Anindia putri terpaksa harus menikahi Barra Emrik pria matang 10 tahun lebih tua darinya yang ternyata kakak dari kekasihnya.
Dia terpaksa harus menikah denganya karena Ayah nya menjual dirinya demi melunasi hutang-hutangnya karena Bisnisnya yang tiba-tiba bangkrut.
Bagaimana reaksi kekasihnya saat pulang dari negara lain mendapati kekasih yang sudah menjadi istri sah kakaknya.
Akibat kesalah pahaman yang di buat Dylan kekasih Anin, membuat Barra selalu bersikap kasar kepada istrinya dan memaksa istrinya melayaninya kapanpun dan dimanapun dalam kondisi apapun dalam urusan ranjangnya.
Apakah hanya kebetulan Barra menikahi Anin?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitryas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Wajah nya merona saat sadar apa yang sedang mereka bicarakan, dadanya kembali bergemuruh tidak karuan. Entah mengapa Anin merasa sangat malu, dia kembali mengingat dimana dirinya menikmati sentuhan Barra.
Sumpah itu sangat memalukan.
"Bi-biar aku saja Kak," jawab Anin karena wanita itu tidak mungkin membiarkan Barra yang baru berapa pekan menjadi suaminya mengobatinya di bagian sensitive nya.
Mana mau Anin dengan suka rela memperlihatkan itu untuk yang kedua kali nya, dia lebih baik mengobatinya sendirian.
"Kenapa? apa kamu malu padaku?" tanya Barra yang kini sekarang sudah mengulurkan lenganya untuk merapikan rambut yang menutupi wajah Anin.
Tanpa sengaja Anin menepis lengan Barra dengan cepat, ia replek karena dia kira jika Barra akan melakukan hal aneh kepadanya.
"Ah, maaf kak aku tidak sengaja." ucap Anin.
Barra hanya menatapnya dengan datar, di dadanya terasa sesak. "Apa aku semenakutkan itu saat kemarin bercinta, sampai-sampai dia tidak mau ku sentuh." gumamnya dalam hati, Barra lalu menurunkan lenganya.
"Anin, dengar aku baik-baik." ucap Barra dengan nada rendah namun wajahnya tetap datar, tidak ada perubahan dari raut wajahnya dia terlihat seperti biasanya. Dingin!
Anin menatap Barra untuk mendengarkan apa yang akan di ucapkan suaminya itu, namun kenapa jantung nya malah berdebar sangat cepat. Jarang keduanya tidak terlalu jauh hingga membuat Anin bisa melihat dengan jelas betapa mulusnya wajah suaminya hingga dia berpikir jika pria ini tidak mempunyai pori-pori di kulitnya.
"Jangan takut padaku, maafkan aku jika malam pertama kita membuatmu trauma." ucap Barra dengan sangat lembut walau wajahnya masih datar, namun hanya matanya lah yang berubah.
Biasanya sorot mata pria ini sangat tajam, namun tidak untuk hari ini sorot matanya terlihat sangat sendu. Hingga tanpa sadar Anin terhipnotis dengan ketampanan pria ini, Anin memejamkan matanya dan menikmati sentuhan lengan itu di pipinya.
Melihat Anin yang tidak lagi kembali menepis lenganya dan malah menikmati sentuhanya, Barra pun mengulum senyum tipis di bibirnya.
"Seperti kucing," gumamnya dalam hati, Barra pun dengan cepat mengembalikan raut wajahnya saat melihat Anin yang sudah membuka matanya.
"Aku janji akan melakukanya dengan sangat lembut, tidak seperti sebelumnya." ucap Barra dan di jawab anggukan oleh istrinya.
Anin yang mengira jika Barra tidak akan berkata-kata kasar lagi kepadanya tentu saja dia menyetujuinya tanpa banyak bertanya, Barra pun tersenyum hatinya merasa lega.
"Yes dia sudah memaafkanku dan mengijinkanku untuk menyentuhnya lagi," Batin Barra terus bersorak senang.
"Aku ingin pulang Kak," ucap Anin.
"Tapi kamu masih sakit Anin," jawab Barra.
"Aku sehat Kak, hanya itu nya saja yang sakii."
"Itunya?" tanya Barra dengan kening yang mengerut.
"It_" Anin tidak lagi melanjutkan ucapanya saat sadar jika dirinya berbicara sedikit menjerumus ke hal sensitiv.
Barra yang melihat wajah Anin yang semakin merona dan menundukan wajahnya karena malu dia pun tidak ingin membuat istrinya kembali canggung.
"Ayo," ajaknya Barra memutuskan untuk membawa Anin pulang karena sebelumnya Dokter memang Sudah mengijinkan istrinya pulang. Namun karena dirinya hawatir berlebihan dia memaksakan Anin untuk tetap ada di sini.
Merekapun bersiap lalu pergi dengan di temani Edwin dan supir pribadinya. Anin menatap halaman luas itu dengan takjub, dia kembali di buat terpesona dengan megahnya bangunan Mansion suaminya itu, dengan para pelayang yang sudah berbaris menyambut kedatanganya.
Sungguh ini membuatnya risih dan belum terbiasa, Anin lalu menatap Barra yang sedang duduk di sampingnya pria itu tenagh sibuk dengan ipad yang ada di tanganya.
"Selamat datang Nona," ucap Bram yang sedang membukakan pintu mobilnya.
"Terimakasih Pak Bram," ucap Anin sambil keluar dari mobilnya.
Namun tiba-tiba ia berteriak membuat para pelayang yang sedang menunduk menyambutnya langsung menoleh ke arahnya karena terkejut dengan suara teriakan Anin, Anin yang terkejut karena tiba-tiba di angkat pun tidak sengaja melotot ke arahnya.
"Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Anin. Jadi sebaiknya aku menggendongmu," ucap Barra karena melihat reaksi Anin yang mempertanyakan itu dari raut wajahnya.
Anin tak berbicara lagi dia hanya menyembunyikan wajahnya di antara dada dan ketiak Barra karena kini para pelayan sedang berbisik membicarakanya.
"Itu pak Barra kan?"
"Iya memang kamu kira siapa?"
"Aku hanya kaget, aku baru pertama kali liat pak Barra sangat perhatian pada istrinya."
"Kamu pikir aku pernah melihatnya begitu, aku juga baru pertama kali. Aku jadi ingin jadi Nona Anin," jawab salah satu pelayan yang terus berbisik.
"Sudah kembali bekerja kalian," ucap Bram karena mereka terus bergosip mengenai majikanya. Bram pun melihat Barra yang sudah memasuki Mansion, dia sendiri tidak menyangka jika Barra yang sejak dulu ia urus bisa sangat peduli pada seorang wanita.
"Aku harap Nona Anin bisa merubahmu, Tuan." gumamnya sambil meneteskan air matanya, Bram mengingat Barra kecil yang selalu menangis dan mengadu kepadanya. Karena hanya dialah orang yang selalu berada di sisinya hingga saat ini.
Sementara di kamar, Barra duduk menghadap Anin yang sudah menyandar di atas ranjang. "Kamu mau mandi sendiri atau aku mandikan?" tanya nya. Siapa tau jika Anin akan mengajaknya mandi bersama pikirnya.
"Tidak perlu!" sentaknya dengan gugup. Anin tidak bermaksud menyentaknya namun karena rasa gugupnya tanoa sadar dia meninggikan suaranya. "A-aku bisa mandi sendiri, atau Ri-risa bisa membantuku." jawab Anin dengan terbata karena takut jika Barra kembali memaksanya.
"Risa?" tanya Barra dengan dahi yang mengerut, dia bingung dibanding suaminya sendiri dia lebih memilih orang lain yang entah siapa.
"Di-dia pelayan yang dekat denganku," jawab Anin karena di banding dengan Barra dia jauh lebih tenang jika Risa yang membantunya.
Barra mengusap wajahnya dengan kasar, "baiklah aku akan memanggilnya." ucap Barra lalu dia keluar dari kamar itu.
Barra menghubungi Bram untuk memanggil Risa dan menyuruh Bram datang menemuinya di halaman depan.
Sementara Anin dia sangat setres, "astaga kenapa hari ini jantungku sedikit aneh?." gumamnya sambil menyentuh dadanya.
"Dadaku rasanya sangat mendidih, terus-terusan bergerumuh." ucapnya sambil memegangi kedua pipinya. "Bahaya, jantungku mulai tidak aman." ucapnya sambil menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.
Anin sangat tidak karuan, apa lagi yang akan terjadi padanya? karena hari ini saja dia sudah merasa banyaknya kejadian di luar nalar nya yang sangat tidak bisa di kondisikan.
Anin memeluk guling lalu menatap kesamping, "Apa malam ini kita akan tidur bersama?" tanya Anin membayangkan jika Barra ada di sampingnya.
Wajahnya kembali memerah, dibenamkan wajah cantik Anin pada guling yang sedang di peluknya. "Oh astaga Anin kamu sedang membayangkan apa!" gila aku memang sudah gila!!" gerutunya kesal karena otaknya kembali mengingat saat tubuhnya tergulai lemas di baeah kungkungan suaminya.
"Apa Kak Dylan sering meniduri banyak wanita karena dia tidak pernah meniduriku? jadi dia mencari wanita lain untuk pelampiasanya?" tanya Anin tiba-tiba karena dia tau betapa luar biasanya hal itu. "Tapi kenapa harus dua sekaligus?" tanya nya lagi pada dirinya sendiri.
.
.
to be continued...
padahal masih seru²nya nih 🤔
si dyland udah berhasik mempengaruhi oatknya bara 😩