Enggak Mas. Jangan ah. Aku nggak berani. Ini di tempat kerja Mas. Bisa dibilang ini kantorku. Aku nggak mau nanti orang-orang mikirnya aneh-aneh. Aku baru bekerja dua minggu tapi udah berani memasukkan pria ke kamarku," tolak Winarsih.
"Sebentar aja Win, cium aja." Utomo mendekatkan tubuhnya hingga nyaris menempel ke dada wanita itu.
Utomo yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam-putih dan celana bahan berwarna hitam tampak mulai mengeluarkan jurus mata sayunya yang sudah dihapal betul oleh Winarsih.
"Enggak. Kita langsung pergi aja. Aku kepingin liat Monas Mas!" Winarsih menarik lengannya untuk masuk ke dalam mengambil tas.
"Begini saja juga boleh." Utomo menempelkan tubuhnya ke tubuh Winarsih yang masih berdiri di depan pintu. Wanita itu mundur selangkah untuk sedikit menghindar, tapi tangan Utomo yang cekatan telah berada di bokongnya.
Roknya yang tipis bisa merasakan kalau tangan Utomo mulai mencoba merabanya.
"Sudah Mas, aku masuk dulu. Tasku masih di dalam."
"Win...." Utomo melangkah maju.
"Hei!! Ini rumah orang baik-baik, kalo mau buat nggak-nggak, jangan di sini. Seisi rumah bisa ikutan sial!" Suara Dean yang sangat dikenali Winarsih saat memaki tiba-tiba terdengar jelas dari sisi tanaman bambu kuning.
Di bawah remang cahaya lampu yang berasal dari kolam renang, Winarsih melihat anak majikannya itu menatap tajam dan tak suka ke arah Utomo.
To Be Continued.....
Kalau suka dan mulai masuk ke alurnya, jangan lupa difavoritin yaa...
Minta like, vote dan komennya juga kalau boleh ❤