Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Masa Lalu Pilihan Mertua
Arini berhasil mencari momen yang pas ketika rumah mulai lengang. Ia berjalan pelan ke kamar Diva, mengetuk pintu dengan hati-hati.
“Kak, boleh bicara sebentar? Empat mata, penting…” bisiknya dari balik pintu.
Diva membukakan pintu, pandangannya datar namun matanya tajam, seolah berkata Akhirnya kamu datang juga.
Mereka duduk di sisi ranjang, sunyi sebentar. Arini menatap Diva, mencoba merangkai kalimat.
“Aku tahu sesuatu yang”
Namun belum sempat kata itu selesai keluar, suara pintu pagar terbuka keras memotong percakapan mereka.
“Arini!!” terdengar suara Bu Susan dari ruang depan, keras dan tajam.
Diva langsung bangkit berdiri. Arini menoleh, wajahnya panik.
“Kenapa ibu balik lagi?” bisik Arini pelan.
Langkah Bu Susan terdengar makin dekat. Ternyata firasatnya benar ia merasa Arini sedang berusaha membocorkan semuanya. Ia tak jadi pergi ke pengajian dan memilih kembali ke rumah secara mendadak.
“Apa yang kalian bicarakan, hah?” hardiknya saat membuka pintu kamar tanpa permisi.
Arini tercekat. Diva hanya melipat tangan di dada, tenang namun tegas. “Kami hanya mengobrol, Bu. Apa salah?”
Lalu bu Susan menatap tajam Arini, “Kamu jangan sok pahlawan, Arin. Jangan rusak yang sudah ibu rancang. Pulang sana kuliah aja yang benar. Ini bukan urusanmu.” ketika sudah berada di luar kamar Diva
Arini menggertakkan gigi. Tapi belum waktunya melawan.
Setelah memastikan Arini tidak sempat bicara banyak, Bu Susan masuk ke kamar dan segera menelpon Arman. Suaranya terdengar cemas namun tetap terkontrol.
“Man, kamu izin sebentar. Ada hal penting yang harus ibu sampaikan.”
Tak butuh waktu lama karena ia membawa mobil dengan cepat, Arman pun tiba di rumah. Ia langsung menuju kamar ibunya. Pintu ditutup rapat, lalu Bu Susan menceritakan semuanya tentang percakapan yang hampir terjadi antara Arini dan Diva.
Mendengar itu, Arman mengepalkan tangannya, wajahnya menegang. “Sudah kuduga, Arin pasti tahu semua. Tiba-tiba saja dia ingin pulang kampung lagi, pasti ada maksud,” gumamnya dengan nada rendah namun penuh tekanan.
“Ibu tenang aja. Nanti biar aku yang urus. Aku akan minta dia balik ke kota secepatnya,” lanjut Arman sambil berjalan mondar-mandir.
Rencananya hampir saja terbongkar dan itu membuatnya semakin waspada.
Diva yang telah mengetahui seluruh sandiwara yang dimainkan di belakangnya, kini justru merasa tenang. Tak ada lagi air mata, tak ada kemarahan yang meluap semua telah berganti menjadi rencana yang matang.
“Bagus… kalian pikir aku tak tahu, ya?” gumamnya sambil menatap ke luar jendela dengan pandangan datar namun tajam. Dalam diamnya, Diva menyusun setiap langkah balasan dengan begitu rapi. Ia tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan waktunya menyerang.
“Silahkan kalian bersenang-senang dulu… nanti, saat waktunya tiba, aku akan membuat kalian tak berkutik,” lirihnya pelan, penuh tekad. Kali ini, Diva bukan lagi wanita yang bisa dipermainkan.
Malam itu, suasana meja makan terasa berbeda. Hidangan tersaji dengan rapi, aroma masakan memenuhi ruangan, tapi tak ada yang benar-benar menikmati selain sekadar menyuap makanan ke mulut. Hening, nyaris tanpa suara selain denting sendok dan piring.
Diva melirik satu per satu wajah di meja makan, lalu tersenyum tipis. “Makanannya enak, seperti biasa,” ucapnya pelan namun jelas, mencoba mencairkan suasana.
Lalu ia menambahkan dengan nada ringan, “Kok diam semua? Kenapa? Ibu, Arin… nggak usah takut, aku sama Arin cuma ngobrol biasa kok,” ujarnya sambil memandang ibu mertuanya yang langsung menghentikan sendokan berikutnya.
Bu Susan hanya tersenyum tipis, Arman melirik sekilas, dan Arini menunduk. Satu kalimat dari Diva, cukup membuat meja makan yang hening tadi terasa semakin penuh tekanan. Tapi Diva tetap tenang, seperti sedang menikmati permainan yang hanya dia tahu ujungnya.
Hari ini adalah hari yang diam-diam telah Diva tandai dalam hatinya hari di mana suaminya, Arman, akan menikah dengan wanita pilihan ibu mertuanya. Sejak pagi ibu sibuk, persiapan dilakukan dengan cermat, namun Diva tetap tenang, bahkan terlalu tenang.
Ia berjalan biasa saja, tak ada tanya, tak ada ribut. Hanya satu hal yang bergema dalam batinnya, “Kita tunggu saja…”
Setelah ini, gugatan cerai yang telah disiapkan akan segera dilayangkan ke pengadilan. Diva tahu Arman tidak ingin bercerai, tapi kali ini ia ingin. Bukan karena cinta yang hilang, tapi karena harga diri yang diinjak. "Semua ini demi keinginan ibumu, Man. Jangan pernah harap aku akan jadi pelayan kalian terus. Cukup, tujuh tahun ini lebih dari cukup," batinnya dalam.
Kemarin, pengacaranya mengabarkan bahwa semua dokumen sudah lengkap. Hari ini, Diva telah mengutus Reno orang kepercayaannya untuk merekam seluruh prosesi pernikahan Arman dan Raya secara diam-diam. Bukti itu akan segera ia kirimkan ke atasan Arman dan juga ke kantor tempat Raya bekerja.
“Kalian pikir aku diam karena menyerah? Tidak. Ini baru permulaan,” lirih Diva sambil tersenyum kecil menatap langit pagi yang tenang berbanding terbalik dengan badai yang akan segera ia lepas.
“Div, aku izin dulu ya, mau antar ibu ke kota. Sekalian katanya ibu mau ketemu sama teman-temannya,” ucap Arman sambil merapikan kemeja.
Diva yang sedang menyapu halaman menoleh dengan dahi mengernyit, “Loh, Bang... aku nggak diajak?”
Arman sempat canggung sesaat sebelum tersenyum datar, “Haduh, nggak usah, Div. Ini ibu-ibu semua. Aku cuma nemenin aja, bantu bawa barang.”
Dari balik jendela, Bu Susan ikut menimpali, “Iya Diva, kamu santai aja di rumah. Nggak ada yang penting kok.”
Diva hanya mengangguk pelan sambil menyembunyikan tatapan tajamnya. “Kalian pikir aku tidak tahu? Mobil itu bukan cuma untuk antar ibu-ibu. Di bagasi, sudah ada seserahan yang disembunyikan. Tapi biarlah… mainkan lakonmu, Man. Sebentar lagi tirainya akan aku buka lebar-lebar,” batinnya sambil tetap tersenyum dan melanjutkan menyapu.
Setelah Arman dan Bu Susan pergi, Diva kembali ke dalam rumah dengan langkah tenang. Ia duduk di ruang tamu, menatap ponselnya sambil memainkan jari-jarinya di atas layar. Tak lama, ia membuka pesan terakhir dari Reno.
"Ren, setelah mereka sampai, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Pastikan semua terekam jelas, jangan sampai terlewat satu pun. Ini bukan cuma soal aku, ini soal kebenaran yang harus dibuka," tulis Diva sebelumnya.
Sekarang, ia hanya menunggu kabar itu datang. Satu pesan, satu video, yang akan menjadi kunci dari semua rencana yang telah disusun rapi selama ini.
"Sebentar lagi, semua akan tahu. Aku hanya perlu sabar sedikit lagi," gumamnya lirih, sembari menyandarkan tubuh ke sofa. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang siap menghancurkan semuanya.
Diva masih duduk tenang di ruang tamu, menatap layar ponsel yang belum kunjung menampilkan notifikasi dari Reno. Ia tahu, sebentar lagi semuanya akan dimulai. Dan saat itu tiba ia akan mulai bergerak.
Sementara itu, di lokasi pernikahan rahasia itu, Bu Susan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Senyumnya lebar, matanya berbinar.
"Masya Allah… ganteng sekali anak ibu," ucap Bu Susan sambil membenarkan kerah jas Arman yang baru saja berganti pakaian di ruang rias yang sudah dipesan jauh-jauh hari.
Arman hanya tersenyum kaku. Di balik senyum itu, jantungnya berdegup tak karuan. Entah karena gugup menjelang pernikahan, atau karena perasaan bersalah yang semakin membebani pikirannya. Namun, semuanya sudah terlalu jauh.
"Semoga semuanya berjalan lancar," batin Arman, tak tahu bahwa badai tengah menunggu di ujung hari itu.