NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22.22

Jam menunjukkan hampir pukul satu pagi ketika Roats akhirnya bangun. Terlihat dari raut wajahnya yang sangat kebingungan dan sedikit heran, dia berusaha mengingat kenapa bisa sampai tertidur. Aku hanya diam, melayangkan kuas di atas kanvas, mencoba tetap tenang. Evan telah melakukan semuanya dengan bersih.

“kenapa bisa tertidur?” tanya Roats sambil mengusap wajahnya, masih setengah sadar.

Aku melirik sekilas ke arahnya, berusaha menahan senyum lega. “Entah, mungkin saking mengantuknya, awakmu juga sudah mendatangi kamar ini dua kali memastikan kamu baik-baik saja.”

Roats memandang sekeliling, mencoba mencari petunjuk tentang apa yang terjadi. Namun, Evan telah memastikan tidak ada jejak apapun yang mencurigakan. “Masih lama?” gumamnya sambil menggelengkan kepala, mencoba membangkitkan kesadarannya.

“Duduk saja, tinggal menyelesaikan beberapa,” ujarku sambil terus melukis, berusaha menjaga nada suaraku tetap santai dan ramah. Untung saja aku sudah menyiapkan sebagian lukisan Anindya.

Roats menghela napas panjang dan duduk tegak, menyesap air dari botol di dekatnya. “Segera selesaikan.”

Aku mengangguk dan terus bekerja dengan kuasku, melayangkan warna di atas kanvas dengan penuh konsentrasi. Sementara itu, Roats duduk diam, masih mencoba mengumpulkan pikirannya. Dalam hati, aku berterima kasih pada Evan yang berhasil menutupi semuanya dengan baik.

Selama beberapa jam berikutnya, aku melukis dengan fokus yang penuh, sementara Roats tampak semakin tenang dan kembali menikmati proses tersebut. Keheningan di antara kami terasa nyaman, seolah semua yang terjadi tadi hanyalah mimpi buruk yang perlahan memudar.

Ketika akhirnya selesai, aku berdiri dan mengamati hasil karyaku dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa puas dengan lukisan yang tercipta. Di sisi lain, bayangan kejadian tadi masih membayangi pikiranku. Hatiku terus menerus merasa bersalah atas lukisan yang baru aku selesaikan.

“Luar biasa,” kata Roats tiba-tiba, memecah keheningan.

Aku mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam hatiku. “Tapi kamu gak bisa bawa itu sekarang, karena harus dipemanas.”

Roats berdiri dan meregangkan tubuhnya, masih tampak sedikit lelah. “Aku harus pergi sekarang. Ada banyak hal yang harus kuurus.”

Saat pintu menutup di belakangnya, aku menghela napas panjang. Sekarang, yang perlu aku lakukan adalah memastikan semua ini tidak sia-sia.

“Bagaimana?” Ebra datang mendekatiku, turut melihat kepergian mobil Roats. “Dia curiga?”

Aku menggelengkan kepala. “Sepertinya aku harus ke rumah sakit sekarang.”

Saat aku berjalan beberapa langkah, Ebra menghalangiku. “Sekalian besok pagi.”

Aku menerobos tubuh Ebra. Untuk saat ini pikiranku benar-benar berkecamuk. Entah antara memikirkan keadaan Anindya, atau mengkhawatirkan Eja yang menunggu di rumah sakit.

“Bantu Evan menyelesaikan semua, aku juga akan mengusahakan tugasku.” Kakiku melangkah cepat begitu saja. Setelah mengambil tas dan jaket, aku segera pergi membawa sepeda motor milik teman Ebra.

...****************...

Aku melaju menuju rumah sakit, menabrak angin malam dengan kecepatan yang lumayan kencang. Pikiranku dipenuhi kekhawatiran yang berkecamuk, membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Sampai di rumah sakit, pemandangan pertama yang kutangkap adalah Eja yang duduk lemas di trotoar depan rumah sakit. Hatiku semakin terenyuh melihat kondisinya.

Langkahku semakin cepat mendekatinya. Di sana, kulihat Eja menggenggam handphone Anindya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menghisap rokok. Asapnya melayang lambat, kontras dengan kegelisahan yang terlihat jelas di wajahnya.

"Eja," panggilku lembut, mencoba menarik perhatiannya.

Dia mengangkat wajahnya perlahan, mata merah dan penuh kelelahan. "Elija," suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Ngapain ke sini lagi?"

"Aku hanya ingin memastikan Anindya baik-baik saja," jawabku, duduk di sampingnya, di trotoar yang dingin. "Dan juga memastikan kamu baik-baik saja,” lanjutku namun berujar di dalam hati.

“Menurutmu, dia bakal baik-baik saja nggak?” Eja membuang putung rokoknya ke sembarang tempat.

Aku menggeleng. “Nggak, kalau seandainya dia tau kamu begini.” Aku bingung apa yang harus keluar dari mulut jika diberi pertanyaan seperti itu, sedangkan aku sendiri ingin sekali jadi tokoh yang yang ditanyakan keadaannya oleh Eja.

“Justru aku mau dia tahu aku jadi begini kalau dia sampai harus masuk ke rumah sakit seperti ini. Biar kedepannya dia berhati-hati dan gak ngulangin hal yang sama. Jujur setiap hari aku dibuat gelisah. Aku selalu jadi buntut kemana pun dia pergi, gapapa walau gak terlihat. Apa yang sedang dibicarakan? Apa yang sedang dilakukan? Itu yang selalu berputar-putar di otakku saat lihat dia menemui Roats. Terkadang aku lihat dia senang dengan jutaan rasa paksaan, terkadang dia nampak tertekan seolah sedang minta tolong, sedangkan aku hanya bisa diam karena kepengecutanku.” Eja mengatakan hal itu dengan penuh rasa penyesalan dan keputus asaan. “Malam itu dia milih pergi tanpa menjelaskan apapun sehingga jati diriku yang harus mencari tahunya sendiri. Tapi yang kulihat malah sesuatu yang kedepannya pasti kusesali,” lanjutnya.

Tanganku bergerak mamang menggosok pelan punggung Eja yang terasa rapuh. Andai dia tahu mendengarnya bercerita seperti ini malah membuatku ingin mencabik hati.

"Boleh pinjam HP Anindya?" tanyaku, mencoba terdengar sesantai mungkin.

Eja tanpa berpikir panjang langsung menyerahkan handphone itu padaku. Tanpa ragu, aku membuka layar kuncinya, mengetikkan angka-angka yang sudah kukenal. Layar segera terbuka.

"Kok kamu tahu sandi hpnya?" Eja heran, matanya penuh tanya.

"Hanya menebak-nebak," jawabku singkat, sambil berpura-pura memeriksa pesan yang masuk.

“22 22?” Eja menyebutkan sandi handphone Anindya, lantas menghela napas panjang. “Itu angka kesukaanku.”

“Angka kesukaan kita.” Aku menyahut, berhenti menggulir handphone Anindya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

9 tahun yang lalu

“Elija!” Bisikan Eja nyaris berteriak namun tetap berhati-hati dari sela jendela kamarku. Aku yang semula menulis di meja belajar langsung membuka jendela.

“Kamu ngapain?” tanyaku heran, karena saat itu Eja mengendap-endap bak pencuri. Saat itu malam pukul 10. Eja membawa kantong plastik isi rainbowcake kue yang ramai pada zamannya. Dia mungkin diam-diam memanggilku darri jendela, karena dulu ibu dan ayah melarang keras aku untuk keluar diatas jam delapan malam.

“Ayo tiup lilin bareng, ayah beliin aku kue, kita bagi bersama, kan, ultah kita samaan.” Eja menarik tanganku. Jujur waktu itu aku takut. Takut ayah tau terus marah, dan takut ibu ikut diamarahi ayah karena gagal memastikan aku aman dan sudah tidur. Apalagi, setiap malam ayah sering mampir ke kamar buat memebreskan bukuku dan memeriksa tugas sekolahku.

“Jangan, kalau ayah tau marah. Pasti nanti baliknya larut.” Aku menyangkan Eja dengan suara gemetar.

“Nggak, nanti jam setengah sebelas kita pulang.” Eja meyakinkan aku. Jelas saat itu aku bingung. Biasanya normalnya orang ngerayain ulang tahun itu di jam 12 malam pas, tepat di pergantian hari.

“Jam setengah sebelas?” tanyaku heran.

Eja menggelengkan kepalanya cepat. “Kita rayain jam 22.22.”

“Kok, jam 22.22?” Aku semakin terheran.

“Kata ibu kita lahir jam 22.22, jadi ngerayainnya jam segitu.”

Eja kembali menarik tanganku agar segera keluar lewat jendela. “Nanti kalau ayahmu tahu, aku tanggung jawab, janji.”

Saat itu seharusnya aku tidak gampang mempercayai ucapannya begitu saja. Aku dan Eja pergi ke taman belakang rumah, setelah meniup lilin, belum sempat aku mencicipi kuenya, ayah sudah menjemputku. Ayah marah besar tapi Eja hanya diam dan menundukkan kepala. Semenjak itu, pintu dan jendela kamarku selalu dikunci dari luar setelah lewat jam delapan malam. Tapi sayangnya itu bukan sebuah trauma kecil bagiku, seharusnya saat itu aku membenci Eja karena tidak menepati janjinya, tapi aku malah tetap mendengarkan beberapa janji lain sesudahnya. Itu bodohnya aku.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semenjak kejadian itu aku dan Eja tidak pernah merayakan ulang tahun bersama. Hanya mengucapkan “Selamat ulang tahun” untuk diri sendiri, tepat di jam 22.22.

Aku menatap langit “Aku masih bergumam sendiri ngucapin ulang tahun untuk diri sendiri jam 22.22.”

“Untuk apa merayakan usia yang semakin bertambah semakin banyak keruwetannya,” balas Eja menyeringai. “Bahkan ulang tahunku pun, aku sudah lupa.”

Tanganku mengepal, suara hatiku saling bersahutan. Kalau dia tidak ingin mengingat ulang tahunnya, setidaknya dia juga tidak perlu mengakui hal itu padaku yang selalu mengingat waktu ulang tahun karenanya. Hidupku juga begitu, ruwet. Tapi aku mengingat bukan karena aku ingin merayakan kesulitan hidup, melainkan agar aku gak lupa sama setiap tahun yang aku jalani tanpa seorang Eja. Semua kusangkut pautkan dengan 22. 22. Aku menyelesaikan lukisan pertamaku jam 22.22, itu lukisan semangka pertama yang kubuat sepanjang hidup, kenapa aku melukis semangka? Karena bagiku semangka punya sejarah penting dalam ingatan masa kecilku. Aku juga sedang mencoba menulis buku pertamaku yang sampai saat ini belum kuselesaikan, judulnya 22.22. Entah kenapa terbesit angka itu. Tapi kini Eja dengan mudahnya bilang begitu.

“Lalu kenapa kamu suka angka 22.22?” tanyaku mengalihkan pikiran.

“Karena itu jam pertemuan pertamaku dengan Anindya. Pertemuan yang sama sekali tidak sengaja. Tepat di ampitan dua pohon beringin kembar. Di situ aku aku mulai tertarik dengan seorang Balerina cantik yang sekarang sedang terkapar,” jawab Eja

benar-benar berhasil mengguncang tubuhku. “Tanggal 22 bulan February, tahun 2022, tepat di jam 22.22 aku mengungkapkan cinta ke Anindya. Mungkin itu alasan dia menjadikan angka itu syarat membuka handphonenya.”

“Apa itu juga jadi alasan Anindya selalu memutuskan untuk bertemu Roats di jam 22.22?” tanyaku berusaha mengabaikan beberapa pencabikan pada hatiku.

“Aku rasa dia tahu, kalau aku selalu membuntutinya kemana-mana.” Eja menjawab dengan begitu yakin. Bisa jadi seperti itu, mungkin bentuk isyarat kecil dari Anindya agar Eja mudah menemukannya.

Aku menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangan dan mengabaikan isak tangis yang sangat ingin sekali kukeluarkan. "Mari kita lihat isinya."

Eja mengangguk dan aku kembali fokus pada handphone Anindya. Ketika aku membuka galeri di handphone Anindya, mataku menangkap sebuah folder tersembunyi. Rasa penasaran membawaku untuk membuka folder tersebut. Di dalamnya, terdapat beberapa foto gedung kosong yang Anindya ambil. Tiap foto disertai catatan waktu yang tertulis rapi di bawahnya.

Aku memandang foto-foto itu dengan cermat. Gedung-gedung dalam foto tampak terbengkalai, penuh dengan debu dan bayangan gelap. Beberapa foto menunjukkan lorong-lorong panjang dengan jendela yang pecah, sedangkan yang lain menampilkan ruangan besar dengan lantai yang retak dan dinding yang penuh coretan.

Pikiranku berputar-putar mencoba merangkai petunjuk-petunjuk ini. Mengapa Anindya mengambil foto-foto gedung kosong ini? Apa hubungannya dengan Roats?

Eja mengernyit, ikut memandangi foto-foto itu dengan intens. “Sepertinya aku tahu tempat ini. Bberapa kali aku mengikuti Anindya dan Roats masuk ke gedung ini.”

“Pasti dari vidio-vidio ini Anindya mencoba untuk mengungkapkan sesuatu, Kamu inget, kan? Tempatnya?” ucapku bersemangat.

Eja mengangguk. Tidak lama kemudian Baskara datang dengan terengah-engah. “Ebra maksa aku buat nyusul kamu ke sini.”

Aku tersenyum simpul melihat Baskara yang nekat datang walau tadi kularang.

Lalu aku dan Eja bangkit dari tempat duduk, siap mencari jawaban dari misteri yang menyelimuti gedung-gedung kosong ini.

...****************...

1
Kustri
lucu jg takut ama tanah basah☹️
Kustri
awal yg unik
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!