Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Terikat, Bukan Terjebak
Nara terbangun dengan napas tersengal. Matanya terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyelinap melalui jendela kamar. Ia mendapati dirinya berada di tempat yang sangat familiar, di kamar kecil rumah pembeliannya.
Ia terduduk, menggenggam kepala yang berdenyut. Bayangan dunia yang dimasukinya masih tergambar jelas di pikirannya: Uto si landak jadi-jadian, istana megah dengan lorong berliku, serta hutan dunia bayangan.
“Cuma mimpi?” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Tapi kenapa terasa nyata sekali?
Ia mengedarkan pandangan, mencoba mencari petunjuk bahwa semua itu hanyalah hasil dari tidurnya yang terlalu lama. Namun, sesuatu di sudut kamar membuat darahnya berhenti mengalir—gaun ungu, gaun yang ia kenakan di dunia bayangan, tergantung di lemari kayu. Padahal Nara ingat sekali, ia telah memakainya.
Tepat saat ia mencoba mencerna semua itu, sebuah suara memecah keheningan. “Nara! Teman kamu nyariin, tuh!” panggil mamanya dari luar kamar.
Nara menoleh ke arah pintu dengan alis berkerut. “Teman? Siapa, Ma?” tanyanya sambil berjalan keluar kamar dengan langkah ragu.
Eh tunggu! kenapa Mama ada disini?
“Mama…” Nara memanggil pelan, nadanya penuh kebingungan. “Kenapa Mama bisa ada di sini?”
Wanita itu menoleh, tersenyum kecil sambil mengangkat bahu. “Kenapa nggak? Ini kan rumah kamu.”
“Tapi… rumah ini Nara beli sendiri. Nggak ada yang tahu, bahkan Mama sama Papa.” Nara melangkah maju, mencoba mencari jawaban di wajah mamanya. “Gimana Mama bisa tahu?”
Mamanya tertawa kecil, nada lembut yang familiar namun sekarang terasa seperti teka-teki. “Nara, kamu lupa satu hal penting,” katanya, mendekat dan menatap Nara dengan penuh arti. “Orangtua selalu tahu di mana anaknya berada. Seberapa pun kamu berusaha kabur, Mama pasti bisa menemukan kamu.”
Nara terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di pikirannya. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia cukup mandiri untuk hidup sendiri. Tapi, di depan sosok ini, logikanya runtuh begitu saja.
"Udah sana kamu jangan kebanyakan mikir. Kasihan teman mu nunggu di depan. Eh, itu pacar kamu ya? Mama bilangin Papa loh! Kalau kamu punya pacarnya dari dulu sih nggak masalah Nara. Tapi kan sekarang kami sudah terlanjur mengiyakan perjodohan kamu sama anaknya teman Papa."
"Nara nggak punya pacar Ma. Emangnya teman Nara yang datang itu siapa namanya?"
“Namanya… Uto." Jawab mamanya santai.
Tubuh Nara mendadak kaku di ambang pintu. Ia menatap mamanya dengan ekspresi tak percaya. Nama itu, nama yang ia kenal dari dunia bayangan. Uto seharusnya hanya ada di sana. Tapi sekarang?
Pikirannya kacau balau. Langkah kakinya terhenti, seolah ia harus memastikan dirinya tidak sedang bermimpi lagi.
Nara melangkah keluar menuju taman kecil di depan rumah. Angin pagi berembus lembut, namun hatinya terasa berat. Sosok Uto berdiri membelakanginya, mengenakan pakaian sederhana--berbeda jauh dari jubah yang biasa ia kenakan di dunia bayangan.
“Uto,” panggil Nara, suaranya ragu namun tegas.
Pria itu menoleh, senyumnya tipis seperti biasa. “Akhirnya,” ujarnya santai. “Gue pikir lo akan membiarkan gue menunggu lebih lama.”
Nara mendekat. Pertanyaan menggelayuti pikirannya sejak ia terbangun. “Kenapa lo ada di sini? I-ni beneran Uto dari dunia bayangan?"
Uto hanya mengangkat bahu. “Iya benar. Gue Uto, sang pemandu."
Nara mendengus, mencoba menenangkan dirinya. “Gue kira semua yang gue alami di sana cuma mimpi. Gue bangun, gue lihat kamar gue, gue pikir semuanya udah selesai. Tapi terus lo datang… dan sekarang gue mulai percaya kalau semua itu nyata."
Uto menatapnya, ekspresinya berubah lebih serius. “Tentu saja itu nyata, Nara. Dunia bayangan bukan sekadar imajinasi atau tempat yang bisa lo lupakan begitu saja. Gue kesini sekaligus mau ngasih tahu kalau lo tidur di dunia bayangan, itu artinya lo terbangun di sini."
"Oh, dan lo kenapa bisa masuk kesini? Mama gue juga sampai bisa ngelihat lo Uto."
"Kalau pekerjaan gue belum selesai, gue selalu ada buat lo di dunia bayangan maupun di sini. Perihal gue bisa terlihat, gue akan nunjukin wujud ke siapapun yang ingin gue tunjukkin."
"Oh, ini ceritanya gue bener-bener terikat dan terjebak?"
"Lo cuma terikat." Hening beberapa detik. Uto menatap Nara, mencoba membaca reaksinya. “Apa lo keberatan?”
Nara tersenyum tipis, mengangkat bahu dengan santai. “Keberatan? Nggak kayanya. Gue malah tertarik buat menghadapi dunia bayangan. Lo tenang aja, tanpa lo maksa gue buat masuk lagi ke dunia itu, gue pasti sukarela masuk ke sana."
Tiba-tiba pandangan Uto ke Nara menghangat.
"Kalau begitu, gue mau urus problematik gue dulu di sini. Lo mau di sini gue seduhin kopi apa gimana?" Sambung Nara.
"Gue pamit dari hadapan lo aja."
Bruuussh..
Uto berubah wujud menjadi seekor bunglon. Nara berdecak, "Heh, kok lo jadi hewan lagi? Jangan minta bantuan gue basuh ke Air Mata Senja pokoknya!"
Uto terkekeh. "Gue sebenarnya bisa jadi apa aja tanpa harus kembalikan wujud semula menggunakan Air Mata Senja, Nara." Nara mendengus sebal, berharap Uto dilahap kucing oren saja dengan wujud seperti ini.
...***...
Nara duduk di meja makan, menatap Mama yang sedang merapikan piring.
"Mama, ada yang mau aku omongin."
"Mau ngomong apa?"
Mama terlihat sedikit cemas, seperti menunggu jawaban yang sudah lama dipendam. Nara menarik napas dalam-dalam.
“Aku setuju dengan perjodohan itu,” ujar Nara pelan, tapi tegas.
"Hah? Yang benar kamu?"
"Iya benar Ma, tapi ada satu syarat,” kata Nara, matanya tetap teguh.
Mama mengerutkan kening, penasaran. “Syarat apa, Nara?”
“Aku mau tinggal sendiri dulu di rumah ini. Aku bakal temuin laki-laki yang dijodohkan oleh Papa Mama nanti, saat aku berulang tahun."
Mama terdiam, lalu perlahan mengangguk, seakan mempertimbangkan. “Kalau begitu, Mama akan bilang ke Papa soal ini. Papa pasti senang dengar kabar ini.”
Nara tersenyum tipis, sedikit menahan perasaan. “Iya Ma, pasti senang. Mama juga senang kan?"
Mama menatapnya lebih lama, lalu menghela napas panjang. “Senang juga dong. Yasudah kalau begitu, tapi kamu harus hati-hati ya. Jaga pola makan, dan juga istirahatnya."
Nara mengangguk. "Siap Ma."
Akhirnya kesepakatan berhasil.
.
.
Bersambung.