Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Kak Furqan mulai mengolesinya dengan salep yang dia bawa. Aku terus memperhatikan wajahnya dengan ekspresi datar.
Aku menelan ludahku gugup, "kak Furqan bawa salep alergi?"
"iya," jawaban singkat darinya membuatku ketakutan. Sepertinya dia sedang marah.
Setelah mengobatinya, dia langsung pergi masuk ke kamar begitu saja. Aku memperhatikan punggungnya yang mulai hilang dibalik pintu.
Kemudian Ica mengajakku untuk segera masuk ke kamar. Dia tau jika Kakak-nya sedang kesal sekarang.
Semalaman itu, aku tidak bisa tertidur. Hingga cahaya matahari mulai masuk ke kamar menyorot gorden yang masih tertutup.
Ica menggeliat dan membuka matanya, dia langsung memeriksa keadaan leherku, "udah sembuh Kak."
Aku sama sekali tidak bergairah hari itu, bagaimana nanti menghadapi Kak Furqan yang masih marah karena hal semalam.
"Kakak mau mandi bareng Ica gak? Kita main ombak dulu sebelum mandi," ajak Ica.
Mendengarnya saja aku langsung menyetujuinya tanpa basa-basi. Kita berdua langsung pergi begitu saja setelah diberikan izin oleh Ibu Kak Furqan.
Kak Furqan baru saja pulang dari masjid setelah sholat berjamaah di sana bersama pamannya.
"Mah kok sendiri! Yang lain kemana?" tanya Kak Furqan.
Mamah tersenyum mendengar pertanyaan Kak Furqan yang bermaksud menanyakan keberadaan ku.
"Bibi berangkat pagi mau jual ikan di pasar, terus Ica sama Nur lagi main ombak di depan katanya nanti lanjut mandi," terang Ibu Kak Furqan.
"Tuh anak baru aja sembuh udah kelayapan lagi," gumam Kak Furqan pelan sembari masuk ke kamarnya berganti pakaian.
Dia pamit pada Ibunya untuk mencari ku dan Ica. Sepanjang jalan di pesisir pantai banyak gadis-gadis yang memperhatikan Kak Furqan.
Aku melihatnya dari kejauhan, "dia cari perhatian banget," keluhku, "Ca ayo mandi dulu!" ajak pada Ica agar Kak Furqan tidak menemukanku.
Kita mandi di kamar mandi umum yang ada di sana. Aku memutuskan untuk tidak terlalu lama karena merasa airnya sangat lengket.
Aku membuka pintu dan terkejut melihat Kak Furqan yang sudah berdiri di depan kamar mandi.
"Udah mandinya?" tanyanya.
Aku melengos begitu saja setelah melihat memakai celana pendek dengan kaos yang hampir transparan.
Dia langsung menahan tanganku erat, "mau kemana?"
"Kemana aja, asal gak ketemu Kak Furqan," jawabku dengan ketus.
Kak Furqan kebingungan dengan responku yang ketus, "bukannya gw yang lagi marah!"
Ica baru saja keluar dari kamar mandi, dia bingung melihat Kakak-nya yang melamun di depan kamar mandi.
"Kakak ngapain sih?" tanya Ica.
"Ca, Kak Nur kok marah sama Kakak ya?"
"Loh emangnya kenapa? Bukannya Kakak yang lagi marah sama Kak Nur?" tanya Ica beruntun.
Kak Furqan menggelengkan kepalanya bingung, "barusan dia bilang mau pergi kemana aja, asal gak ketemu Kakak. Emang ada yang salah dari Kakak?"
Ica terkekeh setelah sadar dengan pakaian yang dikenakan Kakak-nya.
"Kok malah ketawa!"
"Kak, Kak Nur cemburu,"
Alis Kak Furqan bertautan tidak mengerti, "maksudnya?"
"Iya Kak, liat baju sama celana yang Kakak pake. Semuanya bisa jadi pusat perhatian gadis lain, gak peka banget," ungkap Ica.
"Sana kejar Kak Nur-nya, nanti keburu jauh tau rasa," perintah Ica.
Kak Furqan langsung keluar dari sana lalu mencari ku. Dia tersenyum setelah melihatku yang duduk di ayunan seorang diri.
"Cemburu?" tanyanya sembari berdiri di depanku.
"Enggak, kenapa harus cemburu," Dalihku.
Dia terkekeh melihat aku memalingkan wajah darinya, "jadi bener nih cemburu?"
"Gak tau," ucapku merajuk, "udah sana pergi ah!" usir-ku sembari mendorong tubuhnya pelan.
Dia tertawa mendengarnya, "ayo dong sayang! Jangan gini ya? Kakak ganti deh!" bujuknya.
"Gak usah diganti, kan biar gadis-gadis pada liat tuh! Mereka suka liat perut sama paha kamu," sindir ku.
Dia malah mencubit pipiku gemas. Kak Furqan berjongkok di depanku. Matanya terus menatapku yang mulai salah tingkah dibuatnya.
Aku menutup wajahku malu, "kak Furqan jangan natap kayak gitu ah!"
Dia terkekeh mendengarnya, dengan lembut membuka tanganku agar terlepas dari wajah.
"Udah yuk pulang! Kakak ganti baju deh," bujuknya.
Aku hanya terdiam sembari menatapnya dengan wajah yang masih ku tekuk.
Dia menjulurkan tangannya, "mau pulang gak?" tanyanya, "udah pegel ini."
"Curang banget, giliran aku marah gampang banget bujuknya. Giliran Kak Furqan yang marah, susah banget," gerutuku sembari meraih tangannya lalu berjalan pulang.
Dia hanya tersenyum seraya tangannya menggandeng tanganku.
Sesampainya di rumah bibi, Kak Furqan langsung berganti pakaiannya. Dia memakai celana yang lebih panjang dengan tambahan kemeja yang dia pakai untuk menutupi kaosnya.
"Loh kenapa ganti celana?" tanya Ibunya, "bukannya tadi mau ikut main ombak?"
"Dimarahin Mah," jawabnya singkat sembari duduk di sampingku pada teras rumah bibi.
Ibu dan Adiknya terkekeh mendengar tuturan Kak Furqan.
"Kan emang bagusnya kayak gitu walaupun cowok gak boleh pake celana pendek keluar, apalagi kaosnya transparan kayak gitu," setuju Ibunya.
"Gak usah pake baju aja sekalian kan Mah, kalau bajunya kayak gitu," tambah ku.
Kak Furqan menghela napasnya berat, "udah deh! Gak berani ngelawan cewek-cewek," tuturannya membuat kita terkekeh.
Siangnya, kita mengemas pakaian dan beberapa barang karena akan segera pulang. Bibi memberikan beberapa oleh-oleh untukku dan keluarga Kak Furqan.
"Ini makannya gimana Kak?" tanyaku menunjuk salah satu oleh-olehnya.
"Ini dijemur dulu terus nanti digoreng kayak rengginang," jawab Ibunya Kak Furqan membantu jawab.
Aku hanya manggut-manggut paham karena pertama kalinya melihat.
Setelah berkemas, kita semua berpamitan kembali pada keluarga adik Nenek.
"Nanti kalian kesini lagi ya! Main lagi kesini," ucap bibi dengan senyumnya.
"Iya bi, insyaallah," jawab Kak Furqan.
Bibi tidak henti-hentinya meminta maaf padaku tentang omongannya waktu itu. Dia merasa masih tidak enak padaku karena omongan yang tidak pernah dia pikir panjang.
Kita semua pamit setelah itu. Aku kembali naik motor bersama Kak Furqan.
" Sayang gak peluk lagi?" tanyanya setelah melajukan motor.
"Siapa sayang?" tanyaku usil padanya.
"Ih kamu,"
"Emangnya hubungan kita apa pake panggil sayang segala?" tanyaku sembari menyimpan dagu di bahunya.
"Em.... Kira-kira cocoknya apa? pacar? calon tunangan? calon istri?" tanyanya beruntun.
"Kalau pacar harusnya nembak dulu dong, kalau calon tunangan emangnya aku setuju? Apalagi calon istri," ucapku menjahilinya.
"Kamu mancing nih?" tanyanya baru sadar.
Aku terkekeh mendengarnya, "abisnya aku dibawa ke sana-sini tapi hubungan aku gak jelas. Kak Furqan cuman ngaku-ngaku aja," ungkap-ku.
Dia tersenyum, salah satu tangannya menarik tanganku untuk memeluk pinggangnya.
"Ya udah, kalau Kakak seriusin kamu langsung gimana?" tanyanya.
"Seriusin gimana?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.
"Udah siap nikah belum?" tanyanya seketika membuatku terdiam.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica