Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
Hari ke hari, Inaya tetap merayu suaminya agar tidak berangkat melaut. Tetapi Weko yang sduah menentukan tujuannya tidak mau memenuhi keinginan istrinya.
“Dek, aku berangkat melaut karena di sana sumber rezekiku. Aku ingin kehidupan kita lebih baik saat anak kita lahir, makanya aku harus mulai dari sekarang.”
“Hidup yang sekarang sudah baik, Mas. Aku tidak mau kamu memaksakan diri.”
“Aku tidak memaksakan diri. Jika saja dari dulu aku memiliki pikiran untuk membina rumah tangga dan memiliki anak, mungkin aku sudah siap saat kita menikah. Sayangnya aku tidak memikirkannya dan hanya fokus dengan keluargaku.”
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Mas.”
“Maka dari itu! Aku akan mengusahakan masa depan kita menjadi lebih baik!”
Weko sudah pada keputusannya. Inaya menghembuskan nafas dalam. Ia tidak lagi merayu suaminya untuk melaut.
“Janji jaga dirimu baik-baik, Mas!”
“Iya, Dek. Aku janji!” Weko mengecup kening Inaya cukup lama.
Ia sudah bertekad untuk memanjakan Inaya. Yang bisa ia lakukan adalah melaut karena sejak lulus SMA hanya pekerjaan itu yang ia tekuni. Untuk bekerja lainnya, ia masih belum memiliki keberanian dan skill.
Setelah Inaya mengizinkannya, Weko mulai membantu persiapan keberangkatan. Inaya yang mengerti kesibukan suaminya, memilih untuk berangkat bekerja sendiri. Setiap sore, Weko akan menjemputnya.
Lusa adalah hari keberangkatan Weko dan besok Inaya libur. Weko sudah menyiapkan kejutan untuk istrinya.
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Inaya saat Weko tidak mengambil jalan arah pulang saat menjemputnya.
“Coba tebak?”
“Jalan ini ke arah pinggiran kota bagian timur.”
“Benar.”
“Untuk apa kita ke sana?”
“Nanti kamu juga tahu!” Weko terus melajukan motornya sampai akhirnya mereka memasuki gerbang Pantai yang terasa familiar.
“Mas mau ajak aku menginap di sini lagi?” Weko tidak menjawab.
Ia hanya tersenyum dan menggandeng tangan Inaya menuju vila yang pernah mereka sewa sebelumnya.
Sampai di dalam vila, kamar yang pernah mereka tempati itu terlihat berbeda dengan Bunga dan lilin yang menghiasi kamar. Inaya merasa sedang melihat kamar bulan madu yang sering lalu lalangdi media sosial.
“Suka tidak?” tanya Weko seraya memeluk Inaya dari belakang.
“Suka. Tapi apakah tidak mahal, Mas?” Inaya mendongak.
“Tidak. Maaf aku hanya bisa mengajakmu kemari lagi. Nanti kalau ekonomi kita lebih baik, aku akan mengajakmu ke daerah pegunungan.”
“Tidak perlu sampai seperti itu, Mas.”
“Baiklah, kamu mau ke mana akan aku turuti!” kata Weko yang segera membungkam mulut Inaya.
Ia tidak mau istrinya menjawab perkataannya yang sudah pasti akan menyuruhnya untuk tidak memaksakan. Ia sangat bersyukur memiliki istri Inaya yang tidak pernah menuntutnya dan bahkan uang yang ia berikan di hemat oleh istrinya yang membeli barang sesuai kebutuhan.
Maka dari itu, ia ingin memanjakan Inaya yang tidak perlu memikirkan pengeluaran mereka nantinya.
Semakin lama, Weko semakin memperdalam permainannya hingga ia membalik tubuh Inaya agar mereka saling berhadapan.
“Mas..” panggil Inaya di sela-sela permainan mereka.
“Kenapa?”
“Aku mau mandi.”
“Astagfirullah! Aku sampai lupa membawa pakaian yang sudah aku siapkan di jok motor. Tunggu di sini!” Inaya mengangguk.
Weko kembali ke kamar dan mendapati istrinya masih di dalam kamar mandi. Ia yang juga merasa gerah, menyalakan kipas dan melepaskan pakaiannya menyisakan celana pendek saja. Tak lama kemudian, Inaya keluar dengan handuk yang melilit di dadanya.
“Mana pakaiannya, Mas?”
“Tidak pakai juga tidak masalah, Dek!” goda Weko yang mendekat.
Inaya tidak bisa menghindar karena Gerakan Weko yang cepat sudah memojokkannya ke dinding. Segera saja Weko memulai permainan yang tidak bisa Inaya tolak. Setelah beberapa saat, Weko melepaskan istrinya dan menyerahkan pakaian yang sudah ia siapkan.
“Mas yakin menyuruhku pakai ini?” tanya Inaya yang menenteng pakaian dari Weko.
“Iya. Kamu coba, Dek!” Weko mengedipkan matanya.
“Pakai ini sama saja aku tidak pakai apa-apa, Mas!”
“Tidak juga, kamu masih pakai.”
“Pakaian itu untuk menutupi, Mas!” Weko tertawa mendengarnya.
Semua ini gara-gara Giga yang menyarankannya untuk membelikan Inaya pakaian haram. Awalnya ia enggan, tetapi Ketika sudah sampai di toko yang menjual pakaian haram, dirinya menjadi penasaran dengan penampilan Inaya yang mengenakan pakaian tersebut.
Weko melepaskan handuk yang melilit di dada Inaya dan membantunya mengenakan pakaian yang dibelinya. Pakaian itu terlihat pas di tubuh Inaya, tetapi pemilik tubuh justru menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya.
“Kenapa ditutupi? Bukankah aku sudah tahu semua?” goda Weko seraya melepaskan tangan Inaya.
“Mesum!” kesal Inaya yang berlari masuk ke dalam selimut.
Weko tertawa dan masuk ke dalam kamar mandi. Saat ia keluar dari kamar mandi, ia melihat Inaya masih belum keluar dari dalam selimut. Ia tersenyum dan memesan makan malam untuk mereka.
Makan malam datang, Weko mengambilnya ke depan vila dan membawanya masuk. Ia mengajak Inaya untuk makan malam.
“Lepaskan dulu selimutnya, pakai ini!” Weko melepaskan selimut Inaya dan menggantinya dengan jaket miliknya.
“Ini semua salahmu, Mas! Kenapa beli pakaian seperti ini?”
“Katanya pakaian ini boleh dikenakan istri untuk menyenangkan suaminya.” Inaya terdiam.
Ia pernah mendengar ini sebelumnya. Setelah mengingat-ingat, dirinya dulu pernah bertanya kepada kakak ketiganya mengapa menjemur pakaian yang kekurangan bahan dan tembus pandang, padahal mereka berhijab.
Sang kakak menjawab jika pakaian itu hanya digunakan saat di hadapan suaminya dan untuk menyenangkannya yang mana ladang pahala untuk seorang istri. Inaya saat itu masih SMP, tidak terlalu memikirkannya. Sekarang ia mengalami dan mengenakannya, ternyata membuatnya malu setengah mati.
Selesai makan, Weko meletakkan bekas makan mereka di depan vila dan mengunci pintu. Ia tahu Inaya ada di kamar mandi, sehingga sengaja menunggunya di depan kamar mandi.
“Mas!” teriak Inaya yang terkejut saat membuka pintu kamar mandi.
Weko hanya tersenyum dan segera mengangkat tubuh Inaya, lalu membawanya ke tempat tidur. Inaya tidak berontak karena tahu apa yang suaminya inginkan. Suaminya sudah menahan keinginannya sejak terakhir kali mereka memeriksakan kandungan, mungkin malam ini Weko ingin menuntaskannya sebelum berangkat melaut.
Inaya dengan sadar menerima semua perlakuan Weko yang terkesan lebih lembut dari biasanya. Sementara Weko sedang mengendalikan dirinya agar tidak melukai Inaya ataupun janin yang ada dalam kandungannya. Pendakian terjadi hingga keduanya mencapai puncak bersamaan.
“Apakah ada yang sakit?” bisik Weko.
“Tidak.”
“Kalau tidak, bolehkah aku memintanya lagi?” Weko segera menyerbu kembali sebelum Inaya menjawabnya.
Pendakian mereka lakukan kembali sampai Inaya yang kelelahan terlelap setelah pendakian selesai. Weko mengusap tubuh istrinya dengan handuk basah sebelum ikut memejamkan matanya dengan memeluk tubuh Inaya.
Menatap wajah sang istri yang lelap, entah mengapa ada rasa tidak rela meninggalkan Inaya malam ini. Apakah karena keinginan Inaya atau karena dirinya yang mengkhawatirkan sang istri? Ia tidak tahu. Tetapi tekadnya tetap sama untuk melaut dan menghasilkan uang untuk keluarga kecilnya.