Memang sangat tersiksa tatkala menikah dengan Pria yang sejatinya tak pernah mencintaiku. Namun apakah bodoh, jika aku lebih memilih terluka demi bisa terus bersamanya?
— Erika Rawles —
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon picisan imut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuduhan jahat lagi...
Selepas keluar dari rumah sakit. Dean mengantar Erika yang memilih untuk tinggal di villa sementara waktu. Bahkan hampir setiap hari ia bersedia bolak-balik Jakarta-Bogor demi membuat mentarinya tak kesepian disini.
Saat ini Erika tertegun melihat Dean yang sejak pagi sudah datang, dan justru nampak sibuk mengeluarkan makanan yang ia bawa dari dalam kantong kresek.
"Ini untuk mu." Pria itu meletakan bubur ayam tanpa santan di hadapan Erika.
"Apa tidak berlebihan Kau melakukan ini hampir setiap hari, Dean?" tanyanya saat pria itu sedang duduk di kursinya.
"Aku sama sekali tidak repot." Tersenyum, pria itu mengulurkan sendok makan yang masih di genggamnya pada Erika. "Ayo makan–"
Erika terus memandangi pria yang mulai menyuapkan bubur ke mulutnya sendiri.
"Emmm, enak sekali. Coba lah."
Perempuan itu mengangguk. Nafsu makannya sudah tidak seperti waktu sebelum operasi. Seperti yang dikatakan Dean. Ia jadi tidak bisa makan banyak. Baru tiga sendok perutnya sudah terasa penuh. Jika dipaksa satu suap lagi maka ia tidak akan bisa minum bahkan bisa kembali memuntahkan isi perutnya.
"Kalau dulu, aku pasti akan menghabiskan bubur seperti ini sebanyak tiga porsi. Sekarang?" meletakan sendok dengan hati-hati setelah mencicipi makanan yang sejatinya memang enak. "Aku sudah selesai."
Dean turut menghentikan gerakan tangannya. Meletakan sendok setelah itu menyingkirkan dua mangkuk makanan mereka dari hadapan Erika. Padahal, ia sendiri juga sebenarnya masih lapar.
"Kenapa punyamu juga harus disingkirkan?" Seru Erika pada pria yang masih ada di dapur.
"Aku juga sudah kenyang!" Sahutnya dari dalam sebelum kembali keluar dan duduk di tempat semula.
"Aku tidak apa kok, kalau kau masih mau makan."
Bagaimana aku bisa makan dengan lahap, sementara kau kesulitan untuk mengkonsumsi makanan? (Dean)
"Aku benar-benar sudah kenyang," jawabnya sebelum menenggak air.
Pandangan perempuan itu terus tertuju pada pria yang masih melepas nafsu dahaganya. Gerakan kecil dari buah jakun saat menelan air tersebut mengalihkan perhatian.
"Diluar sudah mulai agak terang, kita mau jalan-jalan sebentar?" ajak Dean setelah menyelesaikan minumnya. Erika pun mengangguk.
…
Villa yang ditinggali Erika memang cukup dekat dengan perkebunan teh. Udara sejuk nan asri bercampur dengan lukisan cahaya mentari pagi yang cantik dilangit, membuat perempuan berambut panjang itu cukup menikmati setiap pijakan kaki yang membawanya terus menjauh dari rumah.
"Kau tidak takut ya, malam-malam di sini?"
"Untuk apa takut? 'kan, ada Nyai asisten rumah tangga dan Mamang tukang kebun."
"Iya sih—" Dean turut mengimbangi langkah wanita gemuk itu.
Tatapannya sesekali mencuri pandang, melihat senyum Erika dari sudutnya menatap, membuat pipi perempuan itu semakin chubby.
Dia memang menggemaskan…
Tak sadar, ia menyentuh pipi Erika lalu menariknya gemas. Perempuan itu pun terkejut, spontan menoleh dengan posisi masih di cubit.
"A-apa yang kau lakukan?"
"Squishy…" cetusnya lirih sambil nyengir.
"Apa?"
Dean yang tersadar langsung melepaskan tangannya. Astaga! Apa yang ku lakukan?
"E-Erika maaf. Maaf Erika! Aku tidak bermaksud? Aku hanya…" Dean panik sendiri.
"Apa pipiku masih sebesar itu? Sampai kau mengira pipiku squishy?"
Mata Dean membulat. Kedua tangannya bergerak-gerak.
"Tidak, tidak seperti itu. Tolong maafkan aku Erika!" Dean menangkupkan kedua telapak tangannya di atas kepala.
"Pfffft…" Erika membungkam mulutnya sendiri. Melihat wajah panik Dean yang sampai membungkuk berkali-kali meminta maaf.
Ia pun melangkah lebih dulu. Mendapati Erika berlalu, pria itu langsung mengejarnya.
"Erika?" lirihnya di belakang.
"Aku tuh CEO ya. Baru kali ini ada yang lancang narik pipi. Kencang, pula!" Wanita itu balik badan, kemudian menunjuk pipinya sendiri. "Lihat, sampai memerah sepertinya!"
"A-aku salah. Boleh ku lihat!"
"Tidak bisa!" Erika menepis tangan Dean pura-pura marah. "Kau pasti mau menariknya lagi, kan? Pipi ku ini tebal seperti squishy…"
Dean menggeleng cepat. Bibirnya terkatup rapat, merasa bersalah. "Sungguh, aku?"
Sebuah mobil yang asing bagi Dean serta familiar bagi Erika berhenti tak jauh dari posisi keduanya.
"El—Elvan?" gagap, setengah tak percaya suaminya menghampiri dia kemari.
Sementara yang di dalam menatap tajam kearah Dean, yang menunjukkan ekspresi tak jauh berbeda.
Braaaaak! Elvan membanting pintu mobilnya setelah keluar.
"Sudah kuduga, Kau itu itu munafik!" tudingnya pada Erika. Perempuan itu pun tercengang.
"S-suamiku?" Erika maju satu langkah namun ditahan oleh Dean yang memegangi tangannya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu padanya?" Dean membuka suara.
"Kalian sama saja. Busuk! Kau— lebih menjijikan lagi. Menjadi seorang simpanan gajah betina sepertinya!"
"Apa kau, bilang?" Dean hendak menghajar pria itu namun segera ditahan oleh Erika.
"G-Gajah betina? Aku?" Kedua matanya mengembun. Menampung bulir bening akibat penghinaan.
Elvan menarik bibirnya tersenyum sinis. "Jadi, karena tidak bisa memaksaku tidur bersamamu. Kau menyewa 9!90L0 ini?"
"ELVAN!" hentak Erika tidak tahan.
"Apa? Kau mau menyanggahnya? Aku sudah menangkap basah kalian. Sungguh menjijikan."
"Kau pikir aku sepertimu?" Bulir bening menetes ke pipi. "Apakah kau tahu, apa yang sudah kualami beberapa minggu yang lalu? Tidak, kan? KALAU BEGITU JANGAN ASAL BICARA!"
"AKU TIDAK ASAL BICARA, SIALAN!" bentakan Elvan membuat tangan Dean terkepal kuat. "Selama ini aku masih ada rasa kasihan padamu. Tapi setelah tahu kau juga sama saja, SAMPAH! Aku jadi tidak menyesal untuk melepasmu. Dasar dugong jelek tidak tahu diri!"
"Brengsek!"
"Dean, jangan!" Erika menahan lengan pria itu. Tapi sepertinya kemarah Dean sudah sangat memuncak. "Dean, kumohon! Tolong jangan lakukan apapun."
"Cih! Sok membela. Bayaranmu pasti mahal sekali, 'kan, dari istri jelekku ini?"
"SUDAH HENTIKAN, ELVAN! Kau benar-benar keterlaluan!!"
Nafas Erika naik turun. Perempuan itu sudah benar-benar tidak bisa lagi menahan keduanya. Ia khawatir Elvan akan semakin memancing emosi Dean.
"Apa kau datang kesini untuk menanyakan surat dari pengadilan itu?"
Elvan bergeming, padahal niatnya hanya untuk bertemu Erika saja. Entahlah, akal sehatnya sedang rusak mungkin. Begitulah pikirnya.
"Aku akan menandatangani itu. Tenang saja, namamu akan tetap bersih, Elvan. Sesuai apa yang kau harapkan."
Erika balik badan sebelum berjalan tertatih meninggalkan keduanya.
Dean pun melangkah lebih maju mendekati Elvan.
"Kau akan menyesali apa yang kau lakukan hari ini!" ujarnya dengan nada terkesan dingin.
Elvan sendiri masih diam saja, tangannya terkepal kuat membalas tatapan pria di hadapannya. Sebelum akhirnya pria itu balik badan dan menyusul Erika yang semakin menjauh.
"Iiiissssh!"
Elvan yang geram menendang ban mobilnya.
"Dasar bedebah! Makan saja dugong jelek itu. Aku tidak akan menyesalinya. Yang kusesali adalah pagi ini. Kenapa harus datang! Brengsek!" Buru-buru masuk kedalam mobil dan pergi dari sana.
Erika yang masih mendengar suara mobil Elvan langsung menghentikan langkah. Ia menoleh kebelakang.
"Elvan—" perempuan itu seperti ingin mengejar. Ia berjalan ke arah sebaliknya, hingga tertahan di depan Dean.
"Hiks…" isaknya pecah, sebelum sebuah tangan merengkuhnya memberikan ia bahu untuk melepas tangisnya.
Sedalam itukah cinta Erika untuk suaminya? Dean termenung, memandang hamparan hijau dari tanaman teh yang masih segar.
sehat selalu kak imut..selalu berkarya