Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - Cemburu
Syailendra tidak tahu sejak kapan ia betah memandangi seorang gadis bermain tenis. Ah, bukan hanya saat bermain tenis. Lelaki itu memerhatikan seluruh kegiatan gadis itu. Bahkan sampai hal kecil sekali pun tak luput dari pandangannya. Bibirnya melengkungkan senyum. Pergerakan lincah Ratu menjadi hiburan tersendiri untuknya. Tak peduli seberapa banyak
anak lelaki yang juga ikut memerhatikan Ratu dari barisan kursi yang biasanya digunakan untuk menonton pertandingan itu.
"Eta awewe geulis pisan, nya... beruntung banget pacarnya atuh."
"Itu teh Ratu namanya. Anak SMA sebelah. Popular dia di sekolahnya."
Suara itu membuat Syailendra menoleh ke samping. Ia baru sadar ada anak lelaki yang entah sejak kapan duduk di kursi sebelahnya. Mereka menatap objek yang sama, yaitu Ratu. Hati Syailendra terasa panas. Seolah ia tak rela ada lelaki lain yang memerhatikan Ratu selain dirinya. Serasa ingin ia tarik Ratu untuk pergi dari tempat ini. Apalagi Syailendra baru sadar Ratu menggunakan rok pendek yang mempertontonkan paha mulusnya.
Melirik jam di tangan, hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Artinya sudah satu setengah jam ia duduk di sini, menonton Ratu tanpa mencari kesibukan lain. Kesibukan Syailendra hanyalah memandangi Ratu. Itu saja ia tidak sadar duduk bermenung selama itu.
"Beliin Ratu minuman yuk? Bentar lagi dia selesai kayaknya." Lantas lelaki tersebut berdiri dari dudukannya dan berjalan ke arah kedai kecil yang berada di dalam hall. Syailendra melirik ke arah botol minum yang ada di tangannya. Mendadak rasa minder timbul di diri Syailendra. Terlebih saat mengingat semua yang Galih katakan beberapa hari lalu, yaitu Ratu adalah siswi popular.
Lihat saja. Para lelaki yang duduk di sekitarnya mengidolakan Ratu, bahkan mau repot-repot membelikan minum untuk gadis itu. Sementara Syailendra apalah. Ia lupa membelikan Ratu minuman. Ia hanya punya botol air minum miliknya—itu pun bukan untuk Ratu. Sudah dibilang Syailendra kaku kalau urusan perempuan, kan? Mana lah lelaki itu berpikir sampai ke sana? Ia benar-benar polos dalam urusan cinta.
"Hai. Maaf aku lama. Kamu kelamaan nunggu, ya?"
Syailendra mengerjap kala melihat Ratu berdiri di hadapannya. Saking asyiknya melamun ia tidak sadar Ratu sudah selesai bermain. Syailendra mendadak kikuk. Ia simpan botol minum itu ke dalam tas, namun Ratu segera menahan tangannya.
"Bagi minum, dong. Aku haus!" pinta Ratu.
"Jangan. Ini punyaku. Aku ... aku lupa beliin kamu," jujurnya.
Ratu mana peduli. Ia rebut botol minum itu dari tangan Syailendra, kemudian meneguk isinya sampai habis.
"Aah... segarnya," desah Ratu.
"Kenapa kamu minum airku? Kalau kamu mau tadi aku bisa beliin buat kamu."
Ratu menepuk bahu Syailendra sambil tersenyum. "Tapi aku maunya minum di botol yang sama kayak kamu. Rasanya lebih segar."
Dada Syailendra menghangat mendengarnya. Rasa panas itu menjalar menuju pipi, menciptakan rona merah dan sensasi seperti habis terbakar. Bawaannya pengen senyum terus, tapi malu menunjukkannya pada Ratu. Alhasil Syailendra lebih sering menunduk. Takut ekspresi senangnya diketahui Ratu.
"Eh, Ratu udah selesai mainnya? Nih Aa' beliin minum." Lelaki yang tadi duduk di samping Syailendra kembali dengan bungkusan plastik berisi mineral dan snack di tangannya.
"Wah, makasih banyak ya. Tapi aku barusan udah minum," tolak Ratu.
Syailendra menahan senyum lantaran Ratu menolak minuman cowok itu.
"Yah, telat deh. Gapapa. Kamu ambil aja. Pamali nolak rejeki," kekeh lelaki tersebut, lantas menyerahkan kantong itu ke tangan Ratu.
Ratu jadi segan menolaknya. Akhirnya ia hanya mengucapkan terima kasih pada lelaki tersebut.
"Oh, ya, Neng. Boleh minta nomor wa-nya nggak?"
Percakapan yang menjurus ke arah privasi itu sukses membuat Syailendra jengkel. Alhasil, ia pegang tangan Ratu, lantas genggam erat-erat menandakan 'kepemilikan'. Dengan santai Syailendra berkata—
"Udah selesai kan? Pergi dari sini, yuk? Katanya tadi mau jalan-jalan."
"Ayok," sambut Ratu antusias.
Lantas Syailendra tarik tangan Ratu untuk mengajaknya pergi dari tempat itu. Lelaki itu menyempatkan menoleh ke balik bahu untuk melihat respon dua lelaki tersebut. Ternyata hasilnya cukup membuat Syailendra puas. Mereka melempar tatapan kekecewaan karena menganggap Syailendra adalah kekasih Ratu.
"Kamu sengaja ya kayak tadi?"
Sesampainya mereka di halte bis, Ratu langsung menggoda Syailendra. Ia toel-toel pipi lelaki itu sambil melempar tatapan jahil.
"Sengaja apanya?"
"Kamu manasin mereka, kan? Kenapa? Cemburu, ya, lihat aku dideketin cowok?" goda Ratu.
"Biasa aja," jawab Syailendra datar.
"Oh, biasa aja. Kalau gitu aku pulang sama mereka aja tadi bagusnya."
Syailendra langsung melempar pelototan tajam. Hal itu membuat Ratu menahan tawa. Geli sendiri ia melihat wajah Syailendra ketika sedang merajuk. Lucu sekali.
"Kenapa kamu melotot gitu? Katanya biasa aja. Jadi ya udah, aku kayaknya pulang sama mereka aja."
Lalu Ratu berlagak pergi dari halte. Belum satu langkah, Syailendra menarik tasnya dari arah belakang hingga membuat tubuh mungil Ratu ikut tertarik dan menempel ke badan Syailendra.
Ratu tak kuasa menahan tawa. "Pffftt—hahahah! Kamu percaya aku bakal pergi sama mereka?" kemudian memutar badannya menghadap cowok itu.
"Bercandamu nggak lucu," cetus Syailendra, bete.
"Lucu, kok. Buktinya aku ketawa lihat muka kamu."
"Mempermainkan perasaan aku apa itu lucu buat kamu?"
Eh?
Ratu terdiam. Ia tidak menyangka Syailendra seserius itu menanggapi leluconnya. Muka cowok itu sampai memerah. Tangannya gemetar. Lho, kenapa jadi begini, sih?
"Syai, aku cuma bercanda. Nggak serius sama sekali."
"Jangan pernah kayak gitu lagi. Nggak semua hal lucu dijadiin candaan. Apalagi mengenai cowok lain."
Dingin, tapi menusuk. Ratu jadi gentar menatap cowok itu. Tatapan Syailendra terkesan tajam, membuat Ratu jadi takut lelaki itu marah padanya. Padahal apalah salah Ratu. Ia hanya bercanda. Syailendra saja yang baper entah kenapa.
"Maaf, ya. Aku nggak bakal kayak gitu lagi," akhirnya hanya itu yang mampu Ratu ucapkan.
Sadar ia telah marah tanpa sebab, Syailendra melunakkan tatapannya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengusap puncak kepala Ratu. Ah, bodoh sekali dirinya. Kenapa pula ia jadi marah hanya karena Ratu bercanda soal cowok lain? Posesif sekali....
"Aku bikin kamu takut, ya? Maaf, aku nggak bermaksud," gumam Syailendra, membuat Ratu mendongakkan wajah. Mereka berdiri berhadapan hingga wajah keduanya bertemu pandang dalam jarak yang sedekat ini.
"Kamu nggak marah, kan?" Ratu bertanya, suaranya terdengar pelan.
Tanpa sadar, Syailendra mengusap pipi Ratu lembut. Ia berkata, "enggak, Ratu. Kenapa aku harus marah karena masalah sepele? Aku aja yang kelewatan. Maafin aku."
Ratu tersenyum hangat, yang dibalas Syailendra dengan senyuman yang sama lebarnya. Syailendra sadar ia kekanakan. Mungkin karena baru pertama kali dekat dengan perempuan, jadi ia langsung klaim gadis itu sebagai 'miliknya'. Padahal status di antara mereka pun hanya sebatas 'teman satu tim olimpiade'. Tidak lebih.
Bersamaan dengan itu terdengar rintik hujan yang jatuh di atap halte. Makin lama rintik tersebut makin deras. Spontan Syailendra menarik tubuh Ratu untuk mendekat. Ia buka resleting jaket yang ia kenakan, kemudian menyuruh Ratu masuk ke dalam pelukannya. Syailendra langsung melindungi kepala Ratu dengan jaketnya.
Karena tidak mau punggung Ratu basah, maka Syailendra memutar badan mereka hingga membuat punggungnya yang terkena percikan hujan. Ratu tersenyum di dada hangat Syailendra. Ia peluk pinggang lelaki itu sambil menyandarkan pipinya ke dada cowok tersebut.
Tak sampai semenit, halte tersebut sudah penuh oleh orang-orang yang ingin berteduh. Syailendra jadi kesulitan bergerak karena halte itu sangat sempit dan atapnya tipis. Punggungnya basah kuyup terkena hujan.
Namun sekali lagi, demi Ratu Syailendra rela kehujanan. Ia tak masalah sekali pun tubuhnya mandi hujan. Asalkan Ratu tetap aman dan terlindungi ....
****
"Makasih untuk hari ini. Kamu hati-hati pulangnya!"
Pukul tujuh malam mereka baru sampai di rumah Ratu. Sengaja mengulur waktu karena tadi hujan sangat deras untuk melanjutkan perjalanan pulang. Alih-alih naik bis, Syailendra memutuskan pulang naik taksi agar Ratu diantar sampai ke alamat. Lelaki itu bahkan ikut di taksi tersebut untuk memastikan Ratu tiba di rumah dengan selamat.
"Iya. Langsung mandi ya? Terus makan." Syailendra mengingatkan.
"Iya, iya. Kamu juga. Sampai di rumah nanti kabarin aku."
"Aku pulang dulu ya."
"Dadah, Syai."
Syailendra tersenyum. "Dadah!" balasnya.
Mereka selayaknya pasangan kekasih yang saling memberi perhatian. Bahkan sebelum masuk rumah, Ratu sempat berdadah-dadah ria pada Syailendra. Ia tetap di gerbang rumahnya sampai menunggu Syailendra menghilang dari pandangan.
Karena terbiasa naik bis, akhirnya Syailendra berjalan ke arah halte bis di luar komplek perumahan Ratu. Bagi Syailendra, berjalan kaki ada nikmat tersendiri ketimbang naik kendaraan pribadi. Walau sebenarnya ia tergolong mampu untuk membeli kendaraan.
Sekeluarnya dari kompleks perumahan itu, Syailendra harus berjalan sekitar 500 meter lagi untuk tiba di halte pemberhentian. Sedang asyik-asyik berjalan, tiba-tiba datang tiga motor menghadang langkahnya. Syailendra berhenti melangkah, mengamati wajah lelaki yang sepertinya tak asing di penglihatannya.
Benar saja. Begitu membuka helm, Syailendra disuguhkan dengan sosok Galih yang ternyata sudah dari tadi mengikutinya. Galih tidak sendiri. Lelaki itu membawa 2 teman satu sirkelnya.
Turun dari motor, Galih dan dua temannya menghampiri Syailendra. Hal itu membuat Syailendra semakin bingung.
"Mau apa kalian?" tanya Syailendra.
Tanpa banyak omong, langsung Galih hajar wajah Syailendra. Dua temannya yang lain memegangi badan dan tangan lelaki itu agar tidak melawan.
"Ternyata ucapan saya minggu lalu nggak mempan buat kamu. Jadi sekarang kamu harus saya kasih pelajaran dengan cara kasar. Biar kamu ngerti kalau omongan saya enggak main-main!"
Bugh. Satu kepalan tinju mendarat di pipi Syailendra.
"Lepasin saya! Saya bisa lapor perbuatan kalian ke polisi karena bermain kekerasan!" teriak Syailendra, tapi tak digubris.
Galih seolah sedang kesetanan. Lelaki itu menjadikan wajah Syailendra samsak kemarahannya.
"Jauhin Ratu. Kalau maneh masih kekeuh deketin dia, saya bisa lakuin lebih dari ini!"
Hanya itu yang Syailendra dengar saat tubuhnya didorong oleh Galih, kemudian dihajar habis-habisan tanpa sempat mengucapkan ampun ....