Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Tak terasa sudah satu bulan lebih aku menahan geram atas sikap mas Sagara.
Setiap harinya, ada saja sesuatu yang membuatku kesal, membuat kami akhirnya berdebat. Padahal kalau di pikir-pikir, apa yang kami perdebatkan termasuk hal sepele. Misalnya, kebiasaan mas Sagara yang membuat tempat tidur kami berantakan dengan barang-barangnya seperti laptop, buku-buku, ponsel, charger dan bahkan pakaian dalam atau handuk basah yang ia lempar ke atas kasur. Jika di peringatkan dia akan menjawab.
Lalu apa gunanya istri? Sudah di nafkahin, di lindungi, di kasih makan, uang dan sebagainya? Semua sesuai dengan permintaanmu. Apa salahnya membereskannya, toh nggak memakan waktu seharian penuh.
Begitulah jawabannya, dan aku sudah tidak bisa berkutik lagi karena ujung-ujungnya pasti ke nafkah batin yang dia bahas.
Ya tidak bisa lah, enak saja main sentuh-sentuh.
Sementara aktivitas keseharianku pun berjalan sebagaimana mestinya.
Pagi, begitu bangun tidur, aku langsung mencuci pakaian sambil memasak.
Masak selesai, cucian di mesin pun selesai. Menjemurnya, persiapan sarapan dan menyiapkan pakaian untuk mas Sagara. Aku sendiri bersiap pergi ke kampus, pulang kuliah kadang ke toko bunga sampai pukul lima. Kalau di rumah setrikaan banyak, aku nggak ke toko, aku akan langsung pulang untuk membereskan rumah.
Sampai di malam harinya, aku baru bisa rilex untuk belajar, itupun terkadang mendapat gangguan dari mas Sagara. Semenjak menikah, hidupku memang nggak pernah tenang walau sebentar.
Ngomong-ngomong soal pekerjaan rumah, Aku tak bisa komplain sebab dulu bundaku juga melakukan apa yang aku lakukan sebagai ibu rumah tangga. Jadi percuma saja kalau aku ngadu ke bunda, pasti bunda akan bilang kalau itulah tugas istri, gajinya bukan uang, melainkan pahala.
Next, nggak apa-apalah, toh mas Sagara nggak pernah protes apapun hasil pekerjaanku, mau rapi, mau bersih, pria itu nggak peduli, yang penting pakaiannya sudah bersih, sudah di setrika, ada makanan, dan jika saatnya tidur ranjangnya sudah beres, dia akan tetap diam.
Dia juga nggak pernah melarangku untuk melakukan apa yang ingin aku lakukan, asal masih dalam batas wajar, mas Sagara nggak akan komplain, nggak pernah nuntut yang macam-macam.
Dan yang paling penting, nanti kalau aku bercerai dengannya, lalu menikah dengan pria yang ku cintai, setidaknya aku sudah memiliki pengalaman menjadi ibu rumah tangga.
"Selesai kuliah jam berapa, nanti?" tanya mas Sagara di sela-sela sarapannya. Nadanya selalu terdengar cuek. Tapi aku maklum, karena memang sudah menjadi wataknya seperti itu. Datar, dingin, tak tersentuh, dan juga minim senyum
"Jam tiga" Jawabku juga terdengar cuek di telingaku sendiri.
"Tunggu aku sampai setengah empat, kita langsung ke rumah papa dan menginap di sana. Ada acara pertunangan Lita besok siangnya"
"Nggak pulang ke rumah dulu?"
"Nggak usah, kita langsung saja, sudah terlalu sore, mama pasti kewalahan menyiapkan makan malam, kalau ada kamu kan mending, nggak terlalu kerepotan"
"Apa nggak sebaiknya pulang dulu, aku belum pernah nginep di sana, kecuali setelah menikah waktu itu, jadi nggak ada baju ganti"
"Ini masih jam tujuh, kan? Sementara kuliahmu di mulai pukul delapan, masih ada satu jam untuk menyiapkan bajumu yang mau di bawa"
"Jadi aku kuliah bawa-bawa baju, yang benar saja?" Pungkasku keberatan.
"Bajunya taruh saja di mobil, Jihan yang pintar" Tekan mas Sagara dengan nada malas.
Ah iya juga, kenapa nggak kepikiran kalau mas Sagara bawa mobil.
"Terus kapan pulangnya?" Tanyaku setelah ada hening sesaat tadi.
"Berangkat saja belum sudah tanya kapan pulang?"
"Ya supaya aku bisa kira-kira mau bawa baju ganti berapa"
"Sabtu malam"
Ah untung cuma satu malam, itupun mama akan di sibukan dengan persiapan pertunangan Lita, jadi pasti nggak akan tanya-tanya soal anak.
"Tapi nggak pulang ke rumah" Tambah mas Sagara, membuatku menoleh keheranan ke arahnya. "Nanti pulang ke rumah bunda, nginep satu malam di sana, minggu siangnya baru pulang"
"Ke rumah bunda?" Tanyaku berbinar.
Bukannya menjawab, mas Sagara malah melempar tatapan aneh, kemudian berkata.
"Kenapa? Nggak mau, ya udah nggak jadi"
"Eh, enak aja nggak jadi. Jadi dong" Aku tersenyum, meski wajah di hadapanku tampak judes kayak emak-emak yang kehabisan bumbu dapur.
"Tapi ingat, setelah pulang ke rumah, kamu harus kembali melakukan tugasmu, menyiapkan semua keperluanku, membersihkan rumah, dan memasak untukku"
"Hmm, siap-siap" Sahutku. Entah kenapa aku sudah nggak sabar buat nginep di rumah ayah, aku merindukan semua yang ada di sana, termasuk mas Ryu tentunya.
Sambil nunggu mas Sagara nanti, aku juga bisa santai sejenak bersama Emma dan Gabby. Kalau untung banyak gini si nggak masalah, asalkan rahasia pernikahan tetap aman dari penduduk kampus.
Tapi sejujurnya, aku paling nggak suka kalau berkunjung ke rumah mertua, apalagi sampai nginep segala, bukan karena papa dan mama adalah mertua yang judes, bukan. Mereka baik, sayang sama aku seperti bunda dan ayah, hanya saja terkadang aku bosan kalau sudah bahas tentang hamil dan punya anak.
Usaha terus ya sayang...!!!
Padahal aku sama putranya nggak menginginkan itu, jangankan anak, rumah tangga yang harmonis saja jauh dari angan-angan kami, tapi mamah justru buru-buru ingin punya cucu.
Dua orang yang nggak saling cinta, lalu menikah, apa yang di harapkan? Nothing.
****
Karena mata kuliah mas Sagara adalah yang utama di bidang study yang ku ambil, jadi setiap hari pasti ada jamnya mas Sagara di kelasku.
Selama ini, aku tak pernah meminta bantuannya jika kesulitan belajar. Aku lebih memilih mencari tahu sendiri meski jawabannya kurang tepat atau bahkan salah.
Mungkin bagi mahasiswa yang lain, ini sebuah kesempatan untuk mendapat nilai tinggi jika menjadi istri dosennya sendiri, tapi tidak denganku.
Gengsi dong..!!
Tiba waktunya pulang, kami pun langsung meluncur ke rumah orang tua mas Sagara.
Di sana nanti, aku dan mas Sagara harus mempersiapkan diri untuk berakting agar terlihat romantis. Tapi seringnya si kami bersikap biasa saja, hanya komunikasi yang sedikit di lembut-lembutkan.
Sesampainya di rumah mamah, ku lihat ada papa di gazebo depan rumah. Sepertinya beliau sedang bersantai sambil memainkan gawainya.
Aku dan mas Sagara otomatis langsung menyapa dan menyalaminya.
Setelah itu, aku berpamitan pada papa untuk masuk lebih dulu. Mas Sagara sendiri duduk dan mengobrol dengan papahnya.
"Assalamu'alaikum, mah"
"Wa'alaikumsalam. Sudah datang sayang?"
"Sudah, mah. Baru saja" Aku mengecup punggung tangan mama.
"Di mana Saga?" Tanyanya.
"Di gazebo depan sama papa"
"Oh" Sahut mama kemudian kembali fokus ke panci di atas kompor.
"Mama masak apa?"
"Ini lagi bikin sop iga, nanti mau masak cah kangkung, lobster, sama goreng-goreng sayap ayam, tahu dan tempe"
"Nanti aku bantu ya mah, aku mau ke kamar dulu naruh ini" Aku menunjukan tas berisi pakaianku. Hanya pakaianku, karena pakaian mas Sagara sudah ada di sini. Pakaian yang ku bawa ini juga nanti akan ku tinggal, biar kalau nginep di lain waktu aku nggak perlu boyong-boyong lagi.
"Kamarnya di atas, Ji. Tadi mama sudah minta mbak Suti buat beresin"
"Iya mah, makasih"
"Sama-sama, sayang"
Aku pun beranjak dari dapur, menuju kamar mas Sagara yang sedikit ada perubahan.
Di dinding, bukan foto kak Lala yang tergantung, tapi foto pernikahanku dan mas Sagara dengan ukuran besar. Entah kenapa, mendadak aku ingin tahu siapa yang memasangnya. Tapi kalau boleh menebak, kayaknya mamah, soalnya nggak mungkin kalau mas Sagara yang melakukannya.
Kurang lebih lima belas menit aku di dalam kamar mas Sagara, aku akhirnya turun dan langsung menuju dapur.
Mengatupkan bibir, keningku seketika mengernyit. Pasalnya tak ada mamah di sana, kompor juga sudah dalam keadaan off.
"Mama pasti sedang menemui mas Saga" Pikirku.
Tanpa berfikir aku pun berniat gabung dengan mereka.
Namun saat langkahku semakin dekat ke arah pintu utama, suara mama justru kian jelas bisa ku tangkap. Padahal aku mengira kalau mereka ada di gazebo saat ini, tapi tidak, mereka sudah pindah duduk di kursi teras rumah.
"Sudah dengar kabarnya Lala, Ga?" tanya mama.
Ketika aku mendengar nama kak Lala di sebut, persekian detik aku menghentikan langkahku.
"Kabar apa mah?"
"Kata papa, Lala terkena kanker rahim"
Ucapan mama seketika membuatku membatu seolah tak percaya.
Kak Lala, terkena kanker rahim?
Ingin mendengar lebih detail, akupun menajamkan pendengaran dari balik pintu.
"Oh, ya? Aku dan Jihan belum tahu, mah"
"Papa tuh yang crita, papa dengar dari pak Bima sendiri"
"Astaga, jadi hasil pemeriksaan kakak waktu itu, apa ini hasilnya? Sudah dua mingguan berlalu semenjak kakak pulang dari rumah sakit, kenapa ayah atau bunda nggak kasih tahu aku?" Aku masih bergumam sendirian dengan iringan jantung yang berdetak tak nyaman.
"Untung kamu nikahnya sama Jihan, nggak sama Lala, Saga. Kalau sama Lala... Uh mamah bisa kepending-pending terus punya cucunya, atau malah nggak akan punya"
"Jangan ngomong gitu, mah" Respon mas Saga tak terima.
"Iya tuh, si mama" potong papa. "Dari awal kamu menikah, cucu melulu yang di bahas"
"Ya mama kan udah pengin gendong cucu, pah"
"Tapi nggak usah ngomong gitu, apalagi merasa beruntung nggak jadi nikah sama Lala" Itu kata mas Sagara, yang entah seperti apa ekspresinya. "Nanti kalau Jihan dengar mama ngomong gitu gimana?"
"Iya-iya maaf, mama cuma merasa bersyukur aja, ternyata ada hikmah di balik pernikahanmu dengan Lala yang gagal"
"Sudah-sudah, lebih baik di doain saja biar segera di angkat penyakitnya" Kata papa yang juga tak sependapat dengan mama.
Cukup bijak perkataan mas Saga dan papahnya. Tapi tetap saja aku sakit hati dengan kalimat mama.
Bersambung