Dianella terpaksa harus menikah dengan pria buruk rupa yang berwajah menyeramkan. Juga terkenal misterius dan kasar. Pria itu tak pernah mau menunjukkan wajah aslinya, ia selalu menutupinya dengan rambutnya yang panjang.
Arsenio, pria yang memiliki banyak bekas luka bakar di wajahnya merasa tak pantas menikmati hidup. Ia selalu mengurung dirinya di sebuah ruangan. Tak mau melihat keindahan di luar. Hingga datanglah Dianella, gadis pemberani yang setiap hari membuat dirinya murka atas kelakuan-kelakuan konyolnya.
Akankah sosok Dianella mampu membuat Arsenio memperlihatkan wajah aslinya????
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 MENCARI KEBAHAGIAAN
Malam bertabur bintang di langit. Bulan menjadi saksi kesunyian hati yang ia rasakan. Langit pura-pura tak mendengar jeritan-jeritan kegundahannya.
"Tidur! Besok kamu mulai kerja di tempat Kakak," ucap Celand saat ingin naik ke ranjangnya.
"Aku mau keluar dulu, Kak. Cari angin." Begitu alasannya, padahal Anell ingin menghubungi seseorang.
Tak sampai panggilan itu terangkat, Anell langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Apa yang kau cari sih, Anell!!! Kau sudah terbebas dari pernikahan paksa itu. Seharusnya kau senang! Kau bisa melanjutkan hidup seperti semula lagi!"
.
.
.
Keesokkan harinya, di pagi hari yang cerah. Suasana butik kala itu sudah ramai, banyak para pelanggan yang datang awal untuk memesan baju. Mereka terdiri dari pasangan, orang tua atau pun anak muda.
"Nona Celand, saya sangat suka dengan gaun ini. Bisakah Anda membuatnya satu gaun lagi persis seperti ini?" Seorang pelanggan wanita terlihat kagum dengan desain baju yang dibuat Celand, dia seperti menemukan sebuah harta karun yang sangat berharga.
"Bisa, Nyonya," jawab Celand dengan raut wajah yang bahagia. Dia merasa bangga dengan dirinya sendiri. Usahanya selama ini tidak mengkhianati hasil.
"Baiklah. Ini akan saya pakai saat acara pernikahan mami saya. Dan saya ingin memakai gaun yang sama dengan putri saya."
Celand langsung melongo mendengar penuturan pelanggannya tersebut. Tidak menyangka bahwa seorang wanita paruh baya itu akan menyaksikan ibunya menikah lagi.
"Kira-kira nyonya itu umur berapa? Kuat banget, mau menikah lagi."
Wanita cantik itu menundukkan kepala sesaat pelanggannya pergi. Lalu ekor matanya menangkap adiknya yang sedang berada di sudut ruangan.
"Anell!!!" panggilnya pada adiknya dan Anell langsung lari menghampiri.
"Iya, Kak," sahutnya dengan suara kecil.
"Tugasmu apa? Kenapa terus disitu?" Ia sebenarnya tak paham tugas apa yang harus dirinya lakukan. Anell terus berada di ruangan kakaknya.
"Kamu ke bawah, bantu karyawan lain," perintahnya.
Gadis muda itu mengangguk dan menuruni tangga.
"Kamu adiknya nona Celand ya?" Seorang karyawan wanita datang menghampiri dirinya yang baru saja turun dari tangga.
"Iya, aku adiknya kak Celand."
"Ya sudah sini, kamu bantuin kita." Karyawan tersebut menarik tangannya dan meminta Anell untuk memasukan manik-manik ke dalam seutas benang.
"Selain nona Celand buat baju, di sini juga menyediakan accesories," jelasnya dan Anell hanya mengangguk.
***
Uap panas terlihat mengepul pada cangkir berwarna putih. Aroma kuat berasal dari isi cangkir tersebut. Sepotong roti menemani di sebelah cangkir itu.
"Makanlah, Arsen," ujar Samantha saat melihat putranya datang. Akhirnya Arsen mau keluar dari ruangan itu. Dan sekarang mereka bisa makan bersama lagi.
"Setelah ini kita akan pergi ke kantor bersama."
Ucapan Samantha membuat Arsen menatapnya dengan tak suka. "Tidak ada penolakan, Arsen. Kamu jangan seperti anak kecil! Kamu sudah dewasa, kamu harus bekerja dan melanjutkan hidup!" tuturnya.
"Jangan katakan kamu hanya ingin melukis! Melukis! Tidak ada gunanya," cerocosnya belum selesai.
Arsen yang hampir saja menyentuh tumpukan roti itu seketika terurungkan.
"Aku tidak mau."
"Arsen!" Samantha yang ingin bangkit dan mencegahnya pergi tiba-tiba terduduk lagi. "Ahhh ...." Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba nyeri. Dia seperti kesakitan.
"Pa ....." Arsen yang khawatir langsung memanggil-manggil para bodyguard untuk memintai pertolongan.
Samantha di bawa ke dalam kamarnya, ia berbaring sembari menunggu dokter datang.
"Papa kenapa? Apa dia sering seperti itu?" tanyanya pada salah satu bodyguard yang sering bersama Samantha.
"Saya tidak tahu, Tuan."
"Jangan bohong!" gertaknya dan bodyguard tersebut terus menunduk.
Melihat Samantha terbaring seperti ini ada rasa ketakutan yang besar.
"Tuan Samantha harus banyak istirahat. Jantungnya memang sedang bermasalah. Tapi tuan Samantha sudah rutin mengkonsumsi obatnya," ucap sang dokter yang merupakan dokter pilihan keluarga mereka.
"Papa sakit jantung?" Arsen tak percaya, karna yang ia tahu bahwa Papanya selama ini baik-baik saja.
"Saya permisi, Tuan Arsen." Dokter tersebut berlalu pergi dan ia langsung menghampiri Papanya. Tapi ia tak tega untuk membangunkan.
"Kenapa papa gak bilang kalau papa sakit?"
***
Sebuah gaun putih yang warnanya sudah tak secerah dulu. Gaun tersebut tersimpan rapi di dalam lemarinya. Juga setelan jas berwarna putih. Dia menatap nanar kedua pakaian itu. Dimana pakaian tersebut dipakai dalam acara suci pernikahannya dulu.
"Aku pikir dulu aku akan bahagia karna bisa menikah denganmu. Aku pikir, cintaku terbalas."
Semua orang memang bisa menikah, tapi tak semua orang bisa menua bersama.
Pernikahan yang ia lalui selama berpuluh-puluh tahun seperti tak ada gunanya. Pria yang ia cintai tiba-tiba menyatakan perpisahan disaat umur mereka tak muda lagi.
"Kamu tega Samantha!!!!!!! Apa yang kamu harapkan dari dia???? Hah???? Dia sudah meninggal!!!!" serunya seraya mencabik-cabik kedua pakaian itu dengan kukunya yang panjang-panjang.
Setelah itu dia terdiam seraya menghapus air matanya.
"Ma ...." Bunyi decitan pintu menyita perhatiannya, putra bungsunya datang menghampiri.
"Kenapa, Derlin?"
Floren tersenyum menyembunyikan bahwa tadi baru saja ia menangis. Tapi Derlin tak mudah tertipu, ia memandangi mamanya dengan lekat.
"Jangan berlarut dalam kesedihan terus, Ma. Ada Derlin di sini." Ia pun memeluk ibunya, menenangkan hatinya yang sedang sedih. Pelukan putranya membuat hatinya semakin tak karuan, ia pun menangis kembali dalam pelukan putranya.
"Mama hanya punya kamu dan Marvel," lirihnya disela-sela tangis. "Jangan tinggalin Mama. Kamu jangan buru-buru menikah ya, Derlin," ucapnya memeringati.
"Derlin akan menikah dengan orang yang tepat, Ma," ujarnya dengan yakin.
Floren mengelus-elus puncak kepala Derlin dengan lembut. "Ya, pastikan kamu menikah dengan seseorang yang sama cintanya dengan kamu. Jika perlu, yang cintanya lebih besar dari kamu," tuturnya lembut.
Ia pun mengangguk-angguk patuh. "Hari ini Derlin akan ke kantor," ucapnya dan membuat Floren tersenyum mendengarnya.
"Kamu mau ke kantor?" Floren menepuk-nepuk pundaknya dengan bangga. "Semoga harimu menyenangkan, Sayang. Mama akan doakan setiap saat."
Keputusan yang Derlin buat sudah ia pikirkan matang-matang. Dia harus menjadi penerus perusahaan keluarga ini. Jika bukan dia siapa lagi. Ibunya sudah tua, dia yang harus bergerak.
Sebenarnya Derlin masih ingin melanjutkan sekolah, tapi ia urungkan karna melihat kondisi keluarganya. Apalagi ibunya yang nantinya akan sendirian di rumah.
TOK!
TOK!
TOK!
Wajah seorang pelayan terlihat bahagia. Ia bahkan tak melunturkan senyumnya sedari tadi.
"Ada apa?" tanya Derlin saat membuka pintu.
"Tuan Marvel dan nyonya Tarra datang. Mereka membawa banyak barang-barang. Sepertinya akan tinggal di sini lagi," ujarnya memberitahu. Floren yang samar-samar mendengar penuturan pelayan tersebut langsung menghampiri dan menanyakan lebih jelas.
"Marvel ....." teriak Floren menyambut putra pertamanya. Putranya bersama sang istri datang seperti menjawab permintaannya kala itu.
"Aku dan Tarra akan tinggal di sini lagi, Ma."
Floren merasa bahagia, ia memeluk putranya dengan kegirangan. Juga Tarra yang tak luput ia ciumi.