Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Istri Orang Lain
Alis Penghulu tampak sedikit terangkat, matanya membulat kecil sesaat sebelum kembali menyusun ekspresi menjadi tenang dan profesional. Tak heran, karena di sana tertulis dengan tinta emas sesuatu yang tak biasa ia temui setiap hari.
"Maasyaa Allaah... Maasyaa Allaah," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. "Perjuangan seperti apa yang telah pria ini lalui untuk menghadirkan mahar seperti ini? Sungguh beruntung wanita yang akan menjadi istrinya..." lirihnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan takzim.
Lembar akad itu lalu ia serahkan kepada Papa Hariatmaja. Lelaki yang dikenal tegas dan sulit dibuat terkesan itu membaca isinya dengan saksama. Sorot matanya tak banyak berubah, tapi alis yang sedikit terangkat cukup menunjukkan bahwa isi mahar itu tak main-main. Dengan ketenangan khasnya, Papa bersiap mengucapkan ijab dengan mantap.
"Saudara Zayyan Kalandra bin Dikromo, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda, dengan putri saya Aira Humaira binti Hariatmaja, dengan maskawin berupa logam mulia 100 gram, sepasang tiket umrah atas nama istri, satu unit rumah minimalis siap huni, dan satu buku puisi tulisan tangan, khusus untuk Aira Humaira, yang ditulis selama tiga puluh malam berturut-turut, dibayar tunai."
Beberapa kali menarik napas, Papa melafalkan ijab itu dengan jelas, dan tanpa keraguan. Para saksi sempat terdiam sejenak, terperangah oleh isi mahar maupun ketegasan sang Papa yang tak biasa terlihat seromantis ini.
Dan dengan satu gerakan mantap, Zayyan yang menyambut tangan Papa, dengan suara lantang yang tak bergetar sedikit pun, Zayyan mengucap ijab kabul itu. "Saya terima nikahnya Aira Humaira binti Hariatmaja dengan maskawinnya yang tersebut, tunai."
Sekali napas. Tanpa keraguan.
Rasa kagum masih menyelimuti ruangan. Para saksi tak kuasa menyembunyikan keterkejutan mereka. Dan akhirnya, serempak, meski dengan nada yang sedikit gemetar karena haru, suara saksi menyahut:
"Sah! Sah! Sah!"
Air mata yang Aira tahan sejak pagi akhirnya jatuh juga. Entah sedih, entah merasa lega. Campuran perasaan yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Harry, aku udah jadi istri orang lain." Batinnya.
Semua orang tampak bahagia. Senyuman bertebaran di wajah-wajah yang hadir. Namun tidak bagi Aira. Ia masih duduk di bangkunya, menangis tersedu-sedu dengan tubuh sedikit membungkuk.
Zayyan menyodorkan selembar tisu padanya. Tatapannya lembut, “Jangan menangis, Aira. Ini momen bahagia. Seharusnya kamu tersenyum,” bisiknya pelan.
Aira hanya menggeleng pelan. Dalam hati, ia menjawab lirih, "Aku nggak bisa bahagia."
Fotografer yang sedari tadi mengikuti moment mereka berseru dengan semangat, “Ayo semua! Kita foto bersama, biar nggak kelewatan momennya!”
Zayyan menoleh pada Aira, memberikan tangannya. “Ayo, Aira.”
Aira berdiri tanpa menggenggam tangan Zayyan. Wajahnya sembab, tapi tak ada yang benar-benar menyadari luka di baliknya. Bagi mereka, air mata Aira hanyalah bentuk haru karena bahagia.
Aila, adik perempuannya, menghampiri dan memeluknya ringan. “Aku bahagia buat Kak Aira. Selamat ya.”
Kak Nina, kakak iparnya yang menggendong Mayu kecil, ikut menghampiri sambil tersenyum lebar. “Semoga Samawa ya adikku tersayang," peluknya.
"Ayo, Sayang... kita foto dulu, ya.” ajak Mama.
Aira menjawab, "Iya, Mama. Tapi bentar aja ya, aku udah capek."
Mama menguatkan dengan pelukan hangat. “Iya, sebentar saja. Satu atau dua foto cukup. Habis itu kamu boleh istirahat.”
Foto pertama dimulai. Aira berdiri di samping Zayyan. Ketika melihat perbedaan tinggi mereka yang cukup mencolok, Aira hanya setinggi dada Zayyan, gadis itu merasa canggung, bahkan sedikit minder.
"Lihatlah... Hanya bersanding saja aku sudah merasa tak pantas. Apa mereka masih bisa melihat kebahagiaan dari kami?" pikir Aira dalam diam.
Zayyan yang menyadari kecanggungan itu tanpa banyak bicara menarik sebuah kursi ke belakang, lalu duduk. Ia menoleh pada Aira dan berbisik lembut, “Kalau aku duduk, mungkin kamu akan merasa lebih nyaman, Kan”
Tapi Aira tak peduli.
Sesi foto pun dimulai. Fotografer memberi aba-aba, “Senyum, ya... Satu, dua...”
Aira hanya menatap kosong. Tak mampu membentuk senyum. Seperti anak kecil yang enggan difoto, sesi itu berjalan lama karena Aira sulit diajak berpose.
Akhirnya, suara Papa memecah kebekuan, dengan nada yang tegas tapi penuh pengertian. “Sudah, apa adanya saja tidak apa-apa, Mas. Tak usah dipaksa.”
Dan klik. Satu foto pun berhasil diabadikan. Kemudian sesi foto bersama keluarga.
Selesai acara, para saksi mulai keluar ruangan. Aira menatap kosong ke arah halaman. Kak Nina menghampiri, masih menggendong Mayu yang mulai terlelap.
“Aira,” panggilnya pelan. “Kamu beruntung banget dapet suami yang cinta banget sama kamu.”
Aira hanya mengangguk pelan, “Um.”
Kak Nina tersenyum, lalu menatap Aira dengan sorot mata yang dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata sederhana.
“Kamu tahu, Aira... dicintai oleh seseorang yang benar-benar mencintai kita itu anugerah luar biasa. Jauh lebih membahagiakan daripada mencintai seseorang yang belum tentu membalas.”
Aira mengerutkan kening. “Maksudnya, Kak?”
Kak Nina mengelus kepala Mayu yang tertidur di pundaknya. “Kamu pasti akan mengerti suatu saat nanti,” jawabnya tenang, lalu beranjak pergi.
Akhirnya, Aira menoleh ke arah suaminya. Matanya berhenti pada sosok Zayyan yang sedang berbincang hangat dengan Papa. Pria itu tampak bahagia, wajahnya tenang, auranya hangat, seperti seseorang yang benar-benar menemukan tempat untuk pulang.
Aira menunduk. "Aku... nggak akan bisa mencintainya. Tapi kalau dia cinta aku, ya... terserah. Itu urusannya, bukan urusanku."
Beberapa detik kemudian, Zayyan mulai melangkah ke arah Aira. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan ke belakang, pura-pura memperhatikan sesuatu yang tidak penting. Hatinya mendadak gelisah, takut ketahuan kalau sejak tadi memperhatikan pria itu.
“Aira,” sapa Zayyan. “Aku pamit dulu, ya.”
Aira menoleh cepat. “Eh?”
Kenapa dia pulang? Bukannya harusnya pulang bersama? batinnya penuh tanya.
Zayyan melanjutkan, “Aku akan datang lagi nanti sore, untuk resepsi di rumahmu.”
Aira ingin bertanya lebih lanjut. Ingin tahu alasan pastinya. Tapi egonya menahannya. Ia hanya mengangguk kecil.
“Assalamu’alaikum, Aira.”
“Wa—wa’alaikumussalaam wa rahmatullaahi wa barakatuh.”
Suara Zayyan terdengar datar dan berjarak, berbeda dengan sapaan akrab yang ia lontarkan pagi tadi. Entah mengapa, nada itu justru menampar lembut hati Aira. Ada rasa yang mencelos tanpa tahu pasti kenapa.
Ia hanya bisa memandangi punggung Zayyan yang perlahan menjauh. Dan untuk pertama kalinya hari itu, Aira merasa... kosong.
Sesampainya di rumah, Aira langsung mengurung diri di kamar. Rebahan di ranjang dan menatap langit-langit. Hening. Sepi. Seolah seluruh hiruk-pikuk pagi tadi hanya mimpi yang terlalu bising.
“Rasanya kembali normal...” gumamnya pelan, memeluk bantal di dada. “Setelah acara tadi yang rasanya kayak setahun lamanya.”
Ia memiringkan tubuh, menatap kosong ke dinding seolah mencari celah untuk melarikan diri dari kenyataan. “Tapi... nanti malam bakal jadi malam yang panjang.” Bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku nggak suka pernikahan ini…”
Matanya perlahan terpejam, mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya.
“Harry…” ucapnya lirih, terperangkap di antara rindu dan kehilangan. "Padahal, cinta kita belum putus."
😢💔😔
🤵♂️👰♀️🧕💍🎎
🤯😰🥵🫣🫠
🤷♀️👀🪑❓
🫢😳💬💌
🎭🎁💔🤹♂️
📱🫨😵💫💭
🚪🚶♂️🔉💓
🫨🙊🙇♀️💬
☕🪑🧃🫢
🧎♂️🧎♀️🕌🫶
🧼🚰🧘♀️🧘♂️
🫴💋🫶😢
🤗⏳🫣⛔️