Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Setibanya di butik ....
"Thanks ya, Mr. Brewok," ucap Quin.
"Ck, kamu ini. Jangan panggil Mr. Brewok dong, yang lain kek!" protes Damar.
"Nggak mau, kecuali brewok lebat ini sudah rapi," kelakar Quin sembari menyentuh bulu lebat di wajah Damar. "Anggap saja itu panggilan sayang dariku untukmu."
Tak ada tanggapan dari Damar melainkan mengacak rambut panjang Quin karena gemas.
"Damar! Kamu membuat rambutku berantakan!" protes Quin lalu membuka pintu mobil. "Aku masuk dulu. Hati-hati di jalan dan selamat bekerja My Boss."
"Ya sudah, masuklah," pinta Damar. Dengan patuh Quin menurut. Setelah memastikan sang asisten masuk ke dalam butik, barulah ia melajukan kendaraannya menuju kantor.
Ketika berada di dalam butik, Al menatap Quin penuh curiga. Sang owner tergelak lalu lanjut menapaki anak tangga menuju ruangan kerja disusul oleh sahabatnya.
"Ada apa sih, Al? Kenapa kamu menatapku seperti itu?"
"Kamu berhutang penjelasan padaku."
"Apa yang perlu aku jelaskan? Tentang menghilangnya diriku selama tiga hari lalu?" tanya Quin lagi sesaat setelah keduanya duduk di sofa.
"Menurutmu? Lalu, kenapa mobilmu terparkir di sini?"
"Semalam aku ke sini. Pulangnya bareng Damar. Tiga hari yang lalu aku ke suatu tempat untuk menangkan diri serta pikiranku," jelas Quin sambil menghela nafas.
"But, what happened, Quin?"
"You know-lah penyakit si Angga dan Kinar. Aku kembali memergoki mereka. This is my destiny, may be. Untuk saat ini, aku hanya ingin fokus pada karirku. Setelah kontrakku berakhir, aku ingin menepi sejenak sekaligus healing ke beberapa negara," tutur Quin dengan senyum pahit.
"Aku seolah kehabisan kata-kata untuk mereka berdua. Kuat banget kamu Quin," kata Al sembari mengelus punggung sahabatnya.
"Al, jika dia datang mencariku, katakan saja aku nggak ada di butik. Aku sudah nggak mau bertemu dengannya," pesan Quin.
"Baiklah."
.
.
.
Kantor Damar ....
"Tuan," sapa Adrian setelah masuk ke ruangan itu.
"Adrian."
"Tuan, ini berkas dari Nadif," kata Adrian lalu menyerahkan sebuah fail kepada Damar.
"Apa masih ada?" tanya Damar.
"Hanya itu, Tuan."
"Baiklah, kalau begitu silakan lanjutkan pekerjaanmu!" perintah Damar dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Adrian
Sepeninggal Adrian, Damar beranjak dari kursi kerja. Menghampiri dinding kaca sembari mengusap dada. Memejamkan mata membayangkan pelukan Quin semalam.
"Damar!"
"Papa," ucap Damar lirih lalu membuka mata.
Pak Alatas menghampiri lalu merangkul putra sulungnya itu.
"Mau share sesuatu dengan papa?" tanya pak Alatas sembari tersenyum.
Damar menggeleng kemudian balas merangkul Pak Alatas. Pria yang sekaligus menjadi sahabat, teman curhat serta sehobi dengannya. Sama-sama menyukai dunia otomotif.
"Ada trek yang cukup menantang adrenalin. Kamu bakal menyukainya. Seminggu yang lalu, papa dan team baru saja dari sana," kata Pak Alatas.
"Di mana?" sahut Damar sembringah.
"Daerah B."
"Sangat menarik memang. Tapi, aku nggak yakin bisa segarang dulu. Apalagi selama dua tahun aku nggak bisa apa-apa melainkan hanya duduk di kursi roda," tutur Damar.
"Pelan-pelan saja, Damar. Papa nggak memaksa. Hanya memberi info. Jujur saja, papa lebih suka kamu yang sekarang," aku Pak Alatas.
"Apa itu sebuah pujian untukku?"
"Menurutmu!" Pak Alatas menepuk pundak Damar. Keduanya sama-sama tertawa.
.
.
.
QA Boutique ....
"Tuan, Nyonya," sapa Al begitu melihat Pak Pranata dan Bu Fitri masuk ke dalam butik.
"Al, apa Quin ada di atas?" tanya pak Pranata.
"Ada, Tuan. Mau saya antar ke atas?" tawar Al.
"Nggak usah," tolak pak Pranata lalu mengajak Bu Fitri ke lantai dua.
Baru saja mereka akan melangkah, suara Angga menghentikan Pak Pranata juga Bu Fitri. Sedangkan Al, merasa serba salah karena tak mungkin melarang pria itu ikut naik ke atas.
"Pah, Tante," sapa Angga.
"Angga," sahut Pak Pranata dan Bu Fitri. "Ayo, kita bareng saja ke atas."
Raut wajah Buk Fitri langsung berubah. Membayangkan wajah judes Quin ditambah lagi dengan kehadiran Angga.
Sesaat setelah berada di lantai dua, Pak Pranata lanjut ke galery karena Quin tak berada di ruangan kerja.
Dan benar saja, sang putri sedang merapikan sebuah gaun pengantin di salah satu manekin. Saking fokusnya, Quin tak menyadari kehadiran sang papa, Bu Fitri dan Angga.
"Sayang," tegur Pak Pranata seraya menghampiri.
Quin menghentikan sejenak aktifitasnya karena sangat mengenali suara itu. Ia pun berbalik.
'Mau ngapain mereka ke sini? Pelakor murahan dan si pria brengsek!'
"Ada apa?" tanya Quin ketus. Ia kembali menyibukkan diri.
"Quin, papa ingin mengajakmu makan siang di restoran favoritmu," tutur Pak Pranata penuh harap.
"Aku belum lapar!" tolak Quin.
"Quin, tolong jangan menolak, Nak," timpal Bu Fitri.
Quin langsung berbalik lalu membentak Bu Fitri. "Jika aku nggak mau jangan memaksa!
"Quin!" Pak Pranata balik membentak sang putri.
"Apa?! Papa ingin marah, ingin menamparku lagi seperti waktu itu! Hanya karena wanita ja*lang ini?! Ayo lakukan!" tantang Quin dengan tatapan menghunus.
Ia kemudian beralih menatap Angga lalu membentak eks tunangannya. "Dan kamu, pria bajingan, brengsek! Mau apa lagi kamu ke sini?!"
"Quin, kenapa kamu berkata seperti itu, apa maksudmu?" tanya Pak Pranata bingung.
"Tanyakan saja padanya juga wanita ja*lang ini. Aku rasa dia juga sudah tahu! Seperti Papa yang telah mengkhianati mama, seperti itulah juga yang dilakukan Angga kepadaku. Istrimu ini dan juga putrinya, tak lebih seperti pela*cur recehan!" sindir Quin menatap mengejek kepada ketiganya.
Seusai bertutur, Quin berbalik lalu akan melangkah. Akan tetapi, ia terkejut saat mendapati Damar sedang berdiri tak jauh dari galery itu.
"Damar," ucap Quin lirih.
...----------------...