Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terseret dalam strategi
Pagi di kampus seperti biasa: sibuk, bising, dan penuh mahasiswa berlalu-lalang. Suara langkah kaki, tawa-tawa kecil, dan dering notifikasi dari ponsel seakan membentuk irama rutin yang akrab di telinga. Namun, di balik keramaian itu, Lia berdiri di depan cermin toilet perempuan, menatap bayangannya sendiri dengan sorot mata penuh pertimbangan.
Ia menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu dengan penampilannya hari ini. Rambutnya diikat setengah ke belakang, menyisakan beberapa helai lembut yang jatuh di sisi pipi. Make-up-nya sangat minimalis, hanya sapuan tipis bedak dan lip tint warna peach yang nyaris menyatu dengan warna bibirnya. Blouse putih longgar dengan kancing kecil berwarna perak menghiasi tubuh rampingnya, memberi kesan bersih dan sederhana. Tidak seperti biasanya yang tampil lebih mencolok atau menantang, hari ini Lia tampak… tenang. Elegan, bahkan.
Ia menarik napas panjang. Dalam-dalam.
“Hari ini harus lebih natural,” bisiknya lirih, hampir seperti mantra. “Jangan pakai cara yang bikin dia curiga.”
Tatapan matanya bertemu dengan bayangannya sendiri. Untuk sesaat, ia seakan bicara dengan sosok lain di dalam cermin—sosok yang lebih rapuh, lebih jujur.
Di luar toilet, Nadin berdiri sambil bersandar di dinding, memeriksa jadwal kuliah dari ponselnya.
“Kamu kelamaan, Li,” keluhnya sambil melirik ke arah pintu. “Dosen kita kan nggak suka yang telat.”
Lia keluar beberapa detik kemudian, masih memperbaiki letak tali tas di pundaknya. “Aku tahu,” jawabnya ringan, walau pikirannya masih terombang-ambing.
Mereka menyusuri koridor kampus yang masih cukup tenang. Cahaya matahari pagi menembus sela-sela kaca besar di lorong, membentuk pola-pola cahaya di lantai putih. Suasana terasa sedikit hening—hanya terdengar suara langkah dan obrolan kecil dari arah tangga.
Namun begitu mereka memasuki kelas, energi berubah seketika.
Leo sudah duduk di mejanya, seperti biasa. Bahunya tegap, dan pandangannya tertuju ke layar tablet yang digenggamnya dengan satu tangan. Alisnya sedikit berkerut, menandakan fokusnya yang tinggi. Wajahnya tampak dingin, namun nyaris tak bisa disangkal: ada sesuatu yang menarik dari tatapan pria itu.
Lia mengatur napas, lalu mengambil tempat duduk beberapa kursi dari Leo. Ia duduk perlahan, membuka tasnya sambil mencuri-curi pandang. Leo sama sekali tak melihat ke arahnya. Tangannya tetap sibuk menggulirkan layar, sesekali mengetuk cepat dengan jari telunjuk.
Aman. Sejauh ini.
Sambil pura-pura menata buku di meja, Lia menjatuhkan pulpen ke lantai—dengan arah yang sangat sengaja menggelinding mendekati kursi Leo.
“Maaf,” ujarnya cepat, lalu membungkuk mengambil pulpen itu. Ia tidak langsung menatap pria itu, hanya mengalihkan sedikit pandangan sambil tetap setengah menunduk.
Leo melirik singkat, tak berkata apa-apa selama beberapa detik. Lalu akhirnya, suaranya terdengar. Datar, namun tak sekeras biasanya.
“Hati-hati.”
Lia menahan senyum kecil di sudut bibirnya. Kalimat pendek itu saja rasanya sudah seperti pencapaian. Setidaknya ia tidak diabaikan sepenuhnya hari ini.
---
Kelas berlangsung seperti biasa. Materi, diskusi, catatan. Tapi pikiran Lia berkelana, tak sepenuhnya bisa mengikuti ritme kuliah. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Leo, dan mendapati pria itu masih fokus—terlalu fokus. Seolah tidak ada satu pun yang bisa mengalihkan konsentrasinya.
Begitu kelas selesai, sebagian besar mahasiswa segera berhamburan keluar. Namun Lia tetap di tempatnya, pura-pura merapikan buku lebih lama dari biasanya. Nadin sudah memberinya kode, tapi Lia hanya memberi isyarat kecil agar temannya pergi duluan.
Saat Leo merapikan barang-barangnya, Lia berdiri pelan-pelan.
“Pak Leo,” panggilnya, mencoba menjaga suara tetap tenang.
Leo menoleh. Alisnya sedikit terangkat. “Ya?”
“Boleh... sebentar?” Wajah Lia tampak gugup, tapi ia berusaha terlihat wajar.
Leo menimbang sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. “Ada apa?”
Lia menarik napas panjang, lalu mencoba tersenyum. “Saya cuma... ingin mengucapkan terima kasih. Untuk waktu itu.”
Leo diam sejenak, sebelum mengangguk singkat. “Tak perlu. Kamu hanya kebetulan beruntung.”
Kata-katanya mengambang. Tidak hangat, tapi tidak juga kasar. Lia mencoba menangkap makna dari cara Leo mengatakannya—seolah ada pesan tersembunyi di balik nada datarnya.
“Tapi... nggak semua orang mau ikut campur kalau bukan urusannya,” ujar Lia, pelan namun tulus.
Leo menatapnya. Tatapannya tajam, namun tidak lagi sekaku biasanya. Lalu, tanpa aba-aba, ia bertanya, “Kamu sering bicara lewat telepon di kampus.”
Deg.
Jantung Lia berdetak lebih cepat. Ia menegakkan punggung, berusaha tak terlihat panik. “Maksudnya?”
“Beberapa kali saya melihat kamu seperti... panik. Seolah menyembunyikan sesuatu.”
Wajah Lia membeku. Tenggorokannya terasa kering. Apa dia tahu?
“Saya cuma sedang ada urusan keluarga,” jawabnya akhirnya, dengan suara yang dibuat setenang mungkin.
Leo mengangguk pelan, entah percaya atau tidak. “Hati-hati kalau urusan pribadi sampai mengganggu kuliah. Saya tidak toleransi soal itu.”
Lia menunduk sedikit. “Saya mengerti, Pak.”
Leo hendak beranjak pergi, tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia menoleh sedikit.
“Dan... kalau kamu diganggu orang lagi, langsung hubungi petugas kampus. Jangan nekat seperti kemarin.”
Lia tersenyum tipis. “Baik, Pak.”
---
Di taman belakang kampus, di bawah rindangnya pohon trembesi, Lia dan Nadin duduk berdua di bangku panjang sambil menikmati es krim. Suasana tenang. Angin sepoi-sepoi menyapu lembut wajah mereka. Burung-burung kecil terdengar bersahutan dari balik dahan.
“Lia, kamu kayaknya seneng banget hari ini,” celetuk Nadin sambil menggigit es krimnya.
Lia tertawa kecil. “Enggak juga.”
“Yakin?” Nadin menatap curiga. “Tadi kamu senyum-senyum sendiri kayak orang jatuh cinta.”
Lia pura-pura mengalihkan pandangan. “Cuma... aku merasa sedikit lega.”
Nadin menyipitkan mata. “Kamu tuh aneh. Selalu kelihatan punya beban, tapi nggak pernah cerita apa-apa. Tapi tiba-tiba bisa senyum sendiri kayak sekarang.”
Lia menatap langit biru, seolah mencari jawaban di antara awan-awan yang melayang. Ia diam beberapa saat, sebelum berkata lirih, “Kalau aku cerita... kamu bakal percaya?”
Nadin mengangkat bahu. “Coba aja dulu. Aku temen kamu, Li. Mau aneh kayak gimana juga, aku tetap dengerin.”
Tapi sebelum Lia sempat membuka mulut, ponselnya bergetar. Ia melihat layar, dan wajahnya langsung berubah. Sebuah pesan dari Dario.
> “Ingat, jangan terlena. Fokus pada tujuan utama.”
Tangan Lia mengepal tanpa sadar. Senyum yang tadi sempat muncul, kini benar-benar menghilang dari wajahnya. Matanya meredup, seakan sinar harapannya baru saja padam.
“Kenapa?” tanya Nadin, bingung melihat perubahan drastis itu.
“Nggak apa-apa.” Lia buru-buru menyembunyikan ponselnya. “Pesan dari... rumah.”
Nadin mengangguk, meski jelas ia tidak percaya sepenuhnya. “Oke. Tapi kalau kamu butuh tempat curhat, aku di sini.”
Lia hanya menjawab dengan anggukan singkat. Hatinya masih bergemuruh. Ia menatap lurus ke depan, tapi pikirannya tidak di sana. Ia merasa seperti tersesat di antara dua dunia—yang satu dipenuhi perintah dan manipulasi, yang lain... adalah dunia yang baru, penuh tanda tanya dan perasaan tak dikenal.
Dan semuanya berpusat pada satu orang: Leo.
---
Malam harinya, Lia berbaring di ranjang asramanya, menatap langit-langit dengan mata kosong. Cahaya lampu temaram membuat bayang-bayang bergerak samar di dinding.
Apa benar Leo hanya dosen biasa?
Tanda hitam itu… tato? Atau hanya kebetulan?
Dan... kenapa aku jadi penasaran begini?
Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi semakin ia memejam, bayangan Leo semakin jelas. Tatapan matanya yang tajam. Cara bicaranya yang lugas. Sikap dinginnya yang justru membuat Lia merasa... hangat.
Lia menyentuh dadanya sendiri. Jantungnya berdetak cepat.
“Ini bukan strategi lagi...” bisiknya lirih, nyaris seperti pengakuan.
“…Ini mulai terasa seperti masalah pribadi.”