Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ngejar Cinta Om Gus
Empat hari berlalu.
Semua santri dan warga sudah kembali ke rumah. Kini mereka tengah membersihkan tempat tinggal yang dipenuhi lumpur.
Banjir yang terjadi membawa banyak sampah sampai di lingkungan menumpuk. Tidak hanya itu, dedaunan, ranting-ranting serta bangkai dari hewan pun ikut serta.
Semua santri dibuat sibuk, tidak hanya membersihkan kobong, mereka juga harus membersihkan madrasah, mushola, mesjid, saung dan lingkungan.
Pekerjaan itu hanya berlaku untuk mereka, karena Balqis sejak tadi hanya duduk sambil menopang dagu. Dirinya memang diam tapi matanya ke sana sini memperhatikan semua santri.
"Hoam!"
Balqis tidak bergerak sedikit pun. Dia masih anteng di tempat duduk. Rasanya sangat malas untuk bersih-bersih, apalagi dia sudah puas satu minggu membersihkan lingkungan.
Semua Santri tidak ada yang menggubrisnya. Mereka membiarkannya seperti itu, karena bila memerintahnya yang ada akan menimbulkan masalah. Apalagi dia mudah marah.
"Ih, bangkai apa'an ini?"
"Sepertinya ayam,"
"Tapi ini terlihat seperti burung.' "
Balqis menoleh. Dia memperhatikan santriwati yang tengah mengerumuni sesuatu. Detik kemudian, menoleh ke rumah Fatimah yang sama tengah dibersihkan. Annisa juga ikut serta ada di sana.
"Kapan gue bisa pergi dari sini?"
Pikiran Balqis kembali berkecamuk. Dua sudah tidak betah terus tinggal. Namun mau bagaimana lagi? Penjagaan begitu ketat agar dia tetap tinggal.
"Qis!"
Lamunan Balqis buyar. Dia menggeser dirinya mempersilahkan Melodi duduk.
"Mel, lo betah tinggal di sini. Itu gara-gara apa sih?"
"Hmmm. Dulu pertama datang ke sini karena cinta. Awalnya aku seperti kamu yang ingin pulang, tidak betah dan pura-pura sakit agar dipulangkan. Namun setelah dua minggu tinggal di sini, aku menyukai Gus Zaigham,"
"Trus apa dong alesannya?"
"Karena setelah aku menyukai Gus Zaigham, aku selalu ingin melihatnya meskipun dari jarak jauh."
Balqis mengangguk paham. "Oh... Jadi gegara Gus Zaigham lo jadi betah di sini?"
"Nggak juga sih. Awalnya memang iya, tapi kelamaan aku betah karena semua teman-teman di kobong baik. Lalu pelajarannya juga tidak terlalu berat. Hapalannya juga ringan,"
Balqis kembali mengangguk.
"Coba deh, kamu juga menyukai seseorang di sini. Agar kamu mulai betah tinggal. Karena aku yakin setelah kamu nyaman kamu tidak ingin pulang,"
Balqis terdiam. Matanya juga melirik Alditra yang tengah membersihkan bunga-bunga. Dia memang mulai tertarik pada laki-laki itu, tapi tekad ingin perginya masih saja berkoar.
"Huh!"
Balqis menghela nafas gusar. Apalagi sekarang Annisa berdiri tidak jauh dari Alditra. Bila diperhatikan mereka memang terlihat sangat cocok.
"Balqis, aku kembali menyapu."
Melodi mengambil sapu lidinya. Kemudian menyapu tidak jauh dari Balqis yang melamun. Pikirannya berkecamuk memikirkan Alditra.
"Ck... Kenapa mesti dia sih? Padahal gue kan bisa milikin cowok yang sempurna. Kaya raya, pendidikan yang tinggi, punya gelar. Tapi kok kenapa hati gue tetiba jadi tertarik sama Om Gus sih? Dia yang nggak sempurna, yang nggak bisa jalan, nggak bisa ngomong juga.."
"Dan Entah kenapa matanya itu loh beda banget sama yang laen. Meskipun dia ceuk, judes, tapi itu yang buat dia jadi sesuatu yang unik. Masalah fisik pun nggak bakalan jadi masalah buat gue.."
Senyuman Balqis menyungging manis. Matanya masih menatap Alditra yang terlihat begitu tampan. Cahaya matahari seakan-akan menyorotinya sampai bersinar. Tidak hanya itu, kupu-kupu secara tiba-tiba ikut serta memberikan kesan yang indah.
"Hah... kalo gue emang beneran jatuh cinta sama dia. Udah pasti Gue nggak bakalan bisa dapetin dia. Saingan gue bukan orang berduit, melainkan orang yang berilmu. Dia seorang Ning, sedangkan gue?"
Bibir Balqis mengerucut. Dia mendadak kesal bila mengingat dirinya bukan saingan tepat Annisa.
Balqis menghela nafasnya beberapa kali dengan berat. Kemudian mengambil sapu dan membersihkan dedaunan. Bukan membantu tujuannya, melainkan mendekati Alditra.
"Dor!"
Alditra langsung menoleh.
Degh!
Deg-deg-deg
Jantung Balqis seketika berdebar kencang setelah mengagetkan. Dia pun membalikkan badannya. Dia sangat terkejut melihat senyuman Alditra untuk kedua kalinya dengan jarak begitu dekat.
"Eh!"
Balqis kembali menoleh saat Alditra menarik ujung kerudungnya.
"Apa?"
Alditra menunjuk gunting yang terjatuh. Kali ini Balqis berhasil membuatnya terkejut sampai gunting yang dipegangnya lepas.
"Om Gus, lo kaget ya?"
Alditra mendengus kesal. Dia pun mengangguk pelan sebagai pengakuan.
"Hore!!"
Semua orang menoleh bersamaan. Mereka terkejut melihat Balqis riang gembira, bahkan saking senangnya dia sampai loncat-loncat sambil berjoget.
"Astagfirullahaladzim" Alditra memijit keningnya yang terasa sakit. Kemudian menarik kerudung Balqis agar berhenti karena menjadi pusat perhatian.
"Ini rekor kedua gue Om Gus," Balqis berkacak pinggang dengan angkuh.
"Hah... Pertama, Gue udah bisa buat Om Gus senyum. Trus kedua Gue udah bisa buat Om Gus kaget. Ah, gemesin deh!"
Alditra mengeluarkan bukunya. Kemudian menulis di sana.
(Poin yang bagus. Lalu apa selanjutnya?)
"Hmmm," Balqis mengetuk-ngetuk dagunya.
"Gue bakalan buat lo ketawa. trus ngejar cinta Om Gus deh. Hihihi."
Mata Alditra membulat sempurna. Perkataan terakhir Balqis terdengar konyol.
(Heh, saya udah mau nikah dengan Annisa. Tidak mungkin kamu bisa mendapatkan cinta saya.)
"Ck! Baru aja gue ngomong lo udah nolak gue duluan." Balqis memalingkan wajahnya.
"Hah... Udahlah. Gue mundur, Gue udah ditolak sebelum berjuang."
Balqis langsung membalikkan badannya. Dia pergi dengan perasaan dongkol. Perasaannya mendadak hancur. Dia merasa cintanya pecah berkeping-keping.
"Awas, Lo ngalangin jalan gue!"
Semua orang yang melihat Balqis minggir. Moodnya seketika berubah menjadi sangat menakutkan.
Alditra yang melihat tingkah Balqis menghela nafasnya. Bukan menolak maksudnya, melainkan memang faktanya. Dia kira, Annisa akan menolak perjodohan ini. Namun ternyata dia menerimanya dengan senang hati.
Brak!
Balqis membanting pintu kamar. Kemudian membungkus dirinya dengan selimut. Rasa nyaman tempat tidurnya kembali menyapa setelah empat hari tidur di karpet.
Hiks! Hiks!
Balqis segera menghapus air matanya yang tiba-tiba lewat di sudut matanya.
Ck... Apa'an sih. Kok gue jadi cengeng gini sih? Mana Balqis yang biasanya kuat?!
Balqis kembali membuka selimutnya. Dia mengusap air matanya sampai hilang tidak tersisa.
"Kamu nangis, Qis?"
"Nggak."
Balqis membuang wajahnya. Dia kira di kamar hanya ada dirinya, tapi tanpa dia sadari Raras tengah duduk anteng di dekat lemari sambil menghitung jumlah uang untuk memasak hari ini.
"Ngapain lo di situ?"
"Nggak ada. Cuman lagi lihatin kamu yang tiba-tiba masuk kamar, membungkus diri, lalu nangis,"
"Sejak kapan lo ada di situ?"
"Dari tadi."
Puk!
Balqis menepuk jidatnya. Dia benar-benar bertingkah konyol gara-gara Alditra yang menolaknya duluan. Padahal dia belum mengatakan cinta sama sekali.
"Sialan, laki-laki itu so kecakepan banget!"
Kening Raras mengerut. Dia keheranan melihat Balqis yang bibirnya komat-kamit seperti membaca mantra. Apalagi wajahnya ditekuk dan tangannya di silangkan di dada. Sangat jelas dia terlihat marah.
"Kamu kenapa sih, Qis?"
"Nggak kenapa-kenapa."
"Cinta kamu ditolak?"
Balqis menoleh. "Ck... Jangan so tahu lo,' "
"Bukan so tahu. Tapi bila memang benar seharusnya kamu sadar. Siapa kamu? Bagaimana dirimu? Bisa saja seseorang yang menolak kamu tidak suka dengan sikap kamu. Coba kamu rubah sikap dan sifat kamu, siapa tahu bila kamu menjadi lebih baik dia akan cinta,"
Balqis yang mendengar perkataan Raras terdiam. Kemudian memutar otaknya dengan cepat. Dia masih ingat bagaimana perempuan yang diinginkan Fatimah? Iya, perempuannya seperti Melodi.
"Qis, kamu memang baik. Tapi mungkin ada sesuatu yang kurang dari kamu."
Balqis mengangguk pelan. Perkataan Raras seakan-akan masuk ke otaknya.
Yuz... Gue harus belajar berubah. Siapa tahu Om Gus tiba-tiba cinta sama gue. Hahahaha.
"Qis!"
Raras yang melihat Balqis tertawa sendirian bergidik ngeri. Dia pun membawa uang yang barusan dihitungnya pergi keluar.
Om Gus, tunggu gue. lo bakalan kaget liat gue yang berbeda. Hahahaha.
Lihat saja Om Gus, Gue bakalan berusaha ngerubah diri gue. Dan lo bakalan kehilangan sosok gue yang sekarang. Lo cuma bakalan kenal sama diri gue yang berbeda.
"Aku Balqis. Gue bisa ngelakuin apa pun yang gue mau. Bahkan gue bisa buat lo kaget gara-gara nggak ngenalin gue. Hahahaha."
Setelah mendapatkan ide hasil perkataan Raras barusan. Balqis pun menghampiri lemarinya. Dia memperhatikan semua bajunya.
"Mulai sekarang gue harus pake gamis Kayak Annisa."
Bqis memisahkan gamisnya dengan baju yang lain. Tekadnya sekarang bulat akan merubah diri, tidak seperti kemarin yang hanya meminta Melodi untuk membantunya berubah tapi tidak dilakukan.
Memisahkan baju sudah selesai. Kini dia mengambil buku dan mencoba menghapal semua do'a-do'a yang sudah ditulisnya. Dia memaksa otaknya agar mengingat. Apalagi sudah lama dia tidak belajar menghapal karena sangat tidak menyukainya.
*****
Semenjak Balqis merasa cintanya ditolak Alditra sebelum mengungkapkan. Dia lebih banyak diam di kamar dengan buku. Bukan menghapal melainkan merusaknya karena doa-doa yang dibacanya tidak masuk ke otak.
Dia mengurung dirinya sendiri dan keluar bila mengaji. Hal itu dilakukannya agar Alditra sadar bahwa perkataannya melukai hatinya.
Kemudian dia minta maaf dan mulai mencintainya. Huh, bayangan yang indah di kepalanya sampai tidak sabar ingin melihat Alditra dengan wajah memelas memintanya untuk mengganggu lagi.
Mungkin bila orang-orang mengetahui pikirannya, mereka sudah menyebutnya dengan sebutan licik. Iya, tidak seperti itu bagaimana? Dia sengaja mendadak berubah agar Alditra merasa kehilangannya.
Padahal sejauh ini mereka tidak saling kenal, mereka hanya kenal ketika Balqis menjahili saja.
Akan tetapi di satu sisi, Balqis sendiri merasa dirinya berbeda. Setiap ceramah yang didengernya masuk ke otak, kemudian merasa dirinya memang bersalah. Dan tidak hanya itu, dia lebih sering mendengar ceramah.
Meskipun seperti itu, dia tetap harus banyak mengontrol diri agar tidak bertingkah seperti biasanya. Memang sangat sulit untuknya belajar lembut, namun dia yakin suatu saat nanti bisa seperti Melodi.
"Kau seperti orang gila, Qis. Senyum-senyum sendirian," ucap Amel.
Balqis melirik dengan malas. "Lo nggak pernah liat orang bahagia, ya?" sahutnya sambil beranjak dan sebisa mungkin mengontrol dirinya agar tidak berwajah ketus. Dia pun kemudian membuka lemari dan mengeluarkan satu poster.
"Jangan dipajang!"
Baru saja Balqis melebarkan poster itu, suara bariton Siska terdengar nyaring di ambang pintu.
"Ck... Di deket tempat tidur gue boleh ya? Mereka suami fue. kangen banget sama mereka,"
"Tidak boleh."
Balqis menghela nafasnya. Dia lagi-lagi harus menahan rasa kesalnya seperti biasa. Kemudian menggulung kembali poster itu. Dia tahu, Siska tidak akan mengizinkannya meskipun memasang wajah memelas.
"Ya, sudah. Kamu boleh memasangnya."
Mendengar izin dari Siska membuat Balqis berjingkrak senang. Dia pun menghampirinya dan memeluk beberapa kali, kemudian segera mengambil semua poster dan memasangnya.
Siska dan Amel saling lirik. Mereka keheranan melihat tingkah Balqis yang berbeda. Apalagi sudah beberapa hari ini dia mengurung diri dan tidak banyak bicara seperti biasanya.
Diamnya Balqis yang mendadak membuat orang-orang kebingungan, mereka lebih menyukai Balqis yang bawel meskipun menyebalkan. Karena itu membuat keadaan tidak sepi.
Setelah beberapa menit, akhirnya semua poster terpasang di dinding. Balqis begitu senang karena semua photo-photo suaminya terpajang kembali.
"Liat, Mereka tuh ganteng banget kan?"
Siska hanya mengangguk saja. Matanya masih memperhatikannya yang kini membaringkan diri.
"Hahaha. Sekarang gue bisa tidur nyenyak!"
Dalam hitungan detik, suara lembut terdengar. Balqis sudah masuk ke alam mimpi indahnya meninggalkan Siska bersama yang lain.
"Mel, akhir-akhir ini Balqis berbeda. Apa ada yang salah dengannya?" tanya Siska.
Melodi menyimpan beras yang dibawanya. Dia juga menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu. "Aku memang dekat dengannya. Tapi Balqis tidak pernah cerita tentang kehidupan pribadinya,"
"Coba deh kamu tanya dia. Aku merasa heran dia mendadak berubah," ujar Siska.
"Bukannya itu bagus, ya? Bila Balqis seperti itu?" tanya Melodi. "Malahan Aku senang melihatnya,"
"Memang itu bagus bila Balqis berubah. Tapi bila mendadak dalam semalam kita keheranan. Dia mendadak jadi manis dan baik, bukannya kita senang malah takut dengan perubahannya," jawab Siti.
"Iya. Kita kira Balqis akan sedikit demi sedikit bila berubah, tapi ini dalam semalam langsung merubah. Kita kan jadi ketar-ketir," timpal Raras.
Melodi terdiam. Dia menatap Balqis yang masih anteng tertidur pulas tanpa terganggu obrolan mereka.
"Sepertinya aku rindu Balqis yang dulu. Meksipun dia sering pamer harta, ceplas-ceplos, banyak gaya, tapi itu membuat keadaan rame. Sekarang semenjak dia seperti itu, kamar menjadi sepi. Bahkan seperti kuburan," ucap Siti. "Rindu aku sama dia yang dulu."
Melodi mengangguk paham. Dia sendiri tidak tahu kenapa Balqis berubah secara mendadak. Dia tidak pernah cerita padanya ada apa dan mengapa?
***
Sore ini, Balqis berangkat ke rumah Maryam paling dulu. Dia mendadak semangat untuk belajar ngaji.
Tap!
Langkahnya terhenti. Kemudian bersembunyi sambil mengintip memperhatikan rumah Fatimah.
Dia begitu penasaran melihat Alditra yang tengah memperhatikan sebuah kotak berwarna merah.
"Apaan tuh?"
Dia yang semakin penasaran berjalan mengendap-endap. Dia maju beberapa langkah agar mendengar obrolan mereka. Apalagi kotak itu membuatnya semakin penasaran.
"Aby akan tentukan tanggal lamaran kalian. Lamaran akan diadakan sebelum Annisa kembali ke Kairo," ucap Fatimah.
Alditra hanya terdiam. Kemudian menyimpan kotak itu dan mengambil sebuah cincin. Dia tidak bisa menolak karena takut melukai hati Annisa.
"Umi, apa ini tidak terlalu cepat? Alditra harus melamar," tanya Azizah.
"Tidak. Itu malahan bagus, biar Al mempunyai teman bicara dan membantunya." jawab Fatimah.
Azizah pun terdiam. Dia menatap Alditra yang terlihat tidak suka dengan acara yang akan dilakukan nanti. Apalagi sorot matanya begitu berbeda.
"Bagaimana, Al? Kamu mau pilih cincin yang mana untuk Annisa?" tanya Fatimah.
Alditra tidak menjawab. Bahkan dia tidak menyukai cincin yang sudah disiapkan Fatimah. Dia ingin memilih sendiri dengan tangannya, bukan disuruh memilih satu di antara dua.
Cekitt!
Mereka yang tengah sibuk dibuat menoleh bersamaan saat sebuah mobil berhenti.
Tap!
"Bunda!"
Halimah yang baru turun dari mobil langsung menghampiri. Dia juga menyalami tangan Fatimah, Azizah dan Alditra.
Sebisa mungkin dia terlihat biasa saja dan bahkan menyunggingkan senyuman. Padahal dalam hatinya sangat rapuh. Apalagi teras rumah yang tengah diinjaknya adalah rumah yang pernah ditempatinya dulu.
"Teh, aku datang ke sini untuk memastikan. Apa benar Ning Annisa menerima Al?"
Fatimah mengangguk. "Iya. Annisa menerima Al dengan baik. Dia bersedia menjadi istrinya. Tapi sekarang hanya lamaran saja, karena nikahnya nanti setelah Annisa benar-benar selesai urusannya di Kairo."
Halimah menghela nafasnya berat. Sebenarnya dia tidak setuju adanya perjodohan ini, namun keinginan Fatimah tidak bisa digubrisnya.
"Mbak, nanti kamu harus datang," ucap Fatimah.
"Kapan acaranya?" tanya Halimah.
"Nanti aku akan kabari setelah aby menentukan tanggal." jawab Fatimah.
Halimah mengangguk. Kemudian duduk di dekat Alditra yang menatap lurus ke depan.
"Zizah, buatkan teh untuk Bunda," titah Fatimah.
Azizah beranjak dari duduknya. Dia masuk ke dalam disusul Fatimah. Mereka memberikan waktu untuk Halimah dan Alditra untuk mengobrol.
"Al, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah, pilihan ibu kedua kamu adalah yang terbaik. Dia melakukan ini karena tidak ingin kamu sendiri," ujar Halimah.
Alditra menoleh. Dia menatap Halimah dengan tatapan hangat. Kemudian meraih tangannya dan digenggamnya dengan erat.
"Al, apa pun yang terjadi Bunda akan selalu ada untuk kamu."
Halimah tahu, putra satu-satunya itu tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Bibirnya bukan hanya kelu, akan tetapi sakit ketika berusaha mengeluarkan suara.
Tapi dia tahu, bagaimana perasaannya. Dan ida sendiri yakin pilihan Fatimah akan menjadi yang terbaik. Apalagi dia sangat pandai menilai serta memilih seseorang.
"Al, Bunda tahu kamu tidak mencintainya. Tapi belajarlah buka hatimu agar cintanya perlahan masuk ke dalam dirimu."
Alditra menghela nafasnya. Kemudian memalingkan wajahnya. Dia tidak tahu harus apa mengenai tentang cinta itu, karena dia sendiri kebingungan dengan hatinya.
Degh!
Mata Alditra membulat. Dia melihat Balqis tengah menguping di balik pohon. Meskipun tidak bisa mendekatinya, tapi dia bisa melihat ada raut yang berbeda darinya.
"Aku sudah lama tidak melihat Balqis."
Tidak lama dari itu, Balqis pergi meninggalkan tempat bersembunyinya. Dia hanya bisa diam memperhatikan, tidak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan.
"Al, Bunda akan carikan baju yang bagus untuk kamu. Setelah Bunda mendapatkannya, Bunda akan langsung memperlihatkannya padamu. Bunda akan cari yang pas sesuai kesukaan kamu."
Alditra mengangguk. Dia setuju dengan perkataan Halimah tentang baju bagus. Apalagi dia tidak sempat memikirkan akan memakai baju mana.
"Semoga ini yang terbaik. Bila memang Annisa jodoh saya, maka izinkan saya mencintainya."
Halimah yang melihat Alditra terdiam mengusap pucuk kepalanya.
"Percayalah, bila pilihan Umi yang terbaik. Karena Bunda yakin pilihan Umi adalah pilihan aby juga."
Alditra kembali menoleh. Dia dapat melihat raut sedih dari kedua mata Halimah saat menyebut panggilan mantan suaminya. Dia pun mengambil buku dan menulisnya di sana.
(Apa Bunda merindukan aby?)
Halimah menggeleng cepat. "Tidak. Bunda sama sekali tidak merindukan seorang laki-laki yang sudah menjadi suami perempuan lain."
(Tapi mata Bunda?)
"Al, perpisahan yang terjadi di antara aby dan Bunda itu real keinginan kita berdua. Tidak ada pihak ketiga atau permasalahan. Melainkan keinginan kita yang merasa sudah tidak cocok lagi."
Alditra yang mendengarnya mengangguk pelan. Dia percaya dengan perkataan Halimah yang tidak mungkin berbohong. Akan tetapi kenapa dia terlihat sedih?